O1. Prolog

1.4K 46 7
                                    

    "Woi! Turun kamu! Ngapain manjat-manjat tembok gitu!?" teriak pak Aming penjaga sekolah, dari bawah sana.

     "Cepet woi, bisa dipanggil kita nanti!" ucap Kusno salah satu teman bolosku, ia berteriak dari sisi tembok yang berbeda dengan pak Aming.

     Itulah kehidupanku dulu, sangat menyenangkan bagiku. Bisa membolos tanpa takut apapun. Setelah aku mendarat ke tanah, kami segera berkumpul dengan teman kami yang lain.

     "Lama amat, Yan. Lupa cara kabur ya?" sembur  Sandi, salah satu temanku yang sudah memanjat tembok lebih dulu.

    "Hampir ketauan pak Aming tadi." balas Kusno sedikit kesal.

    "Lah udah ketahuan, kampret." timpalku.

    Kami  membolos pelajaran yang paling kami tidak sukai, matematika. Sudah hal yang wajar jika bangku kami kosong pada jam tersebut.

    "Bawa korek, Yan?" tanya Sandi.

    "Mana sempet bawa gituan."

     Sandi hanya mendesah kecewa. Ya, dia seorang perokok. Ia kemudian pergi ke warung, untuk membeli korek api. Tak lama, ia kembali dengan rokoknya yang sudah ia hisap.

    "Tuh motornya, mau coba kan?" ucap  Sandi, setelah membeli korek.

    "Oh iya pasti!" balasku.

    Langsung saja Sandi melempar kunci motor miliknya padaku. Ia mempercayai motor barunya padaku, aku langsung mengajak Kusno untuk mencoba motor tersebut.

     Aku yang mengendarai, langsung begitu saja menancapkan gas. Kemudian, disusul oleh teman-temanku.

    "Tambah kecepatan, Yan!" teriak Kusno didibelakangku

    Namun, aku terlalu menikmatinya, dan tidak fokus pada sekitar. Belum lagi aku tidak menggunakan helm.

     "Yan! Awas!!" teriak Sandi dibelakang.

    Namun, suaranya kalah kencang dengan klakson mobil dari samping.

• • •

     Aroma obat-obatan yang menyengat dirumah sakit. Ya, aku baru saja sadar dari kecelakaan kecil tadi siang. Kepalaku terasa nyeri, pendengaranku terasa aneh. Entah, aku merasa berisik sekali. Lalu, disini sangat gelap.

    Aku mencoba bangun,

    "Ugh,"

    "Yan!? Pa! Brian sadar!" aku mendengar suara seseorang yang sudah tak asing bagiku.

    "Ma? Ini apa?" aku bertanya, sambil meraba-raba kain atau apalah itu. Kain itu menutupi mataku.

    "Dok, gimana?" kembali kudengar suara mama.

    "Buka saja." lalu aku merasakan ada yang mencoba membuka kain itu.

    "Masih gelap?" tanya suara asing itu.

    Aku mengangguk. Kemudian aku mendengar mama menangis. Ia juga mengomel karena aku buta.

     Aku hanya diam mendengarkan mama menangis, tak lama setelah itu tangisnya mereda.

     Shock? Tentu saja, penglihatanku hilang. Aku mengumpat dalam hati,  berharap dapat melihat wajah mamaku yang menangis karena aku. Apa yang aku lakukan tadi? Mengapa begitu ceroboh, bodoh sekali diriku.

    "Ma," aku mencari keberadaan mamaku.

    "Kenapa, Yan?" mama memegang tanganku,
    "Mama disini."

BUTA ((hiatus)) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang