lima

86 14 11
                                    

"Semoga saja Lyanne akan bertemu denganku hari ini di sini," gumam Devan yang sedang bersandar pada bangku yang letaknya berada di halaman rumah Lyanne.

Sudah 15 menit, Devan menunggu Lyanne agar segera ke luar rumah. Namun, tetap saja tiada tanda-tanda bahwa gadis itu akan ke luar rumahnya.

Devanne menutup matanya. Ia menghela napas beratnya. Devan beranjak dan berjalan ke depan pintu rumah Lyanne. Kemudian, mengetuknya.

Tak ada respons dari pemilik rumah. Orang tua Lyanne sedang berlibur ke luar kota. Tidak mengajak Lyanne, karena gadis itu masih dalam bulan-bulan kegiatan sekolah dilakukan.

"Lyanne?" panggil Devan kemudian kembali mengetuk pintu.

"Pergi. Aku bodoh mengatakan hal itu kemarin." Lyanne berucap lirih. Ia bersandar pada pintu rumahnya, enggan bertemu dengan Devan.

"Kau tak seharus--"

"Aku memang tak seharusnya begitu, Devan. Pergilah, aku tak ingin bertemu denganmu," ujar Lyanne. Ia menunduk, merutuki dirinya.

Beruntung, Devan adalah pribadi yang sabar. Ia terus membujuk Lyanne agar segera ke luar rumah dan menemuinya. "Anne, aku tak akan membicarakan hal itu, sungguh."

"Sungguh?"

Namun entah kenapa, mulut Devan berujar dengan mudahnya. "Ayolah, aku merindukanmu."

"Berhenti membicarakan hal itu, Dev. Aku benci. Jika saja aku bukan sahabatmu, aku telah menjauhimu. Setelah mengatakan itu, aku benci pada diriku. Aku berniat menjauhimu. Namun, kau masih sahabatku." Tangan Lyanne bergerak menyugar anak rambutnya. Senyum miris kini menghiasi bibirnya.

"Jika kau benci hal itu, aku tak akan membahasnya. Aku ingin bertatap muka denganmu, itu saja." Perkataan Devan membuat Lyanne terdorong untuk membukakan pintu rumahnya.

Tampaklah Devan dengan setelan rapinya. Berbanding terbalik dengan Lyanne. Rambutnya sebahunya berantakan. Piyamanya belum ia ganti. Matanya terlihat baru saja bangun tidur. Sedikit merah dan menatap Devan sedikit sipit.

"Lyanne, kau kenapa?" tanya Devan setelah meneliti penampilan Lyanne yang jauh dari kata 'rapi'.

Sedetik kemudian, Lyanne tersenyum simpul. "Sudah kau bilang, kau hanya ingin bertatapan denganku. Kalau begitu, aku akan masuk. Bye, Dev."

"Tidak--"

Lyanne telah mundur beberapa langkah dan menutup pintunya. Ia kembali menyandarkan tubuhnya pada pintu. Tubuhnya merosot seketika. Kedua tangannya menutup wajahnya. Ia menunduk, betapa bodohnya ia. Rasa penyesalan itu terus menguasai pikiran dan hatinya.

***

Devanne [Short Story]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang