BAB 6

213 53 17
                                    

Satu garis adalah sebuah kekecewaan, lagi-lagi Maeri harus menerima hasil yang sama selama sembilan bulan belakangan. Maeri menangis dan Jaehwan tahu itu, ketika ia mendengar suara air menyala maka disaat itu juga ia tahu bahwa Maeri sedang menangis.

Bukankah seharusnya semakin sering melakukan hal yang sama dengan hasil yang sama bisa membuat seseorang merasa terbiasa dan tidak berekspektasi. Tapi entah mengapa setiap bulan itu menjadi sebuah kehancuran untuk Maeri dan juga Jaehwan yang melihat betapa besar harapan Maeri untuk mendapatkan sebuah kabar baik.

Tentu Jaehwan bukanlah suami yang bodoh untuk tidak mengerti situasi apa yang terjadi, ia selalu menunggu didepan pitu setiap Maeri mulai mengurung dirinya dikamar mandi. Maerinya bersedih dan ia ingin berada disisi wanita itu yang sudah rela untuk hidup dengannya meskipun kini pintu menjadi penghalang keduanya.

"Maeri" Suaranya pelan, lirih diiringi dengan ketukan lembut dipintu.

Sejujurnya ia bersedih, tapi ia tak ingin kesedihanya menjadi beban untuk Maeri, karena diawal bagaimana semua itu terjadi, sangat terasa berat sekali untuk keduanya lalui.

Pernah saat Jaehwan mencoba menenangkan Maeri dengan mengucapkan kata-kata bijak, wanita itu malah mulai menangis sedih dan berakhir membuat Jaehwan ikut menangis sehingga keduanya menangis bersama-sama.

Pernah juga ia mencoba diam, pura-pura tidak tahu lebih tepatnya, namun semua itu membuat Maeri jengkel dan marah karena merasa Jaehwan tidak memperhatikan dan tidak mengerti bagaimana perasaanya, hingga pada akhirnya semua kejadian itu membuat keduanya sama-sama mencurahkan semua isi hati mereka dan lagi-lagi berakhir menangis bersama.

Jaehwan rasa kali ini ia harus bersikap biasa saja dan menghibur Maeri secara bersamaan. Hingga saat Maeri membuka pintu, Jaehwan mulai berdiri tegap menatap Maeri terkejut.

"Apa yang kau lakukan di depan pintu?" Tanya Maeri.

"Mengapa kau lama sekali! Huh?" Tanya Jaehwan sembari berkacak pingang seperti menantang Maeri yang menatapnya bingung. "Aku juga ingin menggunakan kamar mandi"

"Itu urusanku, apa aku harus lapor berapa detik, berapa menit dan berapa jam aku akan menghabiskan waktu di dalam!"

Tanggapan dingin Maeri tak pernah Jaehwan pikirkan, ia melunak, menebar senyum dan mulai merangkul lengan Maeri manja.

"Aku hanya bercanda, mengapa serius sekali?"

"Kau yang mulai cari masalah"

"Jangan marah, aku hanya bercanda, bukankah hari ini kita akan berkencan? Aku tidak ingin semuanya berakhir berantakan"

"Kau hampir saja membuatku membatalkan kencan kita"

"Bercanda Maeri, bercanda. Jangan marah ok"

Maeri membuang pandanganya, satu-satu yang ia hindari adalah kedua mata Jaehwan yang seolah tak mengijinkan Maeri untuk menghindar.

"Kita juga harus mencoba makanan di restoran barumu"

Maeri memutar kedua bola matanya jengah. "Bilang saja, kau tidak mau keluar uang dan memilih tempat yang gratis untuk makan malam kita"

"Karena restoranmu membutuhkan orang sepertiku untuk membedakan makanan yang layak dan tidak layak untuk dijual"

Jaehwan tersenyum, menggoda Maeri yang buru-buru melepaskan gengaman tangan Jaehwan dari lenganya. Lagi-lagi ia menatap punggung Maeri dan seketika itu ia kehilangan senyumanya, menatap Maeri yang bersikap biasa saja seolah tak terjadi apa-apa membuatnya sedih.

Sejenak ia berfikir, apakah yang ia lakukan semua ini benar. Tapi saat memikirkanya lebih dalam lagi akan terasa lebih menyakitkan jika ia melihat air mata Maeri yang jatuh dihadapanya.

LIVING UP WITH OUR HAPPINESS : KIM JAEHWAN [TRAPPED SERIES #4]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang