Demir menarik gagang pintu ruang interogasi. Ia bergegas keluar dengan wajah gusar. Kulit putihnya tampak kemerahan. Lelaki itu memberi isyarat pada salah seorang anak buahnya untuk menggantikan. Ia butuh secangkir kopi agar bisa sedikit lebih tenang.
Berdasarkan bukti-bukti yang terkumpul, suami Yağmur berhasil ditahan hari ini. Sudah banyak kasus yang Demir tangani. Tak terhitung para pelaku kejahatan yang duduk berhadapannya di meja interogasi. Namun baru kali ini emosinya terkuras habis.
Fakta-fakta yang terungkap dalam kematian Yağmur menggelisahkan hatinya. Ia tidak tahu persis seperti apa pernikahan yang dijalani oleh Hulya. Namun ia sungguh khawatir suatu saat perempuan itu mengalami hal serupa dengan Yağmur. Tidak, ia tak akan membiarkan hal itu terjadi.
“Ağabey, kau baik-baik saja?” Selim muncul di pintu pantri. Lelaki itu menghampiri Demir yang terpekur sambil memandangi cangkir kopi di hadapannya. Isinya masih tersisa separuh gelas.
Demir mengangkat wajah. Diliriknya Selim sekilas sebelum meraih cangkir kopi dan menyesapnya. “Apa aku terlihat tidak baik?” Ia mengakhiri pertanyaan dengan senyum, membentuk lesung di kedua pipinya.
Selim hanya mengangkat bahu. Ia beranjak menuju coffee maker. Setelah cangkirnya terisi, ia pun kembali menghampiri Demir. Kedua lelaki itu duduk bersebelahan di meja bar. Selain mereka, tampak seorang office boy sedang menjerang air dalam çaydanlik. Seorang lagi keluar-masuk pantri membawa nampan berisi çaybardağı, gelas mungil berbentuk tulip berisi teh yang masih mengepulkan asap.
“Eldar Arslan. Kau ingat lelaki itu?” Demir memecah keheningan dengan sebuah pertanyaan.
“Tentu saja.” Selim mengangguk. “Separuh kantor ini bisa jadi mengenalnya karena ia bolak-balik ditahan.”
“Dia sudah sering masuk tahanan?” Demir kembali bertanya dengan kening mengernyit. Ia berusaha menahan rasa kesal dan marah yang tiba-tiba menyeruak ketika mendengar jawaban Selim.
“Bukan kasus yang berat. Ia suka mabuk sampai bikin keributan, berkelahi, yaa ... semacam itulah,” terang Selim santai, tetapi meninggalkan sesak di dada Demir.
“Apa istri Eldar pernah melapor karena mengalami kekerasan?” selidik lelaki itu.
“Seingatku tidak.” Selim menggeleng. “Apa kau pikir istri Eldar mengalaminya?”
“Apa kau pikir lelaki seperti itu akan bersikap lembut pada istrinya?” Demir balik bertanya.
“Benar juga.” Selim mengangguk-angguk. “Dia beruntung punya istri seperti Hulya. Selain cantik, perempuan itu juga sabar menghadapi kelakuannya.”
Mendengar nama Hulya, Demir merasakan dadanya berdesir. Tanpa perlu Selim katakan, ia tahu bahwa Hulya memang cantik. Bagi Demir, semua yang ada dalam diri perempuan itu sangat mempesona. Mata cokelatnya menatap sendu, tahi lalat kecil di sudut kanan atas bibirnya membuatnya semakin menarik, dan rambut cokelatnya ... ia tak bisa melihatnya lagi saat perjumpaan tak terduga itu karena Hulya menutupnya dengan kerudung. Namun aroma rambut itu masih sangat diingatnya, perpaduan wangi zaitun dan kulit apel. Dulu, angin yang berembus di sekitar Danau Tortum mengantarkan rambut Hulya membelai wajahnya.
“Itu bukan kesabaran, Selim, tapi kebodohan,” dengus Demir diakhiri segaris senyum kecut. “Suami pemabuk, senang berkelahi, bersikap kasar, ... bisakah seorang istri merasakan kebahagiaan dengan lelaki macam itu?”
“Terkadang cinta membuat manusia jadi bodoh, Ağabey,” cebik Selim.
Demir tersenyum kecut. “Mungkin aku dan Hulya termasuk manusia-manusia yang bertindak bodoh karena cinta,” batinnya.
Cinta untuk Hulya membuat dirinya melewatkan tahun demi tahun dalam kesendirian. Sejak tahu perempuan itu menikah, ia sadar semua yang ada di antara mereka sudah berakhir. Sudah saatnya ia membangun kehidupannya sendiri. Namun semua itu sangat sulit ia lakukan.
“Seberapa besar kau mencintai lelaki brengsek itu, Hulya?” batin Demir. Hatinya kembali terasa perih memikirkan keberadaannya di hati perempuan itu telah tersingkir oleh Eldar. “Lebih besar dari cintamu padaku sehingga kau sanggup bertahan meski tidak bahagia?”
Helaan napas Demir membuat Selim menoleh dan menatapnya penuh selidik. “Mengapa kau bertanya tentang Eldar Arslan, Ağabey?” Ia meneguk kopi, tetapi tetap mengarahkan tatap pada lelaki di sebelahnya. “Jangan bilang kalau kau menyukai istrinya,” selorohnya diakhiri tawa pelan.
“Aku bukan hanya menyukainya, tapi sangat mencintainya,” jawab Demir sebelum meneguk lagi kopinya.
Selim tertawa kecil, mengira Demir hanya balas berkelakar. Namun, wajah serius lelaki itu membuat tawanya mereda. “Vay, vay, vay.” Ia berdecak. “Ağabey, aku harap kau bercanda.”
“Aku tidak bercanda, Selim.” Demir menghela napas. “Aku dan Hulya ... dulu pernah saling mencintai,” kenangnya dengan mata menerawang. Ia tersenyum getir.
Selim terdiam, berusaha mencerna perjelasan Demir.
“Andai saja aku bisa memutar waktu.” Lelaki itu bergumam.
Selim masih terdiam.
“Semua yang terjadi pada Hulya adalah salahku, Selim,” ujar Demir seraya menoleh pada anak buahnya itu. “Semua terjadi karena aku meninggalkannya. Kalau saja aku tahu akan seperti ini.”
“Setiap manusia punya takdir sendiri-sendiri, Ağabey,” ujar Selim. “Perpisahan kalian, pernikahan Hulya dan Eldar adalah bagian dari takdir yang harus kalian jalani.”
“Aku mengenal Hulya sejak kecil,” tutur Demir. “Dia sudah terlalu lama menderita. Setiap orang berhak bahagia, bukan?”
Selim mengangguk, tanpa tahu harus berkata apa.
Demir mengusap cambang tipis yang membingkai rahangnya. Ia meneguk kopinya hingga tandas, kemudian bangkit dan meninggalkan Selim yang masih duduk menatapnya.
“Lalu apa yang akan kau lakukan, Ağabey?” Lelaki itu berseru, menghentikan langkah Demir di ambang pintu pantri.
Lelaki bertubuh atletis itu berbalik. “Sama seperti yang dilakukan banyak lelaki untuk perempuan yang dicintainya, memberinya kebahagiaan,” tandasnya penuh keyakinan, membuat Selim tercenung dan menduga-duga.
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
SALJU DI ERZURUM (Hiatus)
General FictionDemi anak, Hulya bertahan dalam pernikahannya yang tak bahagia. Takdir mempertemukannya kembali dengan Demir, sang mantan kekasih. Lelaki itu mampu membaca luka yang disimpannya di dalam hati dan meminta kesempatan untuk memberikan kebahagiaan. Pa...