Bagian 3

22K 811 19
                                    

Brian saat ini tengah termenung sendiri dimeja makan, berbagai makanan lezat didepannya tak satupun yang menggugah seleranya.

Matanya menatap kosong lurus kedepan, tak menghiraukan beberapa pelayan yang sedari tadi sibuk kesana kemari.

"Tuan Brian." panggil salah satu pelayan yang membawa teko berisi cairan putih pucat didalamnya.

"....."

"Tuan Brian." panggilnya lagi, namun Brian belum ada tanda untuk merespon. Seakan jiwa Brian tengah berada jauh dari raganya. Tak menghiraukan orang-orang disekitarnya.

Albrecht yang baru tiba diruang makan menaikkan alisnya, melihat para pelayannya hanya berdiam diri tak bekerja memuaskannya.

"Kerja kalian buruk." ucapnya seraya berjalan kekursi makan yang berada diujung, cukup dekat dengan kursi milik Brian.

"Ma-maafkan kami Tuan Albrecht, akan tetapi sedari tadi Tuan Brian hanya diam saja dan belum menyetuh makanannya sedikit pun." terang laki-laki yang kini menyerahkan cangkir putih beralaskan piring kecil keatas meja dan secara rapi menuangkan kopi kedalamnya.

Albrecht melirik Brian sekilas. Brian yang dilirikpun masih nyaman dengan dunianya sendiri. Menatap kosong kedepan.

"Adek..." panggil Albrecht, akan tetapi tak ada respon dari Brian.

"Dek Brian.." suara Albrecht masih terdengar kalem, ketika masih tak mendapat respon dari Brian, Albrecht beranjak dari tempatnya dan mendekati Brian.

Dielusnya sayang kepala Brian, Brian kaget dengan mata menatap Albrecht bingung.
Pandangannya menyapu ruang makan, ketika apa yang dia cari tidak ia temukan Brian mulai merasa panik.

"Daddy!! Dimana mama?!" tanya Brian dengan nada tinggi, dirinya panik saat tidak mendapati mamanya diruang makan.

"....."

"Pak Broto! Cepat panggil mama, sudah waktunya sarapan bukan? Cepat cepaaaat~" perintah Brian kepada pelayan yang tadi mengisi cangkir kopi sang daddy.

"A-anu tuan Brian..." pelayan tersebut bingung harus menjawab seperti apa.

"Bukankah adek ikut mengantar mama kemarin?" tanya Albrecht tenang masih mengelus pucuk kepala Brian.

"Ma-mama Brian dirumah kan Daddy?" suara Brian terdengar gemetar dengan raut wajah pias, hati kecilnya tak ingin mempercayai kejadian kemarin.

Menurutnya kemarin hanyalah mimpi buruknya saja.

"Tidak."

"Mama, Daddy uhh mamaaa huaaa mamaaa~" tangis Brian pecah, tangan kecilnya menarik-narik kemeja Daddynya.

"Adek.." panggil Albrecht mencoba sabar dengan kelakuan remaja didepannya.

"Brian mau mama!" ucap Brian keras kepada Albrecht, sedangkan pria tinggi tersebut hanya menghela nafas. Anaknya ini sangat keras kepala.

"Mama sudah tenang disurga, bisakan adek terima itu?"

"Enggak!! Mama masih.. Mama.. Mama Brian gak kemanapun!" teriak Brian tidak terima

"Adek sudah gedhe harusnya paham dengan apa yang Daddy ucapkan."

"Ayo! Ayo antar Brian ikut Mama!
Daddy!
Ayooo antar Brian..." Brian dengan keras kepala berdiri menarik kemeja daddynya supaya berjalan mengikutinya, akan tetapi Albrecht diam tak menghiraukan Brian yang tengah kepayahan menarik-narik dirinya.

"Brian jangan buat Daddy marah okay." ucap Albrecht dingin, para pelayan hanya diam menjadi penonton tak berani ikut berkomentar.

"...."

"Sekarang duduk dan makan sarapanmu." ucap Albrecht kalem tetapi sarat akan nada perintah.

Brian menuruti ucapan Daddynya, dia kembali duduk dengan tenang. Seorang pelayan wanita menuangkan susu digelas Brian dan menyiapkan piring serta alat makan lain yang diperlukan didepan Brian.

Brian duduk diam dengan air mata yang memenuhi pipinya, sedangkan Albrecht kembali ketempat duduknya dan meraih cangkir kopi miliknya, menghirup aroma kopi tersebut untuk sesaat dan meminumnya dengan tenang.

Albrecht melirik Brian yang hanya diam mematung dengan tubuh sedikit bergetar, Albrecht menghela nafas dan menaruh kembali cangkir kopi miliknya kepiring tatakan dimeja.

"Brian makan." suara Albrecht memang tenang tak ada nada emosi disana akan tetapi terdengar mengerikan ditelinga Brian.

Brian dengan kaku mengambil sendok, tangannya terlihat gemetar.

"Tuan Brian ingin sereal?" tanya pelayan wanita yang kini berada disamping Brian. Dirinya berfikir bahwa Brian ingin memakan sereal karena memegang sendoknya.

"Um~" angguk Brian lemah, matanya masih menatap kosong kedepan dengan air mata yang tak kunjung berhenti.

Pelayan tersebut memindahkan piring didepan Brian yang berisi tartine dan menganti dengan mangkuk berisi sereal, kemudian meraih susu cair dan madu.

"Silahkan Tuan Brian."

Albrecht yang kini tengah menikmati brioche dan kopi miliknya menatap Brian yang hanya mengaduk-aduk menu sarapannya tanpa ada niat memasukkannya kedalam mulut.
Albrecht hanya diam memperhatikan. Biarlah anaknya seperti itu, dia sangat paham watak Brian yang masih kekanakan, tak bisa jika tidak ada mamanya. Setelah mamanya pergi meninggalkannya, hatinya terguncang tidak bisa menerima kenyataan.

Tapi inilah yang diinginkan Albrecht. Sehingga dia mampu berbuat seperti itu.

"Daddy akan ada acara dikantor hingga nanti malam, adek sebaiknya tidak buat masalah."

Brian menoleh, dia beranjak dari kursinya dan mendekati Daddynya. Menundukkan kepalanya dan memegang erat lengan sang Daddy.

"Boleh Brian ikut Daddy?" ucapnya lirih, bahkan sebagian pelayan tidak dapat mendengar kalimat yang seperti gumaman tersebut.

Albrecht menaikkan sebelah alisnya
"Apa yang barusan Daddy bilang untuk tak buat masalah?"

Brian menggeleng, dipeluknya sang Daddy erat, Albrecht membalas dengan menepuk pelan punggung Brian terkadang mengelusnya sayang.

"Brian gak mau sendiri."

"Tapi lebih baik dirumah bukan? Adek bisa istirahat."

Brian menggeleng

"Badan adek panas, lebih baik istirahat."

"Brian ikut Daddy huks~"

"Astaga bayi besar ini."

:)

Step Daddy [Boys Love]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang