"Hai, Lyanne," Lyanne kenal suara itu. Devan, lelaki itu tengah berjalan ke arahnya dari belakang.
Cepat-cepat, Lyanne beranjak dari bangku yang terletak di halaman rumahnya—bangku pertemuan dirinya dengan Devan. "Aku harus pergi."
Sayangnya, yang dilakukan gadis itu gagal. Devan lebih cepat mencekal pergelangan tangan Lyanne. Tentu saja, gadis itu membalikkan tubuhnya dan bertatapan langsung dengan Devan.
"Kenapa kau menghindar?" tanya Devan dengan sorot matanya yang serius.
"Kau bodoh? Oh, tidak. Aku yang bodoh," balas Lyanne sarkastis. Matanya menatap malas.
Devan merasa risi, tapi ia berusaha sabar. "Anne, kau kenapa? Kau sedang bermasalah denganku, kan?"
"Kau mampu berpikir?"
"Kenapa kau begitu sarkasme?" Penuturan Devan membuat Lyanne terdiam.
"Karena ... tentang perasaan itu, aku sungguh bo--"
"Berhenti menyalahkan dirimu sendiri. Itu bukan salahmu," tegas Devan.
"Lalu kenapa kau bertanya mengenai masalahku denganmu? Tidak ada apa-apa, kan?" ujar Lyanne dengan matanya yang kini enggan menatap sahabatnya.
Sejujurnya, Devan tak suka jika Lyanne tak menatap dirinya ketika bercengkrama serius. "Lihatlah ke arahku. Jangan membuang pandanganku ke arah lain."
Dengan begitu terpaksa, Lyanne menatap Devan begitu sabar. "Baik, Devan."
"Jika tidak ada masalah, kenapa kau menjadi dingin seperti ini?"
"Bukankah memang pribadi asliku jika aku adalah gadis yang dingin?" Oh ya, Lyanne adalah gadis dingin. Ia hanya terbuka pada Devan dan keluarganya.
"Bukan begitu. Maksudku, kenapa kau tampak tak peduli padaku? Seperti ..., ketika kau berucap begitu sarkasme. Kau tak memikirkan perasaan orang lain?"
Kemudian, kedua tangan Lyanne bergerak menepuk tangan. "Bagus, Dev. Jadi, siapa yang tak memikirkan perasaan orang lain? Dan maaf, tadi aku berujar tak sopan."
Gadis seperti Lyanne memang pandai membuat lawan bicaranya terdiam dan berpikir lebih. Dalam hati Devan, ia merasa bersalah. Waktunya bertemu dengan Lyanne seakan terus tergerat dengan waktunya bersama Sesha.
"Lyanne? Kau ..., kau akan melupakan perasaan itu?" Benci, Lyanne benci mendengar hal ini. Mulutnya kelu untuk menanggapi perkataan lelaki di hadapannya tersebut.
"Jika iya?"
Devan menunduk. "Maafkan aku. Aku tak seharusnya kembali menerima Sesha. Mungkin saja aku menyesal."
"Dan, jika tidak?" Tangan Lyanne bergerak menyentuh dagu Devan dan mengangkatnya lembut.
"Aku akan memikirkan lebih tepat. Seharusnya aku memilikimu. Namun, bagaimana dengan Sesha?" Rupanya, Devan bingung sendiri.
"Lantas, siapa yang handal mempermainkan perasaan orang lain?"
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Devanne [Short Story]
Short Story-Completed- Setiap pertemuan berkesan yang terjadi saat senja terbentuk. A short story by @Rede-fine