Dengan sigap petugas kepolisian mengevakuasi jenazah Eldar. Lelaki bertubuh tinggi besar itu sudah berada di kantung jenazah dan dinaikkan ke dalam ambulans. Tak lama kemudian sirine meraung seiring putaran roda ambulans yang melaju cepat, diiringi dua sedan hitam berlogo kepolisian Turki.
"Aku sendiri yang akan mengabari keluarganya." Demir menurunkan kedua tangan dari pinggang, lalu berpaling pada anak buahnya. "Kalian kembali ke kantor dan Selim, kau kembali ke TKP, kabari aku jika ada temuan sekecil apa pun!" perintahnya sebelum melangkah menuju mobil.
"Tamam, Komiser!" Anak buah Demir serempak menyahut, lalu bergegas melaksanakan perintah sang atasan.
Sepeninggal anak buahnya, Demir tak segera melajukan mobil, padahal sudah sejak tadi Selim mengirimkan alamat keluarga Arslan melalui pesan whatsapp. Lelaki itu terdiam sambil menopangkan sikutnya pada kemudi, teringat percakapannya dengan Yağız tadi pagi.
***
Lima jam sebelumnya.
Suara bel yang berulang-ulang membangunkan Demir dari lelapnya. Lelaki itu membenamkan wajah ke bawah bantal, berharap suara bel itu tak sampai ke pendengarannya. Ia masih enggan terjaga karena baru bisa tertidur setelah subuh.
"Allah, Allah, siapa yang bertamu pagi-pagi begini?" gerutunya seraya melempar bantal ke ujung tempat tidur.
Untuk beberapa saat lelaki itu memandang langit-langit kamar, mengumpulkan kesadaran. Sinar matahari yang menerobos masuk melalui kaca membuat matanya mengerjap berkali-kali. Setelah salju turun sepanjang malam, pagi ini matahari bersinar cerah.
"Tamam, tamam, geliyorum!" Demir berseru ketika bel terdengar lagi, memberitahu jika ia akan segera datang.
Sambil menyeret langkah, lelaki itu mengusap kedua mata yang masih enggan terbuka sepenuhnya. Sesaat sebelum menarik gagang pintu, ia juga tak bisa menahan mulutnya menguap. Ia benar-benar masih mengantuk.
"Günaydın, Amca."
"Yağız?" Demir tak bisa menyembunyikan keterkejutan. Ia bahkan lupa menjawab ucapan selamat pagi dari tamunya. "Gel, Oğlum!" Ia melangkah mundur, mempersilakan Yağız masuk. Kedatangan anak itu berhasil mengusir kantuknya seketika.
Yağız mengangguk. "Teşekkür ederim." Ia mengucapkan terima kasih seraya mengikuti Demir menuju sofa hitam di salah satu sudut ruangan. Anak itu kembali mengucapkan terima kasih ketika dipersilakan duduk.
"Tunggu sebentar, aku akan buatkan teh untukmu." Demir berlalu ke arah pantri di sudut lain. Sambil menjerang air di çaydanlık, diam-diam ia memperhatikan Yağız yang duduk sambil memperhatikan deretan bingkai persegi yang terpasang di dinding.
Ruangan bernuansa monokrom itu memang didisain tanpa sekat agar terasa lapang. Kesan itu semakin terasa karena salah satu bagian dinding terbuat dari kaca sepenuhnya. Sepanjang waktu Demir membiarkannya tanpa tirai. Melalui kaca itu, ia bisa leluasa melihat segala sesuatu yang terjadi di bawah sana. Ia juga bisa memandang angkuh dan dinginnya Gunung Palandöken yang senantiasa berselimut salju.
"Aku tadi ke kantor polisi," cetus Yağız ketika Demir meletakkan gelas tulip berisi teh di hadapannya. Uap tipis mengudara. Aroma teh menguar berpadu dengan aroma kopi dari cangkir di tangan Demir. "Mereka bilang kau belum datang. Maaf aku telah lancang meminta alamatmu."
"Tidak masalah, Yağız," balas Demir sembari meletakkan cangkir kopi, kemudian duduk di sofa yang menghadap ke arah televisi. "Kalau kedatanganmu kemari untuk memperingatkanku lagi agar menjauhi ibumu, kau tak perlu khawatir."
"Bukan, bukan itu maksud kedatanganku." Yağız lekas menggeleng. "Aku ...."
Alis Demir mengernyit. Dipandangnya Yağız dengan kepala penuh tanda tanya.
"Aku minta maaf atas sikapku kemarin," ucap anak itu. "Aku juga minta maaf karena sudah menguping perbincanganmu di rumah kayu itu."
"Yağız." Demir mengusap cambang yang belum sempat dicukurnya dua hari ini. Dihelanya napas sebelum meneruskan kalimat. Semua isi hatinya tumpah sore itu pada Ferman. Ia sungguh tidak menduga diam-diam Yağız mendengarnya. "Kau jangan salah paham, aku tidak bermaksud ...."
"Aku senang mendengarnya, Amca," tukas Yağız membuat alis Demir semakin mengernyit. "Selama ini kupikir tidak ada seorang pun yang mencintai ibuku."
"Anlamadım." Demir mengutarakan kebingungannya. Ia benar-benar tidak mengerti arah pembicaraan anak itu.
"Amca, bana söz!" Yağız menggeser posisi duduknya. Ia mendekat pada Demir, meraih tangan dan meminta lelaki itu berjanji padanya. "Kalau kau benar-benar mencintai ibuku, lindungi dan jangan sekalipun menyakitinya. Lütfen!" pintanya membuat Demir tercengang tanpa bisa berkata-kata.
Hingga sekarang lelaki itu belum bisa memahami ucapan Yağız, karena sebelum sempat ia bertanya lebih jauh, ponsel anak itu berdering. Yağız pun buru-buru pamit, meninggalkan banyak tanda-tanya di benaknya.
*****
Alhamdulillah sudah part 12 nih.
Siapa ya yang membunuh Eldar?
Atau, hanya kecelakaan?
Lalu, apa maksud Yağız sebenarnya dengan berkata seperti itu pada Demir?
Penasaran dengan lanjutannya?
Kalau nggak, nggak akan diterusin, hehe
KAMU SEDANG MEMBACA
SALJU DI ERZURUM (Hiatus)
General FictionDemi anak, Hulya bertahan dalam pernikahannya yang tak bahagia. Takdir mempertemukannya kembali dengan Demir, sang mantan kekasih. Lelaki itu mampu membaca luka yang disimpannya di dalam hati dan meminta kesempatan untuk memberikan kebahagiaan. Pa...