Satu

119 1 0
                                    

Umurnya dua belas tahun, ketika Wendy pertama bertemu dengan seseorang bernama Dean. Waktu itu hujan lebat dan Wendy di awal sekolah menengah pertamanya belum pulang karena menunggu jemputan. Ia berteduh di halte dekat sekolah, karena Wendy tidak suka keadaan di sekolahnya, teman-temannya seakan mengangung-agungkan dirinya dan berusaha dekat dengannya. Ia tidak suka. Ia bukan tipe orang yang mudah bergaul juga. Hanya karena ia anak orang kaya bukan berarti ia harus menjadi pusat perhatian semua orang.

Saat itu, ia bertemu Dean yang juga sama mengenakan seragam. Hanya saja, seragam itu berbeda dari seragam sekolahnya. Lelaki itu berdiri basah kuyup dengan tas sekolah lusuh dan sepatu yang jebol sana-sini, di tangannya ada setumpuk koran yang gagal ia selamatkan dari rintikan air.

Wendy bisa mendengar gerutuan dari lelaki itu, ia merutuki bahwa kenapa ia tidak bisa berlari lebih cepat untuk bisa menyelamatkan koran-koran itu.

Awalnya, Wendy tidak tahu bahwa lelaki itu adalah Dean. Hingga hujan berhenti dan mobil yang menjemputnya datang, ia tidak pernah tahu bahwa nama lelaki yang basah kuyup dengan setumpuk koran di lengannya itu adalah Dean.

.

.

Di hari Minggu, Wendy sendirian di rumah, minus para pelayan yang memang selalu bekerja tiap hari. Biasanya orang tuanya ada di rumah kalau di penghujung minggu seperti ini. Juga, yang diherankan lagi adalah Wendy yang sudah bangun sepagi ini, duduk di antara kebun bunga di depan rumah. Memang, rumah mereka memiliki halaman yang sangat luas, bahkan ada kolam ikan dan ayunan sendiri.

Paman yang biasanya mengurusi kebun bunga sudah selesai bekerja menyirami tanaman. Sekarang, Paman Jo—begitu orang tuanya memanggil pria itu—sedang disibukkan dengan hal lain di dalam garasi. Selain berkebun, Paman Jo juga bisa memperbaiki mesin-mesin yang rusak.

Lalu ada suara bel berdering, disusul lengkingan nyaring yang menyerukan 'koran' dari luar gerbang.

Ketika Wendy menoleh, di saat itulah ia tahu bahwa lelaki kecil yang terjebak hujan di halte bus kemarin adalah seorang pengantar surat kabar.

"Apa yang kau lakukan?" tanya Wendy, ia tidak repot-repot membuka gerbang dan menerima koran pagi itu dari sela-selanya saja. "Kau bisa meletakkannya di sini dan nanti Paman Jo akan mengantarnya ke dalam."

Lelaki itu tersenyum lebar, keringat sudah membanjiri wajahnya di pagi hari seperti ini. Kaosnya lusuh, berwarna merah tua yang hampir pudar. "Aku melihatmu duduk di bangku itu, aku pikir akan lebih sopan kalau memberikannya langsung padamu."

Wendy terdiam. "Apa kau mau minum dulu?" tawarnya. "Kau pasti berlari jauh sekali kemari."

Tidak bohong, di perumahan ini, rumah Wendy mungkin terletak tidak terlalu jauh dari pintu masuk perumahan. Hanya saja, menempuhnya dengan jalan kaki adalah hal terburuk yang bisa dipikirkan oleh Wendy selama ia hidup di sini. Keluarganya selalu menggunakan mobil kemana pun mereka pergi, atau minimal Paman Jo dan Bibi Sri akan menggunakan sepeda kalau mau pergi ke kota. Tidak satu pun di antara mereka yang memiliki opsi jalan kaki.

"Aku harus segera berangkat bekerja." Jelas anak itu, jelas lelaki cilik itu sebenarnya tergiur dengan tawaran yang diberikan Wendy padanya. "Maaf, aku tidak bisa menerima tawaranmu."

"Omong-omong," lelaki itu membuka suara lagi, bahkan sebelum Wendy mengubah ekspresi kecewanya. "Aku baru melihatmu, siapa namamu?"

"Wendy."

"Namaku Dean, salam kenal!"


- masih bersambung -

Hi, there!

Thank you sudah mau membaca bagian pertama! Maaf karena ini bakal aku upload pendek-pendek, soalnya kepingin aja jadi banyak bagian gitu, hehe.

Cinta Luar BiasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang