Malam berjalan lebih panjang di musim dingin. Pada pukul lima sore matahari di langit Erzurum sudah tenggelam dan baru muncul kembali pukul setengah delapan pagi. Itu pun tersaput awan kelabu.
Sungguh pagi yang murung. Sama seperti yang tampak di wajah Hulya. Perempuan berwajah tirus itu termangu di dekat jendela sembari mengarahkan tatap ke pekarangan. Hamparan putih di luar sana terlihat semakin menebal. Salju masih turun, meskipun tak selebat tadi malam.
:: Yağız mulai libur sekolah
:: Aku mohon jangan dulu pulang
:: Aku akan bilang kau harus mengantar penumpang ke RizeDiiringi helaan napas, pesan itu Hulya kirim pada suaminya. Eldar memang belum pulang. Bagi Hulya, lebih baik suaminya tak pulang dulu sekarang. Ia tak ingin sang anak melihat ayahnya berjalan sempoyongan, tersaruk-saruk di antara gundukan salju. Meskipun itu berarti ia harus merancang kebohongan lagi. Entah berapa banyak dusta yang sudah diucapkannya pada anak semata wayangnya itu. Dan, entah berapa banyak lagi omong-kosong yang harus ia katakan untuk menutupi kelakuan Eldar.
Setengah jam berlalu, tanda pada pesan yang dikirimnya belum berubah. Centang satu. Keresahan memaksa Hulya menghubungi Eldar tadi malam, berusaha mencari tahu keberadaan sang suami. Namun alih-alih menjawab, beberapa menit kemudian ponsel Eldar justru tidak bisa dihubungi.
Hulya meletakkan ponsel di meja. Sebelum keluar kamar, ia menatap bayangan wajahnya di cermin. Lebam di pelipisnya sudah memudar, berganti lebam baru dekat tahi lalat kecil di sudut bibir. Diambilnya concealer, lalu dioleskannya perlahan hingga luka lebam itu tersamarkan. Yağız tak boleh melihatnya.
Aroma masakan langsung menguar ketika perempuan itu membuka pintu kamar. Rumahnya memang tidak besar. Bangunan berlantai dua itu hanya berukuran 9 x 3 meter. Lantai bawah dibagi tiga ruangan, yaitu kamar, ruang tamu, dan dapur dengan letak memanjang ke samping. Kamar berada di sisi kanan bangunan, sedangkan dapur di sisi kiri, dipisahkan oleh ruang tamu. Antara ruang tamu dengan dapur disekat oleh tangga untuk menuju lantai dua. Di sana ada kamar dan ruangan yang tersambung ke balkon. Di ruang itu, Yağız sering menghabiskan waktu untuk membaca atau menonton pertandingan tim sepakbola kesayangannya, Erzurumspor.
Di dekat tangga, langkah Hulya terhenti. Dipandangnya punggung Yağız dengan alis mengernyit. Melihat anaknya sibuk di dapur bukanlah hal yang aneh. Remaja berusia 15 tahun itu sering memasak untuknya. Terutama jika di perkebunan sedang sibuk dan memaksanya untuk lembur. Ada kalanya sang anak datang membawakan makanan.
Pagi ini anak lelakinya itu memasak sambil bersenandung kecil. Saat Yağız berbalik, dengan jelas Hulya melihat senyum tersungging di bibir anaknya. Pemandangan langka yang membuatnya heran sekaligus bahagia.
Tak ada yang lebih penting baginya selain kebahagiaan Yağız. Itu pula alasannya bertahan dengan Eldar hingga saat ini. Ia tak ingin sang anak merasakan merasakan kehampaan yang pernah dirasakannya di masa kecil.
"Anne Cım, günaydın." Yağız menyapa dengan ucapan selamat pagi. Ia beringsut memeluk ibunya.
"Günaydın," balas Hulya sambil menyambut pelukan sang anak.
"Duduklah, Anne!" Yağız merengkuh bahu ibunya, lalu menarik kursi makan. "Sarapan sebentar lagi siap," katanya. Lagi-lagi anak itu mengulas senyum.
Hulya balas tersenyum, tanpa mengatakan apa pun. Dipandangnya sang anak yang kemudian sibuk menghidangkan çorba ke dalam mangkuk.
"Siapkan untuk kita berdua saja," kata Hulya ketika Yağız hendak menyiapkan mangkuk ketiga. "Ayahmu harus mengantar penumpang ke Rize."
"Tamam." Yağız mengangguk, lalu duduk di sisi kanan ibunya.
Ibu dan anak itu mulai menikmati isi mangkuk masing-masing. Menyantap sup panas di tengah udara yang dingin memang pilihan yang tepat.
Pagi ini Yağız membuat tavuk çorbası. Rasa gurih dari potongan daging ayam berpadu dengan kucuran lemon, cabai, dan lada hitam.
"Terima kasih, Oğlum*. Sup buatanmu enak sekali," puji Hulya di sela-sela suapannya.
"Tidak lebih enak dari buatanmu, Anne." Yağız tersenyum.
Hulya menyentuh punggung sang anak. "Apa rencanamu selama liburan?" tanyanya.
Yağız mengangkat bahu. "Aku tidak punya rencana apa pun."
"Kalau begitu, pergilah ke Gunung Palandöken bersama ayahmu!" Hulya menyebutkan salah satu destinasi wisata yang ada di Erzurum. Di sana terdapat banyak resort ski yang sangat ramai dikunjungi wisatawan pada musim dingin. "Kalian sudah lama tidak pergi bersama."
"Sepertinya aku ingin di rumah saja." Yağız mengakhiri sarapannya. "Aku sudah meminjam banyak buku dari perpustakaan," katanya sembari menumpuk mangkuk bekas makan mereka.
"Selama itu membuat kau senang, Oğlum." Hulya memutar posisi duduk sehingga menghadap pada Yağız. Dengan lembut disentuhnya kedua pipi sang anak.
Yagiz mengambil tangan ibunya, lalu mencium kedua telapak itu secara bergantian. "Seni çok seviyorum, Anne." Ia mengutarakan rasa sayang kepada ibunya dengan mata berbinar.
Hulya membalasnya dengan sebuah pelukan. Erat. Pelukan itu baru ia lepaskan ketika terdengar suara pintu diketuk dengan keras. Sesaat ibu dan anak itu saling pandang.
"Biar kulihat," kata Hulya ketika Yağız hendak bangkit dari duduknya. Ia sangat khawatir Eldar yang datang.
Perempuan itu bergegas menuju pintu setelah mengenakan kerudung segi empat yang disimpulkannya di bawah dagu.
"Mana Eldar?" Seorang lelaki bertubuh tinggi besar menyambut Hulya dengan hardikan begitu pintu terbuka. Matanya berkilat penuh amarah.
Hulya tak segera menjawab. Kakinya maju dua langkah sembari menutup daun pintu. Ia tak ingin Yağız mendengar perbincangannya dengan lelaki itu. "Suamiku tidak ada di rumah," jawabnya.
"Kau jangan coba-coba berbohong!" bentak lelaki itu. Tangannya berusaha meraih gagang pintu, hendak memaksa masuk.
Tentu saja Hulya tak membiarkannya. Ia berdiri di depan pintu dengan wajah tengadah, membalas tatapan lelaki itu.
"Katakan padanya untuk segera mengembalikan uangku." Lelaki itu geram. Rahangnya mengeras. "Kalau tidak ...."
"Kalau tidak, apa yang akan kau lakukan?" tantang Hulya.
"Aku akan menghajarnya lebih dari yang dilakukan polisi itu tadi malam."
Hulya terkesiap. "Eldar dihajar polisi?" desisnya dengan kening mengernyit.
*****
Keterangan
Oğlum : Nak/Anakku (laki-laki)
KAMU SEDANG MEMBACA
SALJU DI ERZURUM (Hiatus)
General FictionDemi anak, Hulya bertahan dalam pernikahannya yang tak bahagia. Takdir mempertemukannya kembali dengan Demir, sang mantan kekasih. Lelaki itu mampu membaca luka yang disimpannya di dalam hati dan meminta kesempatan untuk memberikan kebahagiaan. Pa...