Part 14

601 32 11
                                        

Satu hal yang sepertinya lupa untuk kupahami, aku sudah tidak punya hak untuk memperjuangkanmu semenjak ada dia di hatimu.
💕💕💕

Hati, ada yang bilang bahwa Allah Maha membolak-balikkan hati. Ada pula yang bilang bahwa hati manusia cepat sekali berubah. Lalu dalam kasus ini kata-kata mana yang sesuai? Memang Allah yang membolak-balikkan hati Gavin atau memang dirinya sendiri lah yang memilih untuk mempermainkan hatinya.

Tentang cinta, apakah cinta itu memang terdefinisikan? Atau cinta itu hanya sekedar bagian dari sebuah perasaan? Atau cinta itu tentang kumpulan logika yang terkadang memang menyesatkan? Atau mungkin cinta adalah gabungan dari semuanya, logika dan perasaan yang dipertemukan dalam suatu titik temu hingga akhirnya menimbulkan suatu definisi tentang cinta itu sendiri. Nyatanya semua itu nampak lebih rumit, sangat rumit bahkan.

Terkadang memang terlalu sulit untuk dimengerti, tapi ini seperti bagian dari hukum alam. Ketika pertemuan akan berakhir dengan perpisahan. Awal akan bertemu dengan akhir. Begitu pula dengan jatuh cinta, akhir yang tercipta sering kali adalah patah.

Gadis itu masih saja termenung meratapi kisah cintanya yang pernah ia pertahankan dan akhirnya berakhir. Tak ada sedikit pun air mata yang menetes. Bukan karena ia kuat dan tegar, namun karena lukanya kali ini membuatnya mati rasa. Terlalu sering air mata itu jatuh untuk orang yang sama, dan kali ini ia memutuskan untuk tak lagi menangisi seorang Gavin.

"Nazla, ada temanmu di bawah." Teriak sang Mama.

"Iya Ma, habis ini Nazla turun," jawab Nazla sambil mencoba untuk kembali menegarkan hatinya. Setidaknya bairkan orang-orang disekitarnya menganggap bahwa dia baik-baik saja.

Vano mengunjungi Nazla karena sudah 2 hari ini Nazla absen menyanyi di kafe. Nazla hanya beralasan sedang lelah dan banyak tugas. Tapi bukan Vano namanya jika ia langsung percaya begitu saja dengan ucapan sahabatnya itu. Ia terlalu mengenal sosok Nazla yang memang sangat pintar menyembunyikan perasaan dan permasalahan. Terkadang perlu desakan dan paksaan untuk membuat sahabatnya itu menceritakan masalahnya.

"Lu ngapain kesini? Mau ngasih gaji gue?" tanya Nazla pada Vano.

"Enak aja, nyanyi kagak eh minta gaji. Dipikir tuh kafe punya lu," jawab Vano.

"Ya kan nanti kalau gue nikah sama lu, tuh kafe jadi milik gue juga," jawab Nazla enteng.

Degg.

"Emang lu mau nikah sama gue?" entah kenapa jantung Vano berdetak lebih cepat hanya karna jawaban Nazla.

"Ya enggak lah, nggak usah ngarep lu," Jawab Nazla sambil ngacak-ngacak rambut Vano.

Entah disadari Nazla atau tidak, raut wajah Vano berubah seketika. Semacam ada raut wajah penuh kekecewaan. Sebenarnya dari awal Vano paham jika Nazla hanya bercanda, tapi terkadang perasaannya memang tak terkontrol. Sekuat apapun ia menyembunyikan perasaannya, sekuat apapun ia menjaga persahabatannya, hatinya tak bisa berbohong bahwa ada perasaan sayang lebih dari sahabat yang ia rasakan.

"Beneran nih, lu ngapain malem-malem kesini?" tanya Nazla lagi.

"Lu sama Gavin masih baik-baik aja?" tanya Vano spontan. Ya memang tujuannya menemui Nazla adalah untuk menanyakan itu. Ia yakin bahwa absennya Nazla bukan karena sedang lelah, tapi sedang ada masalah dengan Gavin.

"Gue sama Gavin sudah menyelesaikan apa yang memang harus diselesaikan." Jawab Nazla sambil tersenyum, meski sebenarnya hatinya masih merasakan sakit.

"Ha gimana gimana? Emang kalian berdua ada tugas kelompok yang harus diselesaikan? Tumben sekelompok," jawab Vano yang sepertinya masih belum paham dengan ucapan Nazla.

"Tugas kelompok dari mana? Lemot banget sih lo! Gue sama Gavin udah putus, P-U-T-U-S!" Jawab Nazla sambil mengeja kata putus di akhir kalimatnya. Ia mulai kesal dengan sahabatnya yang ganteng satu ini, tapi sering kali lemot.

"Ohh putus toh, bilang dong. Gitu aja ribet banget nyusun kalimatnya," jawab Vano sambil mengangguk-anggukkan kepala seakan baru memahami maksud perkataan Nazla.

"HAH? PUTUS?!" dan kali ini Vano memang benar-benar baru sadar. Nazla hanya bisa menarik nafas panjang melihat kelakuan sahabatnya itu.

"Kok bisa?" tanya Vano masih tak percaya.

"Sudah saatnya cari yang baru, karena yang lama sudah rusak. 1+1=2, itu pasti. Jadi carilah yang pasti, dan salah satu dari yang pasti itu bukan Gavin." Jawab Nazla enteng. Tak semudah itu sebenarnya, hanya saja hatinya yang memaksa untuk tegar.

"Itu kayak kata-kata gue deh," jawab Vano sambil menunjukkan ekspresi berfikir.

"Cinta itu saling berjuang No, kalau cuma berjuang sendiri namanya bukan cinta. Cinta itu harus sefrekuensi. Cinta itu harus satu keyakinan, sedangkan gue sama dia beda keyakinan. Dan gue sama dia juga udah terpisahkan jarak yang jauh." Jawab Nazla, kali ini dengan tatapan kosong.

"Beda keyakinan gimana? Kan kalian agamanya sama. Terus terpisahkan jarak gimana juga? Orang satu sekolah, satu kelas malahan."

"Gue sama dia beda keyakinan. Gue masih yakin sama dia, tapi dia udah nggak yakin sama gue. Dan masalah jarak, perasaan gue sama dia jaraknya udah jauh. Gue ngejar dia, tapi dia ngejar yang lain. Yang ada cuma kejar-kejaran aja, gaada titik temunya. Ibarat lomba lari estafet, gue nggak akan pernah sampai ke finish karena partner gue malah ngasih tongkat estafetnya ke peserta lain." Jawab Nazla.

Vano mulai mengerti, sekuat-kuatnya Nazla menjaga hati pasti akan ada saatnya dia berada di fase jenuh. Memang, berjuang sendiri itu menyakitkan.

💕💕💕💕

Assalamualaikum, hai semuaa
Maafkan ya baru bisa update lagi, semoga kali ini bisa sering update lagi yaa hehe
Makasih yg masih setia nungguin cerita ini
Jangan lupa komen yaa wkwk

9 April 2019

U.H

Romansa & RahasiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang