Part 9 : Sebuah Permintaan

147 14 0
                                    

UZUNDERE’YE HOŞGELDİNİZ

Setelah empat jam, sedan biru yang Hulya kendarai akhirnya melewati plang bertuliskan ucapan selamat datang di Distrik Uzundere. Namun, perjalanan belum usai. Ia masih harus menempuh jalan sepanjang 11,6 km lagi untuk tiba di tempat tujuan, Balıklı Köyü.

Perjalanan dari Börekli hingga Balıklı semestinya bisa ditempuh selama dua jam saja. Namun, cuaca mendung disertai kabut membuat Hulya tak bisa memacu kendaraannya dengan cepat. Selain itu, salju yang terus turun berhari-hari menyisakan salju tebal di sepanjang jalan. Tak jarang ia harus berhenti dan menunggu para pengeruk salju menyingkirkan hamparan putih itu ke tepi jalan.

Mengunjungi kampung halaman merupakan hal yang menyenangkan bagi setiap orang. Namun tidak demikian bagi Hulya. Kalau saja tidak dipaksa keadaan, ia enggan menjejakkan kaki lagi di sana.

Hulya ingin sekali bersikap tak peduli ketika adik tirinya mengabarkan sang ayah sakit, toh lelaki itu pun dulu tak pernah peduli padanya. Ia sangat  ingin pura-pura sibuk saat si adik tiri menyampaikan keinginan ayahnya untuk bertemu, toh lelaki itu pun dulu hanya punya waktu untuk keluarga barunya. Namun nyatanya, ia bukan orang yang mau menghancurkan diri dengan berkubang dalam dendam. Pagi-pagi sekali ia mengajak Yağız berangkat, meski tahu semua tak akan mudah baginya.

Berada di Balıklı pasti akan membawanya ingatannya kembali pada segala kepahitan di masa lalu. Bahkan hal-hal manis yang dilaluinya bersama Demir pun berubah pahit pada akhirnya, memberinya nyeri di hati. Seperti yang terjadi saat ini, kala pemandangan di tepi jalan perlahan berganti.

Setelah melewati gedung-gedung apartemen, perkebunan, padang rumput, dan bukit-bukit batu berselimut salju, kini Danau Tortum tampak di depan mata. Bagi Hulya, danau sepanjang 8 km yang membentang antara Distrik Tortum dan Uzundere itu menyimpan begitu banyak cerita

Iyi misin?” Yağız menoleh ketika mendengar ibunya menghela napas.

Hulya terkesiap. Perempuan itu baru sadar helaan napasnya mengundang perhatian sang anak yang duduk di kursi penumpang. Ia pun menjawab dengan anggukan. “Hanya merasa lelah,” katanya beralasan.

“Kalau saja Anne mengizinkanku belajar mengemudi, kita kan bisa bergantian.”

“Kau masih kecil, Oğlum.” Hulya menggeleng. “Nanti saja kalau sudah besar.”

Anne, yaaa umurku sebentar lagi enam belas,” protes Yağız, tak terima sang ibu menyebutnya masih kecil

Tamam, tamam, kau sudah besar,” ralat Hulya. Ia tersenyum sambil tetap mengarahkan pandangan ke depan. Jalan yang berkelok-kelok membuatnya harus lebih berhati-hati.

Lima belas menit kemudian, tampak pemukiman penduduk di tepi danau dan lereng bukit yang ada di sisi kiri jalan. Hulya menepikan mobil dan mengajak anaknya turun. Setelah mengambil tas di bagasi, di bawah salju yang kembali turun ibu dan anak itu berjalan menapaki lereng bukit.

Sementara itu, berjarak sepuluh kilometer dari tempat Hulya memarkir mobil, sebuah citroen putih melaju di Erzurum Artvin Yolu. Alunan musik slow rock terdengar dari audio player menemani perjalanan sang pengemudi. Semakin dekat ke tempat tujuan, air muka lelaki itu berubah semakin keruh.

*****
Hulya merasakan hangat di sudut matanya ketika beradu tatap dengan lelaki paruh baya yang tengah duduk bersandar di atas tempat tidur itu. Hatinya ikut menghangat tatkala ia dan Mustafa saling berpelukan.

"Eldar sedang ke luar kota. Ia menitipkan salam untukmu,” tutur Hulya setelah mereka saling bertukar kabar. Tentu saja itu sebuah kebohongan, sama seperti yang diucapkan pada Yağız. Sesungguhnya sampai hari ini, ia belum mendapatkan kabar dari Eldar.  “Maaf dia tidak bisa ikut menjengukmu.”

SALJU DI ERZURUM (Hiatus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang