Kening Demir mengernyit. Tangan kanannya terlipat di dada, memegang lengan yang lain. Sedangkan tangan kirinya terkepal di depan bibir yang terkatup rapat. Lelaki bermata cokelat itu mengarahkan tatap tajamnya ke whiteboard di salah satu dinding ruangan. Beberapa lembar foto menempel di sana dihubungkan tanda panah yang ia goreskan dengan spidol, membentuk sebuah bagan yang berpusat pada foto perempuan terlentang tak bernyawa dengan pergelangan tangan tersayat.
"Ternyata kau masih di sini, Ağabey*."
Demir menoleh ke arah asal suara. "Selim." Ia menyapa lelaki yang berdiri di ambang pintu sambil memegang sebuah map. "Gel!" sambungnya, meminta anak buahnya itu untuk masuk.
"Kukira kau sudah pulang. Tadi kulihat mobilmu meninggalkan parkiran." Selim berjalan mendekat, lalu berdiri di samping Demir. Ia turut memperhatikan whiteboard.
"Iya, tadi aku keluar sebentar," sahut Demir.
"Ağabey, hasil visum jenazah Yağmur sudah keluar." Selim menyodorkan map biru yang dipegangnya. "Di sana tertulis penyebab kematiannya adalah kekurangan oksigen."
"Seperti dugaanku, sayatan di pergelangan tangan itu dilakukan oleh si pembunuh," desis Demir seraya membuka map, lalu meneliti setiap larik kalimat yang tertulis di sana. Membaca luka memar di pelipis pada fakta pemeriksaan bagian luar seketika menyeret ingatannya pada Hulya, sehingga penjelasan Selim hanya terdengar lamat-lamat di telinganya.
"Ağabey, kau mendengarkanku?" tegur Selim setelah beberapa jenak pertanyaannya tak mendapat jawaban.
Demir menggeragap. "Ya, ya, ... aku mendengarkan, Selim. Maaf barusan ada hal lain yang menggannggu pikiranku," jawabnya seraya menyibak rambut cokelatnya yang tergerai hingga dagu. "Hulya, kau selalu saja membuat pikiranku hanyut." Ia membatin.
"Baiklah, kalau begitu kita lanjutkan besok saja." Selim tersenyum. "Kau tampak sangat lelah, Demir Ağabey."
"Kau juga." Demir balas tersenyum seraya menepuk lengan Selim. "Sudah sangat larut, ayo kita pulang!" ajaknya seraya meletakkan map ke dalam laci. Jam digital di atas meja menampilkan angka 02.05.
Demir menyambar jaket yang tergantung di sudut ruangan, lalu dipakainya sambil berjalan meninggalkan ruang kerja. Di sampingnya, Selim menyejajarkan langkah. Pada ujung tangga kedua lelaki itu berpapasan dengan petugas kepolisian yang mendapat giliran jaga malam.
"Ağabey, jaketmu ...." Setelah melewati pintu utama dan tiba di selasar bangunan, Selim baru menyadari ada bercak merah pada jaket putih yang dipakai Demir.
Lelaki itu menunduk, mengikuti arah pandang anak buahnya. "Aaah, ini ... pasti darah si pemabuk yang tadi kulerai," terangnya sambil mengeluarkan sapu tangan dari saku celana. Bahan taslan membuat ia tak kesulitan membersihkan bercak darah pada bagian dada dan lengan jaketnya. "Kutraktir dulu minum boza?" Ia mengalihkan topik pembicaraan dengan menawarkan minuman tradisional Turki yang biasa dinikmati pada musim dingin.
"Terima kasih, Ağabey, tapi aku harus lekas pulang. Sejak tadi istriku sudah berulang kali menelepon." Selim menyeringai.
"Ah ya, baiklah. Kalau begitu, pulanglah!" Demir tertawa kecil sambil mengiraikan jemari.
Selim pun berpamitan. Sebelum berbalik, ia mengarahkan sudut matanya pada jaket Demir.
Sepeninggal sang anak buah, Demir tak segera beranjak. Ia hanya mematung sambil melesakkan kedua tangannya ke saku jaket. Dipandangnya salju yang turun dengan lebat dan meninggalkan jejak berupa hamparan putih di pelataran parkir. Jalan raya di luar gerbang kantor kepolisian tampak lengang. Musim dingin dengan suhu yang mengigit menjadikan Erzurum sebagai kota sepi. Terlebih di tengah malam seperti sekarang.
Meskipun begitu, di balik semua kelengangan ini ada hingar-bingar yang menggema di bawah kerlap-kerlip lampu. Kehidupan masyarakat Erzurum yang cenderung konservatif tidak berarti kota ini terbebas dari kehidupan malam. Di sudut-sudut kota terdapat ruang remang-remang, tempat para lelaki hidung belang dimabuk minuman keras dan tawa manja wanita penjaja cinta.
Setelah menghela napas dalam, Demir mendugas menuju citroen putih yang terparkir di dekat dari pos penjaga. Ia harus menyingkirkan gundukan salju di kaca bagian depan dengan pengeruk sebelum meninggalkan Palandöken Ilçe Emniyet Müdürlüğü, tempatnya bertugas sejak dua bulan lalu.Suara Şebnem Ferrah, penyanyi perempuan bergenre slow rock, melengking menemani perjalanan Demir melintasi Alparslan Türkeş Bulvarı. Ia mengendarai mobilnya secara perlahan. Kondisi jalan yang licin membuatnya harus berhati-hati. Selain itu, ia tak punya alasan untuk lekas tiba di apartemen.
Ia tidak seperti Selim yang sudah ditunggu istrinya. Tak akan ada senyum lembut yang akan menyambutnya saat ia membuka pintu. Sama seperti ketika ia masih bertugas di Izmir, setiap kali pulang kerja ia hanya akan disambut keheningan. Suasana yang kemudian akan menuntunnya ke masa lalu, kemudian keping-keping kenangan itu hadir lagi, membuatnya semakin sulit beranjak ke masa depan.
"Hulya." Demir mengeja nama itu dalam hati. Perjumpaan tak terduga yang terjadi di antara mereka dua minggu lalu kembali membayang.
Kala itu, jantung Demir seketika menggelapar hebat. Rindu yang ia tahan bertahun-tahun membuncah.
Di waktu yang sama, rona keterkejutan tampak jelas di wajah Hulya. Sejelas lebam yang tampak di pelipisnya. Sayangnya perempuan itu bergegas pergi, meninggalkan sesak dan banyak pertanyaan dalam benaknya.
Dari Selim, akhirnya ia tahu bahwa Hulya datang ke kantor polisi untuk memberikan jaminan kebebasan suaminya yang ditahan karena terlibat perkelahian.
Ada cemburu yang menyala di hati Demir saat diam-diam memperhatikan sikap lembut Hulya pada Eldar dari ruang kerjanya yang dikelilingi dinding kaca. Ia juga merasakan amarah menggelora ketika melihat perlakuan kasar Eldar pada perempuan yang masih dicintainya itu. Amarah itu akhirnya terlampiaskan dua jam lalu, tatkala dilihatnya Eldar keluar dari Yıldızlar Pub & Bar sambil berangkulan dengan seorang perempuan.
*****
Keterangan :
*Ağabey (Abi) : Kakak/Abang
KAMU SEDANG MEMBACA
SALJU DI ERZURUM (Hiatus)
Ficção GeralDemi anak, Hulya bertahan dalam pernikahannya yang tak bahagia. Takdir mempertemukannya kembali dengan Demir, sang mantan kekasih. Lelaki itu mampu membaca luka yang disimpannya di dalam hati dan meminta kesempatan untuk memberikan kebahagiaan. Pa...