Part 14 : Keping-keping Kenangan

277 26 10
                                    

Hulya tidak menemukan kata yang tepat untuk menggambarkan perasaannya saat ini. Sedih dan marah menyesak pada waktu yang bersamaan. Ia telah melewati waktu sepanjang lima belas tahun bersama lelaki yang kini terbujur kaku itu. Ketika petugas menunjukkan jenazah Eldar, air matanya kembali berebut luruh seiring keping-keping kenangan yang bermunculan dalam ingatan.

"Aku ingin tahu lelaki seperti apa yang sudah membuatmu melamun sepanjang waktu." Itu adalah kalimat pertama yang Eldar lontarkan pada Hulya. Lelaki itu tiba-tiba saja muncul, mengusik kesendiriannya di tepi Danau Tortum.

Saat itu musim dingin sudah lama berakhir. Namun kehangatan musim semi tak mampu mengubah hati Hulya yang menggeligis semenjak Demir pergi. Perempuan itu mendelik ketika Eldar kemudian duduk di sampingnya. Di tempat itu biasanya Demir duduk, jadi teman berbincang sambil mengamati kapal-kapal nelayan yang sedang berlayar atau sekadar menemani Hulya menyelesaikan rajutan.

"Benim adım Eldar Arslan." Lelaki itu memperkenalkan diri, tak peduli pada raut tak suka yang Hulya perlihatkan. "Sudah seminggu aku berada di Balıklı dan setiap hari aku melihatmu melamun di sini," tuturnya.

Hari itu Hulya bergegas pergi tanpa berucap sepatah kata pun. Namun kemunculan Eldar yang terus-menerus akhirnya meluluhkannya. Perlahan ia mau menanggapi obrolan lelaki itu, hingga suatu waktu Eldar mengutarakan isi hati.

"Aku jatuh hati sejak pertama kali melihatmu," katanya, "itulah alasanku masih berada di sini meski urusanku dengan peternak-peternak domba itu sudah selesai berhari-hari lalu."

"Aku tidak main-main," imbuh Eldar ketika dilihatnya Hulya hanya terdiam menatapnya. "Aku ingin mengajakmu membangun sebuah keluarga."

Hulya menemukan keseriusan di sepasang mata hijau itu. Ajakan Eldar tak mungkin ia tolak. Itu adalah mimpi terbesar dalam hidupnya. Keluar dari rumah ayahnya, juga dari rumah ibunya, dan memiliki keluarga sendiri. Ia tahu masih ada Demir di hatinya, tetapi lelaki itu sedang membangun mimpinya sendiri. Ketika ia menerima ajakan Eldar, ia pun berjanji dalam hati untuk melipat lembaran kisahnya bersama Demir dan tak akan pernah membukanya lagi.

Hulya tahu itu sulit baginya. Namun ia yakin dengan cinta yang diberikan Eldar semua akan berjalan lebih mudah.

Semua terasa begitu sempurna bagi Hulya. Kehadiran Eldar mampu mengubah hari-hari muramnya jadi penuh warna. Terlebih sepuluh bulan kemudian tangis pertama Yağız terdengar di rumah kecil yang mereka bangun.

"Dia hanya buang air kecil," bisik Eldar suatu malam ketika Hulya terbangun dan mendapati suaminya sedang mengganti popok. "Tidurlah lagi. Kau sudah lelah seharian menjaganya."

Lalu keesokannya.

"Günaydın, Sevgilim." Eldar selalu menyapanya dengan sebutan kekasihku. Ucapan selamat paginya terdengar bersamaan dengan menguarnya aroma masakan. "Kalvahti zaman." Lelaki itu mengingatkan sudah waktunya sarapan sambil menyodorkan tavuk çorba kesukaan istrinya.

Bagaimana mungkin Hulya tidak jatuh cinta pada lelaki sebaik itu?

Rasa itu perlahan bertunas di hatinya. Ia pasti mampu mencintai Eldar sepenuh hati andai saja pada tahun ketiga pernikahan suaminya itu tak menjelma menjadi monster yang mengerikan.

Andai saja Eldar tetap seperti awal mereka berjumpa, tentu hanya kesedihan saja yang melingkupi hatinya. Tidak seperti saat ini. Sambil terhuyung Hulya meninggalkan kamar jenazah. Di pundak Yağız sedu-sedannya tumpah. Sementara itu di ujung lorong Demir menatapnya dengan perasaan tak menentu. Kesedihan perempuan itu menjalar ke hatinya, menggoreskan sakit. Lebih sakit lagi karena perempuan yang dicintainya menangisi lelaki lain begitu dalam.

"Eldar itu suaminya, Demir." Dalam hati ia memaki dirinya sendiri. "Bagaimana mungkin Hulya tidak menangisi kematian lelaki itu."

"Apakah kami bisa pulang, Amca?" Ketika Demir mendekat Yağız menyambutnya dengan pertanyaan. Anak itu mengusap matanya yang basah. "Keadaan ibuku sangat buruk, sepertinya tak mungkin bisa dimintai keterangan apa pun sekarang ini," sambungnya.

"Kupikir sebaiknya kalian kuantar pulang," angguk Demir. Ia ingin sekali menyentuh pundak Hulya yang masih terisak.

"Gerek yok." Hulya lekas menolak. Ia mendongak. Keduanya saling menatap sesaat. "Aku dan Yağız bisa naik taksi," imbuhnya seraya bangkit dari duduk.

Demir mengikuti kemauan Hulya. Tak mungkin ia mengajak perempuan itu berdebat dalam situasi seperti ini. Ia mengantar ibu dan anak itu hingga ke depan rumah sakit.

"Jaga ibumu!" pesannya pada Yağız sesaat setelah Hulya masuk taksi.

"Tamam, Amca." Anak itu mengangguk. lalu memeluk Demir beberapa saat sebelum menyusul ibunya ke dalam mobil.

Di tempat duduknya Hulya terkesiap. Sebagai ibu, ia tahu anaknya tidak mudah dekat dengan orang lain. Terlebih dengan orang yang pertama kali dijumpainya. Ia masih ingat air muka Yağız saat bertanya tentang Demir di Balıklı. Jelas sekali anak itu tidak menyukai Demir. Namun sikap Yağız kali ini tampak berbeda.

"Lelaki itu sudah menyakiti ayahmu, Yağız," batin Hulya ketika perlahan roda taksi melaju, meninggalkan Demir yang masih mematung di tepi jalan.

"Sekarang tak ada lagi siapa pun di antara kita, Hulya," batinnya.

*****

Merhaba,

Masih mengikuti "Salju di Erzurum"?

Jangan lupa vote dan comment-nya yaaa.

Çok teşekkür ederim



Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 15, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SALJU DI ERZURUM (Hiatus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang