have to?

1K 134 5
                                    

"Kenapa harus satu sekolah denganku?

Matahari belum sepenuhnya muncul, mungkin karena arakan awan yang tidak ingin mengalah. Padahal jam dinding sudah menunjukkan pukul enam, semoga saja nanti tidak turun hujan. Curah hujan meningkat di musim gugur.

Ayah menghela napas di balik kegiatan dapurnya, mendengar gerutuan Taeyong yang sekarang bukan lagi anak semata wayang. Tetap tenang sebab dia sudah tahu bagaimana reaksi putranya itu ketika tahu tentang hal ini. Terlampau sering Taeyong mengomel setiap pagi, tempramen anak itu mulai berubah semenjak Taehyung berada dalam naungan rumah ini. Sudah berlangsung tiga minggu lamanya.

Bukan berarti ayah tidak peduli, tapi tentu beliau berusaha merubah anggapan buruk Taeyong pada Taehyung. Memang perbedaan Taehyung terlihat sangat kontras, namun bagaimana pun keadaannya, Taehyung juga seorang manusia.

"Dengar, " Ayah berbalik menatap netra Taeyong yang sudah beralaskan kemarahan, mencoba berbicara pelan; memberi pengertian. "Kau juga pasti sudah bosan mendengar perkataan Ayah dengan maksud sama setiap harinya, jadi untuk kali ini saja Ayah minta padamu. "

Taeyong mendengkus dan mengalihkan pandangan dari ayah, "Pengertian, lagi? "

"Nah itu kau tahu. "

"Kenapa tidak dia saja yang diberi pengertian? Dan kenapa juga ayah tidak menyekolahkan dia di tempat seharusnya? "

"Ayah yakin, kau lebih mengerti Tae. Ingat, dia juga sama sepertimu, pernah kehilangan. Setidaknya kau bersyukur masih ada Ayah di sini. "

Taeyong bergeming tidak lagi membuka suara, hatinya terlalu bergejolak untuk membuka kata. Ayah sangat mudah mereklame topik sensitif, Taeyong tentu tidak akan bisa berprosa lagi jika diingatkan tentang kehilangan.

"Aku akan mandi. " Ujar Taeyong mengakhiri ketidak nyamanan.

Ayah tersenyum di balik punggung, dia cukup menyesal telah menyakiti hati Taeyong. Putranya itu memang tidak akan bisa jika membicarakan tentang mendiang ibu. Hatinya terlampau rapuh, namun memang benar adanya; Taehyung lebih hancur lagi.

Taeyong hendak melangkah menuruni tangga untuk sarapan bersama, sebelum teriakan ayah menyuruhnya memanggil Taehyung juga. Dengan berat hati Taeyong mengetuk pintu kamar seseorang yang menjadi topik perdebatan setiap hari.

"Selamat pagi Taeyong. " Taehyung datang mendadak, merentangkan tangan hendak memeluk Taeyong. Namun Taeyong berjingkat menghindar, menonyor pelan kepala orang di depannya.

Kebiasaan yang menurut Taehyung menyenangkan; memberi pelukan selamat pagi pada anggota keluarga. Dulu dia melakukannya pada ayah dan ibu, sekarang Taehyung bingung antara harus melakukannya atau tidak pada keluarga paman. Yang jelas, Taeyong tidak menyukai sikap Taehyung.

"Sudah kubilang, jangan main peluk saja. "

"Kenapa? Kata Ay_"

"Tidak, " Taeyong menyela, menatap tajam Taehyung yang melunturkan senyum,"Peraturan itu tidak berlaku di sini, turun sana. "

Taeyong berdecak, harinya di mulai dengan sangat buruk. Keberapa kali pun ayah bilang bahwa Taehyung spesial, sebanyak itu pula Taeyong memendam kemarahan. Dia tidak suka melihat orang yang sulit diarahkan, Taeyong benci keterlambatan.

"Hyun-ah, kau hebat hari ini bisa menyimpul dasi sendiri. Tapi lain kali lebih rapi ya, semalam tidur nyenyak? " Ayah bertutur lembut, merapikan simpul dasi yang mecuat sana-sini, lalu merapihkan kemeja yang manik kancingnya masuk tidak sesuai tempat.

Taeyong muak mendengar ayah berkata seperti itu, bagaimana pun juga dia tidak akan menyuarakan lagi isi hatinya sebab ayah akan lebih membela Taehyung.

GlassesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang