Part 13 : Pembawa Berita Duka

129 18 1
                                    

Hulya memandang punggung anaknya yang sedang menapaki tangga menuju lantai atas. Sampai hari ini Yağız tidak banyak bertanya tentang ayahnya. Terlebih setelah ia menyampaikan Eldar mendapatkan tawaran pekerjaan lebih bagus di Rize. Ia tahu telah melakukan kesalahan dengan terus berbohong. Namun ia tidak tahu harus mengatakan apa pada anaknya. Sungguh tak mungkin baginya mengutarakan kejadian yang sebenarnya, bahwa Eldar menghilang setelah berkelahi dengan Demir. Ia juga tak mungkin sanggup menyampaikan bahwa Yağız akan punya adik dari kekasih ayahnya.

"Cukup hatiku saja yang hancur," gumam Hulya diakhiri helaan napas. Perempuan itu meraih ponsel di atas meja. Untuk kesekian kali ia menghubungi Eldar, tetapi tetap saja tidak tersambung. Keesokan hari setelah lelaki itu tak pulang, ponselnya tidak bisa dihubungi lagi.

Setelah mengetahui tentang Pinar, ia sempat menduga Eldar berada di sana. Namun kedatangannya ke Kıraz Evler memupus dugaan itu. Ternyata Eldar pun tak pernah menemui Pinar lagi sejak malam perkelahian itu.

"Hulyaaa!"

Perempuan itu terperanjat. Setelah mengenakan kerudung dan menyampirkan syal rajut pada kedua bahunya, lekas-lekas ia beringsut menuju pintu, hendak menemui si pemilik suara. Leyla, tetangga paling dekat. Tempat tinggal perempuan itu hanya terhalang kebun mulberry hitam di samping rumah Hulya.

"Kau sudah tahu tentang mayat di kebun aprikot?" Saat pintu terbuka, dengan suara nyaring Leyla menyambut Hulya dengan pertanyaan mengejutkan. Perempuan bertubuh gempal itu berdiri persis di bawah lampu pekarangan.

Alis Hulya mengernyit. "Mayat di kebun aprikot?"

Suara Leyla rupanya sampai hingga ke dalam rumah. Yağız yang sedang menuruni tangga bergegas menghampiri ibunya di teras. "Mayat siapa, Teyze*?" tanyanya pada Leyla.

"Aku tidak tahu." Perempuan itu menggeleng. "Tadi aku ke sana tapi polisi sudah membawanya dengan kantung jenazah. Kudengar mayat laki-laki."

"Aku pergi, Anne." Yağız menyambar mantel yang tergantung di dekat pintu.

"Kau mau ke mana, Yağız?" Hulya memandang sang anak. "Jangan pergi ke sana!" cegahnya, tetapi anak itu tak mempedulikannya. Langkah Yağız baru terhenti ketika melihat citroen putih menepi tak jauh dari tempat Leyla berdiri.

Hulya terbeliak begitu melihat si pengemudi keluar. Demir mengangguk pada Leyla yang buru-buru berpamitan, meskipun jelas ia tampak penasaran. Perempuan itu melangkah pelan sambil berkali-kali menengok ke arah Demir dan mobilnya. Mulutnya komat-kamit mengeluarkan gumaman.

Lelaki berambut cokelat itu menepuk lembut pundak Yağız, baru kemudian menghampiri Hulya yang sejak tadi hanya terpaku.

"Ne yapiyorsun, Demir?" Perempuan itu mempertanyakan apa yang Demir lakukan. Suaranya pelan, tetapi terdengar gusar. Diliriknya Yağız yang berdiri sekitar dua langkah di belakang Demir.

"Başınız sağolsun." Lelaki itu mengucapkan bela sungkawa. Ia menoleh pada Yağız sebentar, lalu kembali memandang Hulya yang tampak kebingungan.

"Apa maksudmu?" tanya perempuan itu. Jantungnya berdetak tak menentu. Wajah sang ayah berkelebat. Saat ia pamit kondisi lelaki paruh baya itu sudah jauh lebih baik. Namun ia teringat bahwa kematian bisa datang kapan saja. Jangankan yang sedang terbaring sakit, bahkan seseorang yang sehat pun bisa kapan saja berpulang. Tiba-tiba ia menyesal karena tidak mengikuti kemauan Yağız untuk tinggal beberapa hari di Balıklı.

"Ikutlah denganku ke rumah sakit," ucap Demir hati-hati. Sekali lagi ia menoleh pada Yağız. "Seseorang menemukan Eldar di perkebunan aprikot, kalian harus memastikan jenazah itu Eldar atau bukan."

Hulya menangkup mulut dengan kedua tangan. Kepalanya menggeleng, tak ingin percaya begitu saja. Namun ia tahu Demir tak mungkin main-main dengan ucapannya.

"Kau pasti salah." Hulya berusaha tersenyum. Namun di saat yang bersamaan, air matanya berjatuhan. Hujan di mata sendu itu semakin deras ketika dilihatnya Yağız juga menangis. Anak itu tergesa menyeka mata ketika beradu tatap dengan sang ibu.

Yağız mendekat. "Kau yakin itu ayahku?" tanyanya setelah berdiri di samping ibunya.

"Semoga saja aku salah." Demir menghela napas. "Karena itu aku meminta kalian ikut denganku, untuk memastikan," pintanya.

"Tamam." Yağız mengangguk. Sekali lagi ia mengusap matanya yang basah sebelum berpaling pada sang ibu. "Biar kuambilkan dulu jaketmu, Anne." Anak itu bergegas masuk.

Sepeninggal Yağız, sambil berderai air mata Hulya menghujamkan tatapan pada Demir. "Apa yang sudah kaulakukan pada suamiku, Komiser?" tanyanya getir.

*****

Merhaba, Arkadaşlar. 

Demir datang lagi. 

Ada yang kangen?

Apa yang akan terjadi selanjutnya di antara Hulya dan Demir?

Nantikan kelanjutannya. 

Jangan lupa vote dan comment ya biar author-nya semangat nerusin, hehe




SALJU DI ERZURUM (Hiatus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang