Pencet bintangnya donk biar bertaburan... ≥﹏≤Sepekan kering tiada hujan namun angin berhembus menyejukkan. Sepanas apa pun matahari musim gugur bersinar, udara tidak akan terasa panas. Taehyung bergeming di tempatnya; menunggu Jhonny membuatkan makanannya di dapur. Tidak sedikit pun ia membuka suara, sebab Taeyong mengendap murka.
Berlangsung sejak sepulang kuliah, karena baju penuh lumpur yang Taehyung kenakan. Serapi mungkin narasi ia susun untuk menjawab segala pertanyaan;berniat bohong, namun dengan satu tebakan, Taeyong mampu menghapus aksara berlimpah dari balik tempurung kepala.
Taehyung persis anak yang baru saja mendapat masalah dari sekolah dan dimarahi oleh sang ayah. Lagipula dia memang salah, jadi dia tidak berhak membela diri.
"Apa ini?! " Taeyong menunjuk sarkas benda yang bertengger apik di bingkai wajah Taehyung, "Pecah, sudah berapa kali berganti kaca mata. Taehyung, sudah kubilang jangan diam saja. Lawan mereka sesekali, kau sudah duapuluh tujuh tahun. Seharusnya kau dihormati, jangan pernah diam saat mereka merisakmu. "
Jhonny datang dengan senampan makanan, sembari menunduk maaf pada para pelanggan. Suara Taeyong tidak diragukan kerasnya, meski ini di ujung restoran.
"Aku sudah lakukan Hyung, tapi mereka tetap melempariku lumpur. Aku juga tidak tahu, kenapa aku bodoh. Aku sangat ingin berhenti seperti ini, pasti kalian malu memilikiku. "
Segelintir kata yang Taehyung lontarkan, mampu membungkam segala prosa yang Taeyong akan bicarakan. Titik halus mampu menusuk sebagian hatinya, Taeyong tahu dia salah bicara. Kendati dirinya memang bukanlah seseorang yang indah dalam berkata.
Meski tak tampak wajah murung dari Taehyung, kata itu cukup menafsirkan segala hal yang telah dia alami. Taeyong mewanti dirinya sendiri untuk lebih menerima dan memperhatikan Taehyung. Tapi, jika melihat Taehyung begini akal sehatnya disfungsi.
Sejak keluarnya dari rumah sakit, Taeyong menjadi sosok lebih hangat. Tentu Taehyung merasakannya, dia bahagia keinginannya terkabulkan. Dianggap adik dari Lee Taeyong, setelah sepuluh tahun berlalu.
"Jangan selesaikan urusan rumah tangga di meja makan, atau pelangganmu akan menutup paksa restoran ini. " Jhonny berceletuk, memecah hening di antara dua saudara bersitegang. Meski pun hanya Taeyong saja yang begitu.
Helaan napas panjang Taeyong hembuskan, menetralisir amarah yanh masih tersisa di dada. Sekilas dia melirik Taehyung, memastikan bagaimana reaksinya. Dan sedikit pun tidak luntur senyuman dari wajahnya. Taeyong tak tahu, mengapa Taehyung tidak sekali pun menghilangkan rona bahagia di atas bibirnya.
"Maaf. " lirihnya.
"Tidak perlu diperpanjang lagi, Taehyung juga sudah bersih dan rapi tidak berbalur lumpur seperti tadi. Tidak ada luka juga di tubuhnya, kaca mata masih bisa beli. " Jhonny menimpali.
"Ayo ke optik. " putus Taeyong selanjutnya.
"Tidak mau. "
"Apa! Menurutlah padaku, kau suka sekali membuatku marah. "
"Mau, tapi nanti. Sekarang ada janji. Juga aku belum makan makanan dari Jhonny."
"Janji apa? Dengan siapa? Kau yakin dia menepatinya? Kau juga tidak akan mati karena tak makan sekali. "
Taehyung mendesah, lelah juga menanggapi sang kakak dalam mode marah. "Iya Taeyong, dia ada di sini sekarang. Itu. " Taeyong mengikuti arah telunjuk Taehyung pada sosok pemuda yang kini membungkuk hormat sebab melihat atensi Taeyong di sana.
"Anyeonghaseo. " katanya.
"Aku tidak bohong'kan? " Taehyung tersenyum bangga, telah membuktikan ucapannya, "Jungkook tidak pernah melanggar janji. " katanya lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Glasses
FanfictionTaehyung tahu bahwa Taeyong tidak menyukai kehadirannya, akan tetapi Taeyong menyayangi dirinya seperti ayah dan ibu lakukan dulu. Selama ada Taeyong, Taehyung tidak takut apapun. Dokter Kim Seokjin juga mengatakan jika Taeyong akan selalu menyayang...