Pukul tujuh malam, Sarla melangkahkan kakinya menuju kamar Rendra. Pintu bercat cokelat menjulang di hadapannya. Dia mengetuk pintu
"Dra, ini aku" ucapnya
Sama sekali tidak ada sahutan dari dalam. Sarla memegang kenop pintu dan membuka pintunya. Anehnya, pintu kamar Rendra memang jarang terkunci. Seolah-olah memperbolehkan Sarla masuk kapanpun dia mau.
Sarla bisa melihat dengan jelas Rendra yang sedang membaca buku Geografi di atas kasurnya. Tampaknya dia tidak tertarik dengan kehadiran Sarla.
Sarla menutup pintu kemudian berjalan. Dia duduk di salah satu sisi kasur Rendra.
"Tumben ngetuk pintu dulu. Biasanya datang tak diundang pulang tak diantar," sindirnya
Sarla hanya mengerucutkan bibirnya
"Emangnya aku jelangkung," gumamnya
Rendra diam, menyadari bahwa Sarla akan menceritakan sesuatu lagi padanya.
"Dra, kalo hidup aku dalam bahaya, gimana?" tanya Sarla tiba-tiba
Rendra yang tidak menyangka Sarla akan mengatakan hal semacam itu mengerutkan kening. Sebagian hatinya merasa tidak rela dan jantungnya sedikit berpacu. Tiba-tiba dia merasa khawatir.
Namun, Rendra tetap diam. Membiarkan Sarla menguasai ruang di mana dia harus mengeluarkan semuanya.
Sarla hanya menunduk. Setetes air jatuh dari pelupuk matanya.
"Mereka bilang, keluargaku punya musuh. Dan kecelakaan yang terjadi itu ulah dia. Mungkin, hidupku juga terancam," lirihnya
Rendra menurunkan buku yang sejak tadi ia lihat. Tatapannya beralih pada Sarla.
Sarla mulai menceritakan semua yang terjadi di kantor Tuan Yuda. Kemungkinan yang mengerikan. Fakta yang mengejutkan. Musuh yang entah siapa dan di mana. Sarla mengeluarkan semua kesedihan, kebingungan, dan kekalutannya. Dia menangis sesenggukkan.
"Aku bahkan gak tau apapun, tapi kenapa aku harus ngalamin ini semua?" ucapnya
Rendra hanya mampu menatap Sarla dengan tajam. Jika apa yang Sarla katakan benar, maka besar kemungkinannya nyawa Sarla juga terancam. Namun seperti biasa, Rendra tak pandai berkata-kata. Dia hanya bisa diam dan melihat.
Rendra bergerak, mengambil sekotak tissue dari laci nakasnya dan menyimpannya di depan Sarla
"Lap ingus lo, jijik. Melebar kemana-mana,"
Sarla menatap Rendra sejenak, kemudian mengambil tissunya. Dia mengelap kedua pipi dan matanya kemudian membuang tissue itu sembarangan. Dia mengambil selembar tissue lagi, dan kali ini mendorong semua ingusnya keluar. Lagi, melemparkan tissue itu ke sembarang tempat.
Rendra tidak bersuara sedikitpun, membiarkan Sarla melakukan hal sesukanya.
"Aku sedih, Dra. Aku takut. Tapi aku juga sadar, bahwa aku harus kuat. Kadang, aku juga pengen nyusul mama sama papa. Tapi bukan kayak gini caranya. Gak dengan cara dibunuh,"
Setetes air jatuh lagi dari matanya. Sarla terus mengungkapkan perasaannya di hadapan Rendra. Sedangkan lelaki itu sudah kembali membaca buku Geografinya. Sekilas, Rendra memang tampak tak peduli. Namun jauh di dalam hatinya dia ikut was-was. Mencoba memutar otaknya tentang apa yang harus dia lakukan.
Setelah Sarla mulai tenang, dan kotak tissuenya hampir kosong. Barulah Sarla melirik Rendra dengan bibirnya yang maju ke depan.
"Rendra kebiasaan, aku curhat dikacangin!"
Rendra tetap diam seolah dia tuli.
Keadaan hati Sarla mulai membaik. Setidaknya, Sarla berasa sebagian bebannya hilang. Meski sedikit, tapi dia merasa begitu lega.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sarla
RomanceRendra Argifan Dellos "Kesalahanku adalah tak pernah menunjukkan betapa aku menyayangimu hingga akhirnya aku kehilanganmu" Vee Abraham Kanziee "Gadis kecil yang membuatku jatuh cinta, membuatku melupakan dendam yang membara, namun mengapa harus bera...