Part 5 : Hati yang Menggeligis

139 13 0
                                    

Siang berganti malam. Keheningan menyelimuti Börekli Köyü. Desa yang terletak di Distrik Palandöken, Erzurum itu kembali dihujani salju lebat.

Di sebuah rumah berdinding batu alam, Hulya duduk di sofa dekat perapian sambil memandang ke luar jendela. Nyala api hanya mampu menghangatkan tubuhnya, tetapi tidak mampu mengusir dingin yang membuat hatinya menggeligis.

Suara langkah membuat Hulya menoleh ke arah tangga. Dalam keremangan tampak Yağız sedang menuruni anak tangga. Tangan kanannya memegang gelas.

Anne, kau belum tidur?” tanya Yağız sembari menekan saklar di dinding.

Hulya mengerjap ketika lampu di tengah ruangan menyala. “Ayahmu tadi menelepon. Kemungkinan malam ini ia tidak akan pulang lagi.” Ia membuang tatap ke arah perapian. Tak sanggup melihat wajah anaknya yang lagi-lagi harus ia jejali dengan kebohongan.

Yagız menghampiri sang ibu, lalu duduk di sampingnya. “Kalau begitu tidurlah lagi. Tadi Anne bilang besok pagi diminta mewakili Halil Bey menghadiri pertemuan dengan Dinas Pertanian, kan?”

Tuan Halil adalah pemilik salah satu perkebunan aprikot di Börekli. Sejak perusahaan tekstil milik Eldar mengalami kebangkrutan, Hulya bekerja di sana. Awalnya hanya sebagai pemetik dan penyortir di kala musim panen tiba. Namun seiring waktu, Hulya yang cekatan dan cerdas diberi kepercayaan untuk mengurus keuangan. Bahkan sekarang seringkali dimintai sang pemilik perkebunan untuk menghadiri pertemuan-pertemuan penting.

“Rasa kantukku hilang.” Hulya tersenyum sambil mengusap lembut pipi anaknya. “Kau haus? Sini kuambilkan,” kata Hulya. Tangannya terangkat hendak mengambil gelas di tangan Yagiz, tetapi anak itu menggeleng.

“Biar aku ambil sendiri,” katanya. Ia bangkit menuju dapur dan baru kembali setelah beberapa menit, membawakan segelas çay untuk ibunya.

Hulya menatap sang anak dengan takjub. Sikap Yagiz yang penuh perhatian selalu membuatnya terharu, sekaligus mengingatkannya pada semua romantisme yang pernah Eldar lakukan untuknya dulu. Iya, dulu sekali.

Teşekkürler, Oğlum.” Hulya mengucapkan terima kasih. Beberapa saat ia menghidu aroma teh yang menguar dari dalam gelas. Hangat menjalari kerongkongan ketika perlahan ia menyesapnya.

Selama setengah jam Yağız menemani ibunya mengobrol, tetapi kantuk membuatnya menguap berkali-kali. Sebelum kembali ke kamar, ia mendaratkan kecupan di kepala ibunya. Sekali lagi keharuan melingkupi perasaan Hulya.

Mata perempuan itu mengikuti langkah sang anak hingga menghilang di ujung tangga. Ia merasa bersalah untuk setiap dusta yang diucapkannya pada Yagiz. Sungguh ia tak menemukan cara lain.

Ia tak ingin Yagiz tahu ayahnya suka menenggak minuman keras. Ia pun tak ingin Yagiz tahu setiap luka lebam yang dihadiahkan Eldar di sekujur tubuhnya. Ia tak ingin Yagiz tahu bahwa tadi sebenarnya Eldar tak pernah menelepon. Berkali-kali ia yang berusaha menelepon, tetapi ponsel sang suami masih saja tak bisa dihubungi.

“Apa yang terjadi padamu, Eldar?” gumam Hulya sembari merapatkan sweater rajut yang dikenakannya. Angin yang berembus melalui ventilasi mengantarkan udara dingin. Nyala api di perapian mengecil karena ia lupa menambahkan kayu bakar lagi.

