Dan menjadi kebiasaan bagi Wendy untuk menunggu gerbang di setiap Minggu pagi. Pernah sekali ia berhasil mengajak Dean masuk hanya untuk meminum cokelat panas, karena di hari Minggu itu hujan mendadak turun dengan lebat dan menakutkan. Wendy yang takut dengan petir pun memberanikan diri untuk memayungi dirinya sendiri di kebun bunga depan rumah. Ibunya sudah melarangnya, sedangkah ayahnya hanya tersenyum dan menyuruhnya melanjutkan apa yang ia inginkan. Dengan izin ayahnya, Wendy pun menunggu Dean di depan gerbang.
Dean