Part 1 : Salju Hitam di Tepi Jurang

669 50 9
                                    

Hallo, hallo, ...

Novel MUSIM DINGIN DI IZMIR sudah naik cetak. Terima kasih buat semua teman-teman yang sudah ikut pre order. Sambil menunggu proses cetak selesai, saya nulis cerita baru nih. Lagi-lagi ber-setting Turki, tepatnya di Erzurum.

Berdasarkan hasil riset, kota ini merupakan salah satu kota terdingin di dunia. Musim dinginnya lebih panjang dibandingkan kota-kota lain.

Kenapa mengambil setting Erzurum?

Hhhmmm, yang pasti karena kebutuhan cerita.

Oya, tulisan ini merupakan tantangan menulis di Forsen, komunitas menulis yang saya ikuti. Jadi pada bulan April, semua member Forsen wajib membuat cerita mix genre. Dan, SALJU DI ERZURUM memadukan genre romance dan mistery.

Seperti apa ceritanya?

Silakan dibaca saja. Semoga bisa dinikmati. Jangan lupa vote dan comment-nya yaa.

Saya terbuka dengan kritik dan saran selama disampaikan dengan cara yang baik. Terima kasih.

*****

Tubuh Hulya memutar. Mata bulatnya nyalang menelisik ke setiap penjuru. Kernyitan yang kemudian tampak di keningnya menandakan perempuan berusia 35 tahun itu sedang berpikir. Tepatnya, mengingat-ingat bagaimana bisa ia berada di tempat ini.

Mata cokelat itu mengerjap, berharap semuanya hanya halusinasi. Namun, penglihatannya tak berubah. Ia benar-benar berada di puncak bukit, dikelilingi semak belukar dan bebatuan besar. Sekitar dua meter di belakangnya tegak sebuah pohon raksasa berdaun rimbun. Sedangkan beberapa langkah di depannya tampak jurang yang sangat curam.

Kebingungan Hulya belum pupus ketika angin berembus lebih kencang. Pada saat yang bersamaan, warna langit menjadi kelam. Gumpalan awan kelabu tua berarak menuju matahari, lalu menutupi cahayanya.

Wajah Hulya memucat. Jantungnya berdetak tak terkendali ketika dilihatnya langit menurunkan serpihan-serpihan salju. Seumur hidupnya, hampir 150 hari ia disuguhi salju setiap tahun. Namun, baru kali ini ia melihat salju berubah hitam saat mencapai permukaan tanah. Dan, dalam sekejap segala sesuatu yang ada di sekelilingnya berubah warna. Legam.

Ia melangkah mundur, hendak mencari tempat berlindung. Tubuhnya sempat terjajar dan berusaha menahan keseimbangan ketika tumitnya terantuk akar. Sebuah ringisan terbentuk di bibir perempuan itu saat kaki telanjangnya menginjak bebatuan dan semak berduri. Perih.

Persis di bawah pohon, Hulya baru berhenti. Rimbun dedaunan mampu melindunginya dari salju hitam yang masih luruh. Sesaat ia merasa aman, hingga terdengar angin menderu semakin kencang. Dahan pohon di atas kepalanya berderak-derak dan daun-daun berguguran.

Secepat mungkin Hulya menjauh. Matanya kembali nyalang, mencari-cari tempat berlindung. Dan, pada saat itulah matanya menangkap seorang lelaki tengah berjalan menuju tepi jurang. Hanya tampak punggungnya, tetapi ia bisa mengenali sosok tinggi besar itu.

"Eldar!" Hulya berseru sekuat tenaga, melawan deru angin. Tanpa mengindahkan salju hitam yang berjatuhan mengenai rambut dan pakaiannya, ia segera berlari ke arah sang suami.

Lelaki itu tidak menanggapi seruan Hulya. Ia pun tampak tak peduli pada situasi yang sedang terjadi. Sepasang kakinya terus terayun mendekati bibir jurang.

"Eldar!" Sekali lagi Hulya berteriak keras, hingga Eldar akhirnya berbalik ke arahnya.

Sepasang mata hijau lelaki itu menatap Hulya dengan nanar. "Özür dilerim, Hulya. Hoşçakal," ucapnya menyampaikan permintaan maaf dan salam perpisahan seraya melangkah mundur.

Kening Hulya mengernyit, berusaha mencerna maksud perkataan suaminya. "Apa yang akan kau lakukan?" jeritnya kemudian. Ia tak lagi peduli pada angin yang masih menderu. Pun, pada sinar matahari yang masih tersaput awan gelap. Apa yang dilakukan Eldar baginya jauh lebih menakutkan.

Eldar tak menjawab. Jarak kakinya dengan bibir jurang semakin dekat. Tiga langkah lagi, tubuh lelaki itu akan melayang dan mendarat di bebatuan nan terjal di bawah sana.

"Dur! Eldar, dur!" Hulya berseru meminta Eldar berhenti. "Lütfen, yapma!" Tangannya terulur, memohon agar sang suami tak melakukannya. Namun, upaya perempuan itu sia-sia.

Satu.

Dua.

"Eldaaar!" Jeritan Hulya menggema di dinding kamar. Perempuan itu terbangun persis ketika tubuh Eldar terjengkang ke jurang. Untuk beberapa jenak, ia hanya mampu duduk di atas tempat tidur sambil mengatur napasnya yang tersenggal.

Hulya mengusap wajah, mengusir kelebat mengerikan yang baru saja dialaminya dalam mimpi. Sambil menarik napas dalam, ia berpaling ke sisi kiri tempat tidur.

Seperti malam-malam sebelumnya, kosong. Ia sudah terbiasa melewati ribuan malam tanpa Eldar. Perempuan itu menghela napas. Dengan tangan gemetar, ia meraih gelas air putih di meja sebelah tempat tidur, lalu meneguknya hingga tandas.

Setelah menyingkirkan selimut, Hulya bangkit meninggalkan tempat tidur. Disibaknya tirai biru toska yang menutupi jendela kamar. Jalan di depan rumahnya tampak lengang. Selain sudah larut, temperatur udara malam ini mencapai nol derajat celcius. Tak ada penduduk Desa Umudum yang mau berkeliaran di tengah udara sedingin itu. Kalaupun ada yang masih terjaga, tentu orang itu akan lebih memilih melewatkannya di depan perapian.

Pada tahun pertama pernikahan, ia dan Eldar sering melakukannya. Mereka berbincang hingga larut malam di dekat perapian. Atau, sekadar saling berpelukan sambil memandang luruhnya salju melalui jendela kaca. Namun, masa-masa itu sudah lama berlalu. Sudah sangat lama. Ada belasan musim dingin yang sudah ia lewati dalam kesendirian, seperti malam ini.

Hulya melempar bongkahan kayu ke dalam perapian di ruang tengah. Suara berkeletek terdengar saat lidah api menjilati dan melahapnya. Di luar sana salju turun dengan lebat. Sebagaimana biasa, Erzurum disambangi salju dengan intensitas lebih tinggi dibandingkan kota-kota lain di Turki.

Melalui jendela yang tirainya ia biarkan terbuka, Hulya memandang hamparan putih di halaman hingga ladang gandum di seberang jalan. Remang cahaya lampu membuatnya tampak berkilauan. Ia jadi teringat salju hitam pekat dalam mimpinya.

Mimpi yang ia alami biasanya merupakan refleksi emosi. Terkadang merupakan keinginan-keinginan yang tersimpan dan tidak bisa dilakukannya dalam kenyataan. Tatkala ditelikung kesedihan, ia sering bermimpi menangis sejadi-jadinya hingga terbangun dengan dada sesak. Atau, ketika marah pada seseorang ia bermimpi berteriak-teriak sampai melempar benda-benda di sekelilingnya.

Salju hitam dalam mimpinya itu pasti karena sebelum tidur ia membaca berita yang dilansir media Rusia tentang salju hitam yang menyelimuti Siberia, sebuah femomena yang terjadi akibat kebocoran selubung penahan debu tambang batu bara di Cekungan Kuzbass. Dan, alam sadarnya menyimpan kecemasan terhadap kejadian itu.

Lalu, tentang Eldar yang menjatuhkan dirinya ke jurang ... Hulya mendesah. Hatinya disergap keresahan. Mungkinkah alam bawah sadarnya menginginkan kematian lelaki itu?

❄❄❄


SALJU DI ERZURUM (Hiatus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang