Jaehwan merasa terpuruk karena kehidupanya yang tiba-tiba hancur. Bak diterjang angin topan segala sesuatu yang hidup berdampingan denganya menghilang begitu saja. Pekerjaan, harta, sampai wanita sekarangpun ia tak lagi memilikinya. Maerinya pergi meninggalkan hidupnya, bahkan wanita itu pergi dengan semua barang-barangnya.
Satu botol soju kini seperti satu-satunya teman yang ia miliki, teman yang akan setia dan rasanya tak akan menyakiti.
Ia tertidur di lantai menatap keluar jendela karena Meri membawa tempat tidur dan sofa yang dulu memang mereka bawa dari apartemen Maeri, terasa hampa dan kosong karena beberapa furnitur dan barang elektronik di apartemenya nenghilang.
Saat itu ia melihat matahari mulai terbenam dari jendelanya. Ia merindukan Maeri yang selalu mengisi harinya dan membuat hari-harinya ramai.
"Aku tidak bisa seperti ini" ucapnya yang saat itu bangkit dari tempatnya dan memutuskan untuk pergi.
Jaehwan pikir ia harus menyelesaikan permasalahanya, ia tak mungkin membiarkan pernikahanya berakhir tanpa perjuangan karena hal terakhir yang ia lakukan hanyalah memberi tanda tanganya tanpa membahas apapun.
Kata-kata Anna terasa benar, ia akan mengalah. Tak peduli apa yang Maeri lakulan dan ucapkan padanya ia akan mengalah demi hubungan keduanya. Semua keinginan itu membuat ia bertekat untuk menemui Maeri di Comme en Corée, tempat yang selama ini menjadi sumber masalah rumah tangganya. Sampai akhirnya Jaehwan menemukan Maeri yang saat itu keluar restoran dan melihatnya dengan tatapan datar.
Jaehwan sempat mematung karena lama tak melihat wajah itu karena ia merindukan Maeri. Tanpa berpikir panjang ia mulai menghampiri Maeri yang tidak menghindar ataupun menjauh, saling berhadapan dengan jarak yang memisahkan mereka.
"Ada apa?" Tanya Maeri ketus.
Jaehwan perlu menata hatinya, ia tak memikirkan alasan yang tepat untuk menemui Maeri. Sementara Maeri terus menatap Jaehwan sedih, entah apa yang ia rasakan tapi ia cukup kasihan menatap Jaehwan yang nampak berantakan dan tak terawat.
"Kau membawa tempat tidur, sofa, dan matras"
Jaehwan memang bodoh, entah mengapa kata-kata itu yang keluar dari bibirnya jika tujuan ia datang tak lain untuk menyelesaikan permasalahanya dengan Maeri.
"Lalu?"
"Aku tidak punya tempat untuk tidur"
"Jadi kau menemuiku hanya untuk bilang bahwa kau tidur dilantai?"
"Bukan itu"
"Lalu?"
Jaehwan menelan dalam-dalam salivanya saat tatapan tajam Maeri seperti tembakan yang langung melubangi tubuhnya. Ia tak tahu harus memulainya dari mana.
"Aku ingin berbicara denganmu"
"Kita sudah melakukanya sekarang, apa ada lagi?"
"Mengapa kau dingin sekali?" Tatapan Maeri tak berubah sedikitpun. "Sampai detik ini kau masih tetap istriku. Pegadilan belum mengetuk palunya"
"Tapi bagiku ini sudah berakhir Kim Jaehwan, berakhir setelah kau menandatangani surat perceraian kita"
"Aku- aku tidak ingin berpisah darimu Maeri. Aku membutuhkanmu" ucap Jaehwan memelas.
"Lalu mengapa kau menanda tanganinya jika kau masih menbutuhkanku?"
"Aku terlalu emosi saat itu, kau tahu semua tidak berjalan dengan baik dan saat aku menerima surat itu darimu"
"Maka seharusnya kau berpikir baik-baik sebelum membuat keputusan Jaehwan, bagiku semua itu seperti sebuah jawaban bahwa kau tak lagi menginginkanku"
KAMU SEDANG MEMBACA
LIVING UP WITH OUR HAPPINESS : KIM JAEHWAN [TRAPPED SERIES #4]
Fiksi Penggemar[ON GOING] [BISA DIBACA TERPISAH] TRAPPED SERIES LIVING UP WITH OUR HAPPINESS Kim Jaehwan's side story Im Maeri dan Kim Jaehwan seperti dua orang yang ditakdirkan untuk bersama bahkan sejak pertemuan pertama mereka, memulainya dengan sebuah persahab...