PAGE 3. IN THE PAST

26 3 0
                                    

#Flashback

Musim panas malam itu, 1 jam sebelum semuanya pergi meninggalkan dunia. Seorang anak perempuan manis bertanya kepada Ayah dan Ibunya, kenapa hujan datang disaat musim panas?

Ayah tersenyum begitu pula sang Ibu yang saat itu tengah duduk tenang menikmati secangkir hangat tehnya. Ayah pun lantas berkata kepada anaknya, daripada kamu bertanya lebih baik kamu bersyukur. Hujan itu luar biasa, kamu bisa bersedih karenanya dan kamu juga bisa bahagia karenanya.

Hujan yang turun dimusim panas adalah hujan duka. Tapi kamu tidak harus pula mempercayainya. Benar kata Ayah mu, lebih baik kamu bersyukur, karena hujan telah menyejukkan hari-hari panas mu, lanjut sang Ibu berkata.

Anak perempuan manis itu pun terdiam. Matanya terpaku menatap lukisan dedaunan yang merekat indah didinding dingin sebuah hotel bergaya klasik. Pikirannya kacau, entahlah... Hatinya tak begitu tenang malam itu. Bukan karena hujan di musim panas, melainkan karena senyum manis yang terlukis diraut wajah muda Ayah dan Ibunya. Senyum itu berbeda, lebih indah dari biasanya. Kenapa hati ku berkata aku akan merindukannya?

"Ayah, Ibu, apa boleh aku melihat lebih dekat lagi lukisan daun merah muda itu?" Tanya anak perempuan manis itu meminta izin. Ayah dan Ibunya pun lantas menganggukkan kepalanya.

Melangkahlah anak perempuan itu, menghampiri lukisan dedaunan berwarna merah muda itu. Matanya menampilkan keterpesonaan, tentu saja! Karena aku menyukai sesuatu hal yang bernuasa merah muda.

"Apa yang indah dari lukisan dedaunan ini?" Tiba-tiba saja terdengar suara anak laki-laki yang entah sejak kapan, ia sudah berdiri dingin disisi kanan anak perempuan manis itu.

Anak perempuan itu pun sontak melemparkan sorot mata kesalnya kepada anak laki-laki itu. "Apa kamu tidak melihat warna merah mudanya? Lukisan dedaunan ini sangat unik"

"Itu pasti, hanya karena kamu menyukai warna merah muda kan?" Ujar anak laki-laki itu kembali, seraya berlalu menatap tenang anak perempuan itu.

"Tidak. Lukisan ini memang unik kok. Dasaran kamu saja yang tidak mengerti nilai keindahan sebuah lukisan" Ejek anak perempuan itu tampak melipat kedua tangannya didepan dada. Sedangkan tanpa mengeluarkan kata-katanya lagi, anak laki-laki itu pun berlalu mengangkat buku yang memang sejak tadi berpaut erat dijari-jemarinya.

Pretty Art, judul buku itu sukses membuat anak perempuan manis itu sedikit terpaku. "Dirumah ku masih banyak lagi buku bertema seperti ini. Apa kamu tahu siapa pelukis lukisan monalisa?" Tanya anak laki-laki itu, kian membuat anak perempuan itu terpojok mendengarnya.

"Banyak orang yang mengetahui lukisan itu, bukan? Tapi hanya sedikit orang yang tahu, siapa pelukis dari lukisan monalisa itu? Leonardo Da vinci, dia lah pelukis lukisan monalisa" Jelas anak laki-laki itu.

Anak perempuan itu pun akhirnya hanya bisa membungkam rapat-rapat mulutnya. Seharusnya ia tidak berbicara yang aneh-aneh kepada anak laki-laki itu. Katakan saja sejujurnya, bahwa benar ia menyukai lukisan dedaunan merah muda itu karena ia menyukai warnanya.

"Eh... Tunggu, kamu mau kemana?" Tanya anak perempuan itu saat anak laki-laki itu hendak berlalu melangkahkan kakinya.

"Apa kita saling mengenal?" Tanya dingin anak laki-laki itu balik.

"Tidak"

"Ya sudah" Akhir anak laki-laki itu cuek. Tapi baru hendak ia langkahkan kembali kakinya, seketika saja langkahnya terhenti.

Semua bergetar hebat, lampu-lampu yang terpasang dengan indah disana pun ikut bergoyang. Reruntuhan dari atap gedung mulai menghujan. Semua orang mulai berlari cepat, tentu saja untuk menyelamatkan diri. "Ada apa ini?" Tanya anak perempuan itu didalam kegundahan yang tak berunjungnya.

"Yumna..." Panggil lirih Ayah dan Ibunya yang menampakkan kepanikannya, membuat anak perempuan manis yang ternyata adalah Yumna terpaku dalam kebingungannya. Kedua orang tua Yumna pun berlalu memeluk erat tubuh Yumna dan pula anak laki-laki itu.

Semua hancur seketika. Langkah terhenti tepat dibawah reruntuhan yang menyisakan kepedihan yang mendalam. Yumna yang tersadar pun tampak menampilkan sorot mata nanarnya, saat melihat tubuh Ibu dan Ayahnya yang sudah terbujur kaku disampingnya, "Ibu... Ayah..." Rintih Yumna keras membuat anak laki-laki itu tersadar pula dari pingsannya. "Ibu, Ayah, bangun. Jangan tinggalin Yumna sendirian" Tangis sendu Yumna. Sungguh pilu, hingga membuat anak laki-laki itu pun menitihkan pula air matanya.

Menit demi menit pun berlalu sudah. Satu jam, satu jam Yuman menangisi kepergian Ayah dan Ibunya. Anak laki-laki yang juga sudah mulai terkuras energinya karena rasa sakit yang mendera tubuhnya masih saja memilih diamnya seraya menatap lekat duka Yumna.

"Setahun yang lalu aku juga kehilangan Kakak perempuan ku. Aku begitu menyayanginya, tapi kesalnya ia pergi tanpa permisi. Ia hanya meminta ku untuk berbaring disisinya, menemaninya tidur, dan kemudian ia pergi begitu saja setelahnya. Aku menyesal karena aku tidak tahu bahwa tubuh Kakak ku itu sudah lemah karena kanker otaknya" Cerita anak laki-laki itu membuat Yumna beralih menatapnya sendu.

"Berhentilah merengek seperti anak kecil, aku yakin usia mu sudah cukup dewasa untuk mengerti arti dari sebuah perpisahan. Ibu dan Ayah mu..." Kata-kata anak laki-laki itu pun sejenak terhenti saat melirik perih jasad Ayah dan Ibu Yumna, kemudian ia pun lantas membuang jauh pandangannya.

Sejenak menghela nafas beratnya, anak laki-laki itu pun kembali melanjutkan kata-katanya, "Ayah dan Ibu mu tidak akan bahagia disurga kalau kamu terus-terusan menangisi mereka"

Yumna pun terdiam dengan sisa air matanya. Ia kembali menatap lirih Ayah dan Ibunya. "Jangan jadikan hari ini sebagai hari terburuk mu, tapi jadikanlah hari ini sebagai kenangan terindah mu. Kenangan terindah disaat kamu masih diberikan kesempatan untuk bersama Ayah dan Ibu mu. Dimana kamu bisa melihat senyum manis mereka untuk terakhir kalinya dan tawa mereka untuk terakhir kalinya pula"

Yumna pun tiba-tiba saja kembali menangis, membuat anak laki-laki itu tertegun mendengarnya. Dengan tenaga yang tersisa, anak laki-laki itu berlalu memeluk erat Yumna. "Aku berterima kasih kepada Ayah dan Ibu mu karena mereka sudah melindungi ku juga. Aku berjanji kepada Ibu dan Ayah mu untuk selalu membuatmu bahagia"

"Apa? Jangan berkata seperti itu karena rasa bersalah mu. Kamu tidak harus membahagiakan ku, seseorang yang baru beberapa jam kamu kenal. Kamu harus membahagiakan orang yang kamu cintai, bukan orang yang kamu baru kenal seperti aku" Tutur Yumna berlalu melepas pelukan hangat anak laki-laki itu.

Yumna pun tampak menyekah tenang air matanya. "Aku menangis bukan karena aku belum merelakan Ayah dan Ibu ku. Aku menangis untuk berjanji kepada mereka, bahwa ini air mata terakhir ku. Aku ingin Ayah dan Ibu ku pergi dengan tenang. Lagian benar kata mu, aku beruntung karena aku masih bisa bersama Ayah dan Ibu ku diakhir hayat mereka. Kamu hanya perlu ingat, Ayah dan Ibu ku melindungi mu juga karena mereka orang baik. Jadi kamu tidak harus membahagiakan ku karena rasa bersalah mu. Mengerti!" Tekan Yumna tegas.

"Apa kamu memiliki keluarga lainnya diluar sana?"

"Tidak. Nenek dan Kakek ku sudah lama meninggal. Ayah dan Ibu ku sama-sama anak tunggal"

"Kalau begitu kamu hanya boleh mencintai ku!" Ujar anak laki-laki itu sukses membuat Yumna mengerutkan dahinya.

"Kenapa?"

"Karena hanya aku, orang yang sudah berjanji didepan Ayah dan Ibu mu untuk membahagiakan mu. Aku akan melakukan apapun untuk mu, seperti Ayah dan Ibu mu yang rela memberikan hidupnya untuk menyelamatkan ku" Janji anak laki-laki itu, Yumna terdiam mendengarnya.

"Siapa nama mu?"

"Aku akan memberitahu mu satu kali. Maka dari itu ingat baik-baik siapa nama ku. Nama ku Kenan Lucas"

#FlashbackEnd

SUMMER RAINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang