Angga lega luar biasa, mendekati rumah keluarga Jaya, tuan mudanya sadar. Dipa nampak lebih sehat, memang matanya masih bergerak gelisah. Mungkin masih bingung dengan apa yang telah terjadi padanya tadi.
“Tadi Mas Dipa sempat pingsan, jadi aku putuskan untuk pulang.”
“Apa Aru baik-baik saja?”
Masih saja Dipa mengkhawatirkan Aru, padahal kondisinya bahkan berbeda jauh darinya.
“Mas Aru sepertinya baik-baik saja, karena tiap kali aku angkat panggilan telponnya dia selalu berteriak. “
Dipa membuang napasnya kasar, lega tentu saja. Dari situasi ini, dia dapat mengambil kesimpulan;
Mereka bisa berjauhan.
Aru baik-baik saja.
Dipa tidak.
Jadi?
Hanya Dipa yang membutuhkan keberadaan Aru sekarang.
Haruskah Dipa berkata jujur pada Aru. Pikirannya kalut, jika dia mengatakan yang sebenarnya, tidak kecil kemungkinan ayah ibu Aru akan mengusirnya dari keluarga baru yang mulai dia sayangi.
Andai dia tidak mengatakan yang sebenarnya, dia bisa saja tetap tinggal dalam kenyamanan yang sedari kecil tidak pernah dia dapatkan. Namun, dia merasa tindakannya tidak benar. Dipa merasa bagai parasit sekarang.
“Mas, kita sudah sampai.”
Mereka berdua turun, beriringan masuk ke dalam rumah tanpa bertukar kata. Dipa dengan dilemanya, Angga dengan sopan santunnya. Anak itu hanya menunduk diam, dalam langkah lelahnya, setengah mengantuk pula. Tangan kirinya dicekal pelan oleh Dipa, “Ngga, kamu bisa menyimpan rahasia, 'kan?”
Bagian mana yang harus Angga simpan sebagai rahasia? Jujur, Angga bingung. Dia tidak bisa membantah, bisa hilang lima mangkuk mie ayamnya nanti. Namun, dia juga tidak bisa begitu saja mengiyakan, kalau dia saja belum paham rahasia apa yang dimaksud Dipa.
Angga bisa pikirkan lagi nanti, sekarang dia hanya perlu mengikuti tuan mudanya masuk.
Dipa memang nampak yakin tadi, saat dia meminta Angga menyimpan rahasianya. Hanya saja hatinya merasa bersalah, ragu jika dia harus melanjutkan hubungan antar keluarga ini dengan dasar kebohongan.
“Akhirnya, kamu pulang.”
Aru menghambur memeluk Dipa, dia khawatir tentu saja. Bagaimana pun ini untuk pertama kalinya--setelah dua tahun lamanya--mereka tidak berjauhan. Di balik itu semua, Aru bahagia luar biasa. Mereka berhasil, bahkan dalam percobaan pertama mereka.
“Kamu ok 'kan, Dip? Jantungmu, enggak sakit, ‘kan?”
Tidak ada jawaban dari Dipa, selain anggukan kecil, dan senyuman hambarnya. Bukan Aru namanya jika dia tidak bisa membaca gelagat Dipa. Dia merasa ada yang salah dengan Dipa, ada sesuatu yang dia sembunyikan. Entah apa, Aru pikir ini bukan saat yang tepat untuk mencari tahu jawabannya.
“Kita berhasil Dip, kita berhasil.”
Aru hanya ingin merayakan keberhasilannya. Bagi Aru, jika mereka berdua bisa berjauhan itu artinya mereka sudah sembuh. Kerja otak Aru sudah kembali normal, jantung Dipa juga pasti sudah kembali sehat. Bukankah hal menggembirakan seperti ini pantas untuk dirayakan? Wah … sebagai bonusnya, Aru bisa bebas berkencan dengan Mega mulai besok.
Hingga dia melupakan satu hal penting. Jika mereka sudah tidak saling membutuhkan, itu artinya dia bisa kehilangan Dipa, kapan saja, oleh siapa saja, termasuk oleh kedua orang tuanya.
Aru melupakan fakta itu, tanpa sengaja tidak menghiraukan raut Dipa yang kebingungan.
Malam itu berlalu begitu saja bagi Aru, dia tertidur pulas membayangkan hari-hari bebasnya di masa depan. Dia hanya terlalu senang malam itu, tanpa menyadari Dipa yang berbaring tidak jauh darinya diselubungi kekalutan yang luar biasa.
Dipa masuk lebih dalam pada ingatannya, mencari celah sedikit saja, berharap dia bisa menemukan jawabannya di sana. Mengenai asal bisikan yang dia dengar dua tahun yang lalu, perjanjian yang pernah dia buat entah dengan siapa.
Tentang konsekuensi yang harus dia bayar setelah mendapatkan berbagai kemewahan dalam hidupnya, terutama nikmatnya mewah sehat.
Matanya enggan terpejam barang sebentar, malam itu Dipa lewati dengan otak penuh berbagai macam teori yang memusingkan. Kepalanya pusing, berat luar biasa, Dipa pikir dia tidak akan mampu memikirkan hal lain lagi.
Kemudian dia putuskan untuk menyerah, dan berusaha berdamai dengan dirinya sendiri. Mungkin itu adalah pilihan yang tepat untuk saat ini.
Dipa hanya akan menunggu, jika saat itu bisikan yang pernah dia dengar datang dengan sendirinya. Kali ini dia yakin, hal yang sama akan terjadi lagi, suara itu akan datang lagi tanpa Dipa harus repot mencarinya.
Bisikan itu akan datang lagi untuk menagih janji yang Dipa lupakan.
20.04.19
Habi🐘A.n
Maapin tante yg gak sempet update malam jumat kemarin.
Tante sibuk nyuci gelas teh bekas pengajian ibuk ibuk.
Sampai lupa waktu, lupa diri, lupa suami, lupa anak istri ... Dipa dan Aru pun terpaksa dilupakan 😯Kalo malam selasa ini ada yg mau double chemise ... boleh ... 😯bilang aja yah ....
Akhir kata ... SELAMAT MENUNAIKAN IBADAH PUASA 😍😘😗😙😚MON MAAP LAIR BATIN YAHHH 😢😭🙇
KAMU SEDANG MEMBACA
CHEMISE (Complete)
Historia Corta"Bangunlah Andaru Jaya! Aku sudah di sini sekarang." "Si ... siapa kamu?" "Dipa, Dipa Estu Jatmika, kamu butuh otakku, dan aku membutuhkan detak jantungmu. Kita saling membutuhkan sekarang." A big love to @ramviari for create this beautiful cover 😍...