Semula, Pak Yanto menggeleng, menolak permintaan konyol tuan muda mereka. Sementara Angga hanya bisa bersandar di pojok ruangan, matanya masih terpejam, dengan aliran iler kering di ujung bibirnya.
Urusan meyakinkan Pak Yanto adalah tugas Aru. Sementara Dipa bertugas membangunkan Angga. Dengan kaki kirinya Dipa coba sekali lagi untuk menggoyang tubuh Angga.
"Angga bangun, buka matamu!"
"Hmm, iya, Mas. Ini uda dibuka."
Dipa hampir hilang kesabaran, jelas-jelas Angga belum melakukannya.
"Kalau gitu, pergi cuci muka sana! Nanti aku beliin lima mangkuk mie ayam."
Jitu, Angga lalu berdiri padahal matanya belum terbuka sempurna, berjalan terhuyung keluar kamarnya. Sepertinya untuk cuci muka, Dipa hanya mengikutinya dari belakang.
Sementara Aru, agaknya belum bisa meyakinkan Pak Yanto. Dipa bahkan bisa mendengar teriakan jengkel Aru. Orang tua memang seperti itu, terlalu kaku.
"Aku tahu itu bahaya, Pak. Makanya kami butuh bantuan Pak Yanto."
Aru berteriak lagi, kali ini lebih halus, sedikit ada rasa putus asa di setiap jeda katanya. Apa iya, hanya untuk membujuk Pak Yanto saja sesulit ini?
Dipa yang merasa Aru sedang kesulitan dengan tugasnya, mendekat. Memberi kode pada Aru untuk diam, ah dia memang cerdas di bidang akademik, tapi jika urusannya antar manusia. Dipa-lah yang lebih bisa diandalkan.
"Malam Pak Yanto, apa kabar istri Anda? Apa skin care set-nya masih? Ah ... nanti kalau istri Anda minta untuk dibelikan lagi, Anda bisa memberitahu saya."
"Benar, Mas? Apa boleh?"
"Tentu saja, asal Pak Yanto mau membantu kami berdua."
Aru menggeleng tidak percaya. Metode yang digunakan Dipa berhasil. Dia berkali-kali bertanya, enggan percaya, jika prioritas utama semua manusia memang materi.
"Sebelum belajar untuk menjadi pengusaha seperti Papi, seharusnya kamu belajar dulu menjadi Manusia, Ru!"
Kurang ajar, bisa jadi apa yang dikatakan Dipa benar.
Selama perjalanan mereka kembali ke rumah utama, Aru disibukan dengan ingatannya, bagaimana hubungannya dengan teman-temannya? Apakah dia masih benar-benar payah sebagai manusia?
"Berhenti memikirkan yang tadi, Ru! Fokuslah!"
Buyar sudah, lain kali Aru akan mengajinya lebih dalam. Paling penting sekarang adalah percobaan mereka.
Dia melihat ke arah Pak Yanto yang sudah siap, juga Angga yang wajahnya telah bersih tanpa sisa iler, matanya juga sudah terbuka lebar. Mungkin tengah membayangkan lima mangkuk mie ayam sedap yang pedas.
Mereka duduk melingkar di ruang tamu, mendiskusikan berbagai hal dengan suara lirih. Berharap ayah dan ibu yang tidur nyenyak tidak terganggu. Jika mereka bangun, bisa-bisa gagal rencana mereka.
"Pak Yanto, tetap di sini bersama Aru. Tugas Bapak hanya memastikan supaya Aru tetap aman jika dia terjatuh pingsan, jangan sampai terbentur apapun. Mengerti?"
"Baik, Mas."
"Dan Angga, kamu pergi bersamaku. Kalau sewaktu-waktu keadaanku melemah kamu harus segera menggendongku dan berlari kembali ke tempat Aru. Paham?"
"Iya, Mas. Mas Dipa harus membelikanku lebih banyak mie ayam kalo nanti jaraknya semakin jauh."
"Aku yang akan membelikanmu mie ayam, dasar tukang makan!"
KAMU SEDANG MEMBACA
CHEMISE (Complete)
Historia Corta"Bangunlah Andaru Jaya! Aku sudah di sini sekarang." "Si ... siapa kamu?" "Dipa, Dipa Estu Jatmika, kamu butuh otakku, dan aku membutuhkan detak jantungmu. Kita saling membutuhkan sekarang." A big love to @ramviari for create this beautiful cover 😍...