Perempuan itu menghela napas. Ucapan lelaki pemarah yang datang tadi pagi mendengung di telinganya, Eldar dihajar polisi.

“Kalau kau ditangkap polisi, mengapa sampai sekarang tak ada yang menghubungiku?” Kali ini Hulya melemparkan bongkahan kayu ke dalam perapian. Perlahan api menggerogotinya.

Hulya mengerjap dan lekas mengusap kedua matanya ketika wajah Demir tiba-tiba berkelebat. Namun entah kenapa bayangan itu tak juga hilang. Satu per satu kenangan itu muncul.

Seperti sebuah film yang sedang diputar. Ia melihat Hulya dan Demir kecil menghabiskan waktu di tepi Danau Tortum. Di tempat itu pula cinta mereka perlahan tumbuh dan menguat. Namun sekuat apa pun cinta untuk Demir, ia pernah berusaha mencabutinya. Ia tahu setelah menikah hanya Eldar yang berhak mengisi hati dan memiliki cintanya. Sayang perubahan sikap sang suami membuat semua upaya itu porak-poranda. Setiap kali Eldar memukulnya, ingatannya kembali tertuju pada Demir.

“Allah, semoga Engkau mengampuniku,” gumamnya sambil mengusap sungai yang mengalir di pipinya.

*****

Pertemuan dengan Dinas Pertanian Palandöken itu sebenarnya hanya rekayasa supaya Hulya bisa pergi tanpa harus berterus-terang pada Yağız tentang tujuan yang sebenarnya. Usai sarapan ia bergegas menemui Halil dan meminta izin untuk bekerja setengah hari. Tentu saja Hulya tidak mengatakan alasan yang sebenarnya. Tentang Eldar, ia memang menutupinya dari siapa pun.

Halil yang baik hati tak hanya memberinya izin tetapi juga meminjamkan mobil. Kini mobil yang Hulya kendarai bergerak perlahan menyusuri Bingol Yolu, melewati rumah-rumah, padang rumput dan perkebunan yang tertutupi salju tebal. Berbelok ke Emniyet Sokak tampak gedung-gedung apartemen. Hulya terus melajukan mobil hingga akhirnya tiba di Yukarı Mumcu Sokak setelah menempuh perjalanan sekitar 20 menit.

Hulya memarkir mobil tak jauh dari taksi duraği, tempat Eldar bekerja.

"Hulya Abla, hoşgeldin." Salah seorang rekan kerja Eldar mengenali dan menyambut kedatangannya. Dua orang lainnya hanya menganggukan kepala.

Hulya mengangguk. "Hoş bulduk," ucapnya. Sesaat ia ragu untuk bertanya.

"Bagaimana kabar Eldar Ağabey?" Sebelum sempat Hulya bertanya, si lelaki berkulit kecokelatan itu melontarkan pertanyaan yang membuatnya terkesiap.

"Aku ke sini justru untuk mencari Eldar."

Sekarang giliran lelaki itu mengernyitkan alis.

"Sejak kemarin ponselnya tidak bisa dihubungi," kata Hulya pelan. Berat baginya untuk menjelaskan segamblang itu pada orang lain, tetapi dengan berterus-terang mungkin akan lebih mudah baginya memperoleh petunjuk tentang sang suami.

Lelaki itu salah tingkah. Ia menoleh pada kedua rekannya sebelum kembali bicara pada Hulya. "Kau tidak tahu Eldar Ağabey tidak bekerja lagi di sini, Abla?" tanyanya.

"Apa maksudmu?" Hulya balik bertanya.

"Osman Bey memecatnya, Abla," terang lelaki itu. "Ada pengaduan Eldar Ağabey mabuk berat saat membawa penumpang."

*****

SALJU DI ERZURUM (Hiatus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang