Hari ini Sarla sarapan dalam diam bersama Rendra. Pria itu memang terbiasa membiarkan orang lain merasa kehadirannya tidak dianggap. Tapi lain hal nya dengan Sarla. Wanita itu masih kesal, meski terkadang dia juga ingin tersenyum mengingat tingkah Rendra yang seakan peduli padanya.
Jujur saja, Sarla selalu merasa jika Rendra tidak pernah seperti ini sebelumnya. Meski larangan pria itu membawa kekesalan tersendiri, tapi Sarla semakin yakin bahwa Rendra tidak sedingin itu. Buktinya, dia masih mengkhawatirkan keselamatannya. Bukankah ada secercah harapan bahwa hati Rendra bisa mencair? Meski membutuhkan waktu bertahun-tahun lamanya. Bukankah Sarla sudah banyak berusaha?
Rendra selesai dengan makanannya dan berjalan menuju mobil -tanpa basa-basi seperti biasanya. Melihatnya membuat Sarla sedikit tergesa-gesa. Rendra tak akan sudi menunggunya.
Mereka tiba di sekolah saat masih pagi. Sepanjang perjalanan, Rendra menahan diri mati-matian untuk tidak bertanya tentang kencan Sarla bersama Vee. Dia menunggu, menunggu Sarla mengucapkannya sendiri. Tapi sampai sekarang, Sarla tidak membuka mulut sama sekali dan itu membuat Rendra semakin kesal. Dia mengetatkan rahangnya. Apakah dia yang harus memulai?
"Tentang kencan lo malem ini,"
Gerakan Sarla yang akan membuka pintu mobil mendadak terhenti. Wanita itu diam mendengarkan, menunggu Rendra melanjutkan. Hal itu membuat Rendra semakin mengetatkan rahangnya. Kemana perginya Sarla yang cerewet? Dan sialnya, meski kepala Sarla tidak menghadap ke arahnya, Rendra bisa melihat jelas bahwa Sarla sedang tersenyum di sana. Terlihat dari pantulan kaca. Meski samar, tapi Rendra yakin wanita itu sengaja.
"Lo udah pikirin baik-baik?"
Sarla menurunkan tangannya. Punggungnya bersandar lebih karena bingung harus menjawab apa.
Sebenarnya, Sarla juga tahu tentang bahaya yang sedang mengintainya. Namun, dia sudah janji pada Vee. Terlebih, Sarla yakin bahwa pria itu orang yang baik
"Udah," jawab Sarla pelan, "Aku gak bisa inkar janji gitu aja,"
Sarla memberanikan diri menatap mata Rendra. Iris hitam segelap malam dan sedalam palung. Mata yang berhiaskan rasa kesepian. Terkadang, Sarla ingin mengulurkan tangan dan membawa Rendra pergi jauh dari rasa kesepiannya. Namun, Rendra tidak menyambut uluran tangan itu. Seolah dia merasa nyaman dengan tempatnya di sana, sendirian.
Sarla tahu, Rendra bukannya tidak peduli. Pria itu hanya tidak tahu bagaimana caranya berinteraksi. Setelah bertahun-tahun tinggal di rumah Dellos, Sarla mengerti kenapa Rendra bersikap sedingin ini.
Dari kecil, Rendra selalu sendirian. Nyonya dan Tuan Dellos begitu sibuk. Rendra hanya ditemani buku-bukunya untuk menghabiskan waktu. Terkadang, mengotak-atik handphone atau komputer. Mempelajari mekanisme dan cara kerjanya. Dia tak pernah punya teman, atau memiliki waktu untuk bersosialisasi. Intensitasnya bertemu bahkan berbincang dengan orang tuanya hanya sedikit. Menjadikannya bingung untuk memulai dan membuka diri. Tak tahu apa yang harus diucapkan atau bagaimana cara membangun suasana yang bagus. Meski tahu mereka menyayangi Rendra, namun ada sesuatu yang tidak hanya bisa diyakini begitu saja. Meski tahu, tetap saja harus ada bukti nyata.
Dan bukti itu tak pernah dia dapatkan.
"Kamu gak usah khawatir, aku pasti baik-baik aja," Sarla memberikan senyuman terbaiknya pada Rendra
Mata pria itu memicing
"Emang siapa yang khawatir sama lo?"
Jeder!
Entah kenapa, Sarla ingin mematahkan leher pria itu.
"Gak usah geer, gue bukannya peduli atau khawatir sama lo. Gue cuma gak mau terlibat masalah yang ngerepotin. Ada lo di hidup gue aja udah bikin gue cape setengah mati, jadi jangan bikin masalah,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Sarla
RomanceRendra Argifan Dellos "Kesalahanku adalah tak pernah menunjukkan betapa aku menyayangimu hingga akhirnya aku kehilanganmu" Vee Abraham Kanziee "Gadis kecil yang membuatku jatuh cinta, membuatku melupakan dendam yang membara, namun mengapa harus bera...