O2.

850 42 8
                                    

    Beberapa hari setelah kecelakaan yang menimpaku, ternyata aku tidak langsung pindah ke rumah tante. Ya, ada beberapa hal mengenai sekolah dan sebagainya yang harus di urus.

    Teman-temanku? Mereka tidak mau bertemu denganku lagi, antara mereka malu, merasa bersalah atau memang mereka yang brengsek.

    Lupakan soal kecoa itu. Aku akan masuk sekolah swasta di kota yang jauh dari sini. Untung saja kecelakaan ini terjadi di akhir tahun pelajaran.

    Aku duduk di ujung kasurku, menunggu mama merapikan barang-barangku. Entah apa saja yang dimasukkan kedalam tasku, sepertinya sangat banyak.

    "Ma," aku bangun dari duduk, dan memegang lengannya.

    "Jangan terlalu banyak memasukan barang, nanti berat. Hehehe." lanjutku.

    "Ah sudahlah kamu duduk, diam. Ini semua penting untukmu." ucap mama, kemudian melanjutkan kegiatannya lagi.

    Yasudahlah, memang mama begitu. Aku kembali duduk. Papa, dia hanya berhenti  sebentar untuk memperhatikan kamarku dari luar, kemudian melewatinya begitu saja.

    "Ma! Alendra datang!" teriak papa dari luar.

    "Ah iya Brian, ayo! Tantemu sudah datang." mama menarik tanganku, mengajakku keluar dari kamar.

    "Ya tau, aku juga dengar."

   

    Kami berada diruang tamu, astaga parfum tanteku aromanya sangat menyengat. Kurasa ekspresi wajahku tidak bagus.

    "Brian! Sudah besar kamu! Astaga tinggi sekali kamu sekarang." dia menepuk-nepuk pundakku.

    "Tante, turut bersedih atas kejadian yang menimpa kamu."

    "Iya, Tante."

    "Duduk sana, jangan berdiri terus. Besar betis kalian nanti!" ucap papa.

    Akhirnya kami berkumpul diruangan ini, mereka membahas banyak hal yang tidak terlalu penting. Aku hanya duduk diam, disamping mama.

    "Aku masih ingat waktu Brian masih bayi, dia sangat lucu! Inginku gigit dulu pipinya yang chubby itu!" ucap tante tiba-tiba membahas diriku, apa-apaan itu.

    "Ahahaha, iya. Dia menggemaskan dulu." Mama melanjutkan pembahasan itu. Kemudian menepuk-nepuk kepalaku.

    "Jadi kapan Brian mau berangkat nih?" tanya tante.

    "Sebe–"

    "Secepatnya, hehehe." aku memotong kalimat papa.

    "Sekaranglah." lanjutku.

    Mama dan papa hanya diam.

    "Hmm, iya. Barangnya Brian juga udah siap." kata mama.

    "Yaudah deh, kalau gitu. Siap-siap ya!" kata tante.

    Akhirnya setelah, kurang lebih satu jam, kami berbincang. Papa dan mama membantu membawakan barangku keluar. Sedangkan, tante menyiapkan mobilnya.

    "Sinii." Tante memasukan barang- barangku ke bagasi mobil.

    "Brian, sini nak." ucap mama.

    Aku mendekati mama, menggunakan tongkat. Mama tiba-tiba memelukku.

    "Jadi anak yang baik disana! Jangan ngerepotin tantemu! Belajar yang bener, ubah sikapmu yang dulu, jangan main sama temen yang aneh-aneh." kalimat mama panjang lebar.

    Mama sedikit menangis, aku balas memeluknya, aku menganggukkan kepalaku.

    "Yaampun, kaya mau pergi keluar negeri aja. Tenang aja, nanti kalau Brian kangen mamanya. Kita kesini lagi." Tante sudah selesai menaruh barang-barangku.

    Mama melepas pelukanku, dia mengganguk mengerti. Aku balas dengan tersenyum.

    "Ayo masuk, Yan!" tante membukakan pintu mobilnya.

    "Makasih, tan." Aku masuk, dan pintu ditutup.

    Tante Alendra ikut masuk, dan membuka kaca jendelanya, agar mama dapat melihatku.

   "Dadahh, Brian!" teriak mama. Aku melambaikan tangan pada mama, sambil tersenyum.

    Mobil akhirnya menjauh, dan kurasa sudah keluar dari area rumah.

• • •

    "Yan, kamu jurusan apa?" tante mengajakku berbicara selama perjalanan.

   "Ips, tante." jawabku.

   "Wih, mau jadi apa, Yan? Pengacara? Jaksa? Atau apa?" tanyanya lagi.

    "Buset. Gatau deh mau jadi apa. Lulus aja dulu tan, masuk ips juga karena ngga mampu Ipa." Aku tertawa malu.

    "Ohh, gitu. Masuk bahasa tuh kamu cocok. Kamu kan pinter bahasa."

    "Emang ada?" tanyaku.

    "Kalau engga ada, tante ngga bilang, Yan."

    "Oh, hehehehe."

    "Udah makan, Yan? Kalau udah, temenin aja tante makan ya. Disini ada tempat makan enak."

    "Hmm, iya. Kenapa ngga dirumah aja tadi makannya, mama masak lumayan tadi." balasku.

    "Masa? Kok ngga ditawarin?!" suara tante meninggi.

    "Lupa, hehehehe."

    "Yaudah, nanti kalau mau makan lagi, pesen aja." kata tante.

    "Iyaa."

    Kami sampai di tempat makan, yang katanya tante, makanannya enak-enak. Entahlah, aku tidak berniat makan.

    "Bisa turun sendiri, Yan?" tanya tante.

    "Bisalah."

    Soal turun dari mobil itu adalah hal yang mudah. Tenang saja, aku ini mudah beradaptasi.

    "Yok!" tante memegang satu tanganku, membimbingku untuk masuk.

   BRUG...

    "Eh kalau jalan liat-liat dong!" kata mba-mba asing itu.

    "Eh, buta ya. Maaf, ngga tau." lanjutnya, padahal belum beberapa menit dia membetakku.

    "Woi cabe! Kamu jalan yang bener! Jangan main hape aja! Kamu yang nabrak kok! Dipikir saya ngga liat, kali ya? Bodoh!" yha, mampus kenapa omel tante dia.

    "E-eh, tante. Udah, ayo biarin aja." aku berusaha menenangkan tante.

    "Huft, iya harus sabar." tante mengajakku untuk pergi.

    Kami menjauh dari perempuan tadi, mereka— yang kena omel tanteku, masih diam ditempatnya. Sepertinya mereka tidak terima diomeli seperti itu.

    Aku menoleh sedikit pada mereka, dan terkekeh kecil. Sebenarnya, aku juga tidak suka dibilang buta, walau itu fakta. Kemudian aku menoleh kedepan kembali.

     "Sialan, aku diketawain masa." ucap mereka, yang terdengar olehku. Sepertinya, musuhku bertambah.

Tokoh

Tokoh

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
BUTA ((hiatus)) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang