sembilan

83 13 32
                                    

"Nanti, aku akan ke rumahmu, ya? Seperti biasa ...."

"Baiklah, Dev. Mau kuhidangkan apa?"

"Tak usah repot-repot. Aku akan membawakanmu sesuatu."

"Dev, itu tak per—"

"Devan? Hei!" Lyanne melihat ponselnya. "Dasar Devan," desisnya.

"Ia akan membawakan apa? Lagipula aku sudah kenyang dengan segala kejutan yang ia berikan," ucap Lyanne. Ia memasukkan ponselnya ke saku kemejanya.

***

"Hai, Dev!" seru seorang gadis yang menghampiri Devan. Gadis itu adalah Sesha.

Tangan Devan bergerak memasuki saku celananya. Menatap gadis itu dengan tatapan datarnya. Ia menghela napas dan berdeham sebagai jawaban.

"Kau dari mana?" Sesha berbasa-basi.

"Membelikan cokelat," balas Devan malas. Ia menatap ke arah lain, enggan menatap mantan kekasihnya itu.

"Kau masih kesal?" tanya Sesha membuat Devan semakin muak berinteraksi dengannya.

Sesha memutar bola matanya. Ia tersenyum palsu. "Untuk Lyanne, kan? Sahabatmu penghancur hubungan kita?"

"Sialan, pergi kau!" umpat Devan menatap tajam ke arah Sesha.

Jemari Sesha bergerak menyentuh lengan Devan yang tangannya menggenggam sebuah cokelat berbentuk hati. Kemudian, gadis itu mengelusnya lembut. "Devan ...," gumamnya.

Sebelah tangannya ia keluarkan dari sakunya. Lalu, ia menepis tangan Sesha. "Cialat." Devan pergi meninggalkan Sesha yang masih tersenyum.

Apakah gadis itu telah gila?

***

"Fyuh...." Devan mengatur rambutnya. Ia duduk di bangku halaman rumah Lyanne. Kedua tangannya ia letakkan pada sandaran bangku. Sedangkan, cokelat yang ia beli, ia letakkan di sampingnya.

Pikirannya mengalir menuju Sesha. Gadis itu murah menurutnya. Ia menyesal telah menjalin hubungan dengan Sesha. Bukankah setiap hubungan yang kandas, terkadang menciptakan penyesalan?

Itu hanya terkadang.

Matanya cukup berat. Ditambah dengan Devan yang menguap. Linang air matanya mulai membentuk. Pandangannya terkesan membuncah. Ia mulai tertidur.

Di mana Lyanne? Mengapa gadis itu tak kunjung menemuinya? Apakah ia terlalu cepat? Atau memang gadis itu yang terlambat?

Banyak pertanyaan yang terlintas di benak Devan. Namun ..., sudahlah, kantuk mengalahkan segalanya.

***

Devanne [Short Story]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang