8. Alam Sang Indung Imajinasi

1.5K 150 40
                                    

Pagi itu, tidak seperti pagi yang lain. Ibu menarik selimutku paksa. Aku bingung, seingatku itu hari Minggu. Biasanya ibu akan membiarkanku tidur sampai matahari meninggi. Namun, tidak untuk hari Minggu ini.

Biasanya Ibu sangat berisik. Dia selalu menggerutu soal kamarku yang berantakan, soal aku yang masih belum bisa mandi dengan benar padahal sudah berumur tujuh tahun, atau soal aku yang sama sekali tidak bagus dalam pelajaran berhitung.

Namun, Minggu itu Ibu berbeda. Ibu sangat diam, dia hanya akan tersenyum, mengangguk, atau menggeleng untuk merespon pertanyaanku.

Dengan menggenggam lengan kecilku erat, Ibu membawaku ke kamar mandi. Memandikanku dengan air hangat, yang sepertinya sudah Ibu siapkan sebelumnya.

Kemudian, Ibu membalutku dengan baju hangat terbaru. Sepertinya baru kemarin Ibu membelinya. Aromanya masih baru, tidak ada aroma pelembut pakaian atau minyak kayu putihku di sana. Warnanya biru laut, aku suka sekali.

Aku sudah terlihat tampan, dan mengikuti langkah Ibu ke dapur. Sudah ada Ayah di sana. Ayah yang membantuku naik ke kursi tinggi, sedangkan Ibu tengah memenuhi piringku dengan nasi.

Aku melotot kaget, mulutku menganga  saat melihat begitu banyak lauk di atas meja. Ada daging, telur, daging, mie, dan daging lagi. Wah ... aku suka sekali daging.

Aku bahagia, baju hangat baru dan daging kesukaanku. Namun, kenapa wajah Ayah dan Ibu seperti itu? Mereka tersenyum, tapi hanya sedikit. Mereka juga tidak terlihat marah, tapi kenapa mereka sangat diam?

Aku jadi bingung.

Bertanya-tanya kapan aku boleh memakan semua daging ini. Dan apa tidak apa-apa jika aku makan duluan, sementara Ayah belum memimpin doa sebelum makan.

Hingga, Ibu mengangkat sendoknya, mengambil sepotong tumis daging, dan meletakan di atas nasiku. Aku pikir, itu artinya kami sudah bisa mulai makan. Jadi aku berseru lantang, "Terima kasih makanannya, aku akan makan dengan lahap."

Sementara aku makan, Ayah dan Ibu hanya melihatku sambil tersenyum, tapi mata mereka memerah, sedikit berair. Aku tidak tahu kenapa. Dagingnya tidak pedas, jadi tidak mungkin bukan mereka menangis karena daging pedas?

"Terima kasih makanannya."

Sampai piring nasiku kosong, Ayah dan Ibu masih saja diam. Piring mereka masih penuh, dan lauk daging favoritku masih tersisa banyak.

Aku ingin bertanya, tapi takut. Aku ingat Ayah tidak suka jika aku terlalu banyak bertanya. Jadi aku urungkan niatku untuk bertanya.

"Dipa ...."

Akhirnya, Ibu bersuara. Aku lega, aku kira tadi Ibu marah. Ternyata tidak, aku senang.

"Iya Ibu?"

"Ayah dan Ibu harus pergi Dip."

"Ayah dan Ibu, akan lembur lagi hari ini? Dipa tidak akan nakal di rumah, Ibu."

"Anak pintar. Maafkan Ibu sayang, maaf."

Ayah dan Ibu pergi lembur lagi Minggu ini. Tapi aku penasaran, apa Ibu sedang lelah? Kenapa Ibu menangis saat berpamitan?

Setelah itu, Ayah dan Ibu berdiri, mengenakan jaket lusuh mereka. Ada lubang kecil-kecil di jaket coklat Ayah, juga jaket Ibu yang bulunya mulai rontok. Besok, kalau aku sudah besar, aku akan membelikan Ayah dan Ibu jaket yang bagus, yang hangat dan berwarna biru laut seperti punyaku.

Mereka memelukku, erat, begitu hangat. Aku suka, tapi lama-lama aku sesak napas. Kemudian Ayah dan Ibu melepas pelukan mereka. Ibu, dengan bibir merahnya mencium pipi kiriku. Aku tidak suka, pasti ada bekas warna merahnya di pipiku. Aku usap kasar bekasnya, begitu Ayah dan Ibu menghilang di balik pintu.

Itulah hari terakhirku melihat mereka. Ayah dan Ibu tidak pernah kembali. Pada hari Senin, keesokan paginya mereka belum juga pulang. Aku tidak pergi sekolah, karena aku lupa seragam warna apa yang harus aku pakai di hari Senin. Jika salah memakai seragam, pasti ibu guru akan marah. Aku pikir, tidak pergi sekolah adalah pilihan yang tepat.

Begitu pun hari-hari selanjutnya, aku terus membolos. Perutku juga mulai lapar, karena roti gandum yang di lemari sudah habis tidak bersisa. Ingin makan mie instan, tapi aku tidak bisa menyalakan kompor. Hari itu aku hanya mengisi perutku dengan air kran.

Berharap Ibu cepat pulang dan bisa memasakan nasi dan tumis daging lagi untukku.

Hingga malam kembali, Ayah dan Ibu masih belum pulang. Perutku sakit, kepalaku sakit, aku berkeringat, tapi kedinginan.

Mataku juga mengantuk sekali, tapi sebelum menutup mata aku masih bisa melihat seorang paman tampan dengan jaket kulit yang keren membawakan sepiring tumis daging untukku.

Matanya aneh, berwarna kuning, tapi aku tidak takut.

Aku hanya ingin sepiring tumis daging yang dibawanya.


19.05.19
Habi🐘

A.n
Kata tante, anggap saja ini 👆epilog 😯

CHEMISE (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang