Tasya bingung karena semenjak Wendy kembali dari luar ia hanya terdiam tanpa mau membuka suara. Mereka belum makan malam dan Tasya bingung sekali bagaimana membujuk Wendy untuk mau makan. Karena Tasya sendiri memiliki maag, ia jelas tahu bahaya apabila melewatkan makan. Ia menawarkan kue beras, mie dingin, dan semua hidangan korea yang mereka pesan ke hadapan Wendy.
"Ada apa?" Tasya bertanya, akhirnya ia menyerah dan kembali ke pertanyaan pertama yang ia ajukan. Ia tidak berharap Wendy amat mempercayainya sehingga ia mampu menceritakan semua ketakutannya pada dirinya, ia hanya berharap Wendy tidak lagi diam seperti ini.
Wendy meletakkan benda yang sedari-tadi digenggam kuat-kuat olehnya. Sebuah kertas origami berbentuk bunga. Lusuh sekali. Tasya memandang benda itu dengan tatapan tidak mengerti.
"Kamu pernah berkata bahwa soulmate itu benar-benar ada."
Tasya mengangguk. Ia sedikit bersemangat karena membahas hal itu adalah salah satu favoritnya. "Ah! Iya, aku pernah bilang! Apa Kakak ingin tahu lebih lanjut?"
"Bisa kamu jelaskan lagi?" pinta Wendy.
Tasya menghela napasnya pendek. Ia memutuskan untuk menjadikan pertanyaan itu sebagai boomerang. "Kak, soulmate itu benar-benar ada, tapi dia tidak untuk Kakak temukan. Soulmate itu bukan ditemukan, Kak. Tapi diciptakan. Memang, Kakak habis bertemu siapa sampai bertanya seperti ini?"
"Diciptakan...?" Wendy berkedip bingung. Tangannya ia bawa untuk menyentuh dadanya dan digunakannya untuk mendengar degup jantungnya yang masih bertalu menyakitkan, paru-parunya sesak. "Sya, rasanya aku tidak bisa memahami yang kamu maksud. Aku sendiri sekarang tidak paham apa yang terjadi pada diriku sendiri."
"Kak Wendy," Tasya memanggilnya pelan, ia bawa Wendy ke dalam rangkulan kecilnya, ia sandarkan kepalanya di pundak Wendy. "Kakak tidak perlu terlalu keras pada diri Kakak sendiri. Sekarang, lakukan apa yang Kakak mau. Katakan apa yang ingin Kakak katakan. Jangan memaksakan diri Kakak."
Wendy merasa napasnya memberat. Bernapas terasa sulit, dan di saat itulah ia akhirnya mengucapkan apa yang selama ini dia inginkan. "Sya, aku ingin dia."
Tasya menepuk-nepuk pundak Wendy ketika sadar ada butir-butir air mata yang akhirnya lolos dari sepasang mata itu. Ia ingin mengungkapkan dengan isyarat bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Wendy terisak. Ia berbisik pelan, memberitahu pada dunia tentang keinginannya yang sederhana namun luar biasa sulitnya untuk dijangkau. "Aku ingin Dean."
.
.
Tasya penasaran sekali dengan siapa Dean yang dimaksud oleh Wendy. Ada ribuan, bahkan jutaan nama Dean di dunia. Tapi, Tasya berusaha mempersempit itu semua. Ia menggunakan segala perhitungan dan akhirnya berhasil menemukan Dean yang dimaksud oleh Wendy.
Mencari nama-nama penumpang pesawat—terdengar seperti kejahatan, memang, tapi Tasya tidak mampu menahannya lagi. Dengan segala kekuasaan tergenggam di tangannya, ia bisa apa kalau sudah penasaran? Melanggar hukum pun terdengar seperti bukan apa-apa baginya.
Tasya datang, masuk ke dalam ruang check-in dan bahkan ke waiting room sebuah bandar udara terbesar di kotanya. Bandara internasional. Ia menemukan nama Dean yang akan pergi terbang ke negeri orang.
Dengan kekuasaannya, sekali lagi, Tasya membuat Dean menghampirinya. Di pusat informasi. Tasya berdiri bersidekap sedangkan Dean terengah-engah habis berlari. Jelas terkejut karena namanya tiba-tiba disebutkan, takut jika ia telah melakukan sebuah kesalahan.
"Kamu yang namanya Dean?" Tasya bertanya. Membuat lelaki di hadapannya kaget bukan main. Jelas, ia sudah berpikir macam-macam tahunya hanya ada seseorang tak dikenalnya mencari dirinya. Dean akhirnya mengangguk sebagai balasan. "Kamu yang dibicarakan Kak Wendy itu?"
"Kamu kenal Wendy?" tanya Dean. Tapi tanpa perlu jawaban pun Dean bisa menebak, dari gaya Tasya, ia bisa mengerti kalau ia dan Wendy berada di kelas sosial yang sama.
Tasya hanya mengangguk. "Baiklah, hanya itu yang mau aku tanyakan."
Dean mengerutkan dahinya tidak mengerti. "Hei, aku belum tahu kamu siapa dan apa tujuanmu menemuiku."
"Aku Tasya," jawab Tasya singkat. "Aku hanya ingin menyapamu, sudah. Jadi sekarang, kau bisa pergi melanjutkan perjalananmu. Safe flight."
Dean melongo. Bahkan ketika Tasya berbalik badan dan meninggalkannya, ia masih bergeming di tempatnya.
"Oh! Satu lagi, Dean!" Tasya berseru dari jarak yang cukup jauh, ia bahkan memutar badannya untuk menghadap ke arah Dean. "Aku percaya padamu!"
"...apa-apaan?"
Meski Dean bergumam seperti itu, entah mengapa ada perasaan lega luar biasa yang menjalar dari dadanya. Menyebar begitu cepat dan membuat senyumnya mengembang dengan sederhana. Mendadak, ia teringat Wendy.
"Pasti temannya Wendy."
bersambung.
hEEELLLOO!
slow update tp gapapa ;) ini knp kok pendek ya? sengaja aja sih, dan emang si tasya itu sekaya itu ya :( se berpengaruh itu orang tuanya bagi kehidupan negara ini, wkwk
terus knp kok ga dari awal minta bantuan tasya?
ya gabole gitu dong : (

KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Luar Biasa
Historia Corta- Sebuah cerita dimana terinspirasi dari lagu 'Cinta Luar Biasa' - Tentang Dean dan Wendy. Tentang perbedaan jauh di antara mereka. Tentang perjuangan. Tentang cinta. Wendy tidak tahu, anak kecil berbaju lusuh yang bekerja sampingan sebagai penganta...