BAB 5

224 60 6
                                    

"Apa Maeri masih belum mendapatkan tanda-tanda kehamilan lagi?"

Pertanyaan terus terang itu membuat Jaehwan dan Maeri saling menatap terkejut, senyum kaku keduanya berikan kepada ibu Jaehwan yang sedang mencicipi masakanya disamping Maeri.

"Jangan pernah menundanya sayang, karna ayah dan ibu sangat menginginkan cucu"

"Kami tidak menundanya" Jawab Maeri

"Kami juga masih berusaha, bukan begitu Maeri?" ucap Jaehwan sembari tersenyum lebar dan Maeripun ikut tertawa.

"Kami terus berusaha, everyday, every night. Ibu tidak usah khawatir"

"Jangan-jangan kau yang payah" ucap ayah Jaehwan tiba-tiba, membuat ibu dan Maeri menahat tawanya saat ayah Jaehwan menurunkan kaca matanya hingga bertengger di hidungnya.

"Aku?"

"Bisa saja karena kau yang payah sampai-sampai kalian belum memberi kami cucu"

"Ayah!"

"Kau tahu, ayah hanya melakukanya dua kali dengan ibumu dan setelah itu kau ada di dalam perut ibumu, sembilan bulan kemudian kau lahir dan tumbuh menjadi pria menjengkelkan seperti ini"

"Lalu aku harus berkata hebat begitu?"

"Itu bukti bahwa kau payah anakku"

"Jika ayah memang hebat, mengapa tidak memberiku adik setelah itu?"

Hening, seketika suasana diruangan itu sunyi, menyisakan tawa kecil Maeri yang berusaha menahan tawanya karna perdebatan antara Jaehwan dan sang ayah.

"Ibu tidak bisa bayangkan bagaimana jika anak kalian lahir, mungkin dia akan sama saja seperti ayah dan kakeknnya"

"Ibu tunggu saja, saat anak kita lahir nanti, ibu jangan pernah menyesal atau bahkan sampai meminta mereka untuk kembali masuk kedalam perutku"

Ibu Jaehwan menatap Maeri teduh, tersenyum sebelum akhirnya memeluk wanita yang tersenyum begitu tulus dan lebar. "Ibu sangat bersyukur ada orang secantik dirimu yang rela menghabiskan sisa hidupnya untuk mendampingi anakku yang tidak peka itu"

"Aku juga sangat beruntung menjadi bagian dari keluarga ini"

"Ibu rasa semua ini akan lengkap jika ada Jaehwan atau Maeri kecil ditengah-tengah kita, kami selalu berdoa untuk kalian"

"Semua akan lengkap bu, tunggu saja"

"Setidaknya walaupun hanya satu, kalian harus memilikinya"

"Kami pasti akan memberi kalian cucu yang banyak sampai rumah ini penuh sesak dengan anak kecil" Balas Maeri yang saat itu menyunggingkan senyumanya untuk ibu Jaehwan.

"Kami pasti akan memberi kalian cucu yang banyak sampai rumah ini penuh sesak dengan anak kecil" Balas Maeri yang saat itu menyunggingkan senyumanya untuk ibu Jaehwan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kata-kata itu terus terniang ditelinga Jaehwan, walaupun ia mengobrol dengan sang ayah, ia mendengar semua percakapan Maeri dengan ibunya. Tak hanya Maeri mungkin, bahkan dirinya yang mengupingpun merasa bersedih melalui percakapan itu. Sesekali ia memandang punggung Maeri yang berbaring memunggunginya seolah tak ingin ingin diganggu.

"Maeri, jangan pikirkan apa yang ibuku katakan, ingat apa tujuan kita waktu itu bahwa kita harus mencoba bahagia"

"Bahagia yang seperti apa?"

"..." Jaehwanpun tak mengerti.

"Sudah berapa lama kita menikah?"

Jaehwan merasa bingung dengan pertanyaan Maeri, sejujurnya ia takut saat Maeri menanyakan pertanyaan seperti itu.

"Kenapa?"

"Tidak ada, sepertinya sudah cukup lama"

"Satu tahun"

"- dan berapa lama kita sudah kehilangan mereka?"

Jaehwan tak tahu harus menjawabnya atau tidak, tapi ia bisa merasakah tekanan dan kesedihan dari pertanyaan Maeri.

"Mengapa kau bertanya seperti itu? Apa kau memikirkan kata-kata ibuku?"

"Aku tidak ingin memikirkanya, tapi tetap saja tidak bisa."

"Kita hanya perlu menikmati pernikahan ini Maeri, anak bukan satu-satunya alasan untuk kita bahagia"

"Tapi mereka, kedua orang tuaku, orang tuamu, semua orang menganggap bahwa hadirnya seorang anak adalah sebuah kebahagiaan. Aku rasa benar, walaupun hanya satu setidaknya kita bisa memilikinya"

Semua terasa sulit untuk Jaehwan artikan, kebahagiaan apa yang Maeri pikirkan dan ia pikirkan terasa berdiri di sisi jurang yang bersebrangan. Sejujurnya ia tak ingin melihat Maeri bersedih, memandang punggung itu yang nampak rapuh membuatnya terluka. Mungkin hanya sebuah pelukan yang mampu ia berikan, Ia mendekat dan memeluk Maeri yang masih memunggunginya, saat itu ia menemukan bulir air mata yang menetes dari mata indah Maeri.

Ia tahu Maeri menyembunyikan banyak kesedihanya, memikirkan semua yang orang lain katakan kepadanya dan menyimpan semua itu seorang diri.

"Ini hanya masalah waktu Maeri, percayalah. Kita sudah menemui dokter dan kita juga melakukan semua saran dokter. Kita hanya perlu berusaha terus dan menunggu hasilnya. Semua ini-"

"Semua ini bukan kehendak kita, aku tahu itu. Tapi apa kau tahu apa yang orang diluar sana katakan padaku? Apa kau tahu bagaimana perasaanku saat mereka semua selalu bertanya tentang anak. Mereka bahkan tidak memikirkan bagaimana perasaanku yang begitu menginginkan kehadiran buah hati di tengah-tengah kita"

Jaehwan kehabisan kata-katanya, ia hanya mampu memeluk Maeri untuk menenangkan wanita itu yang nampak begitu emosional belakangan ini. Tapi semua rasanya masuk akal karena iapun merasakan kesedihan yang sama saat orang-orang dikantor menanyakan tentang kehamilan Maeri, ia juga merasa terluka. Meskipun ia selalu menjawab semua pertanyaan itu dengan candaan yang cukup pintar tapi jauh didalam lubuk hatinya ia merasa terluka.

"Seharusnya aku menjaga mereka dengan baik Jaehwan"

"Maeri berhentilah berbicara seperti itu"

"Seharusnya aku mendengarkanmu untuk mengurangi pekerjaanku, membiarkanmu menjemputku malam itu dan tidak bersikeras untuk pulang sendiri, semua ini tidak akan terjadi"

"..."

"Mungkin jika mereka masih ada, ranjang kita akan terasa sempit karena ada mereka bersama kita, rumah kita akan ramai dengan suara tangisan mereka, kau akan mengganti popoknya dan aku akan menidurkan mereka, kita akan menjaga mereka bersama" Maeri tersenyum sementara air matanya masih megalir jatuh, "- dan kau bisa dengan bangga menyebut dirimu papa Jae didepan anak-anak kita, sesuai keinginanmu"

Jaehwan meminta Maeri untuk berbalik dan kembali memeluknya, ia mengusap rambut panjang Maeri sebelum akhirnya berkata, "Semua akan indah pada waktunya Maeri, kita harus percaya itu. Tuhan akan memberikannya diwaktu yang tepat, percayalah"

Naik turun, mungkin seperti itu grafik kehidupan kami berdasarkan kebahagiaan yang kami miliki, namun kali ini berbeda karena rasanya perjalanan kebahagiaan kami begitu drastis. Selama setahun kami merasa bahwa hidup kami penuh dengan kepalsuaan, kami berpura-pura terlihat bahagia meskipun bersedih dan terluka oleh kebahagiaan semu itu sendiri, hingga pada satu titik terendah itu kami membuat sebuah keputusan besar bahwa kami harus menemukan apa arti kebahagiaan itu bagi hidup kami.

 Selama setahun kami merasa bahwa hidup kami penuh dengan kepalsuaan, kami berpura-pura terlihat bahagia meskipun bersedih dan terluka oleh kebahagiaan semu itu sendiri, hingga pada satu titik terendah itu kami membuat sebuah keputusan besar bahwa...

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
LIVING UP WITH OUR HAPPINESS : KIM JAEHWAN [TRAPPED SERIES #4]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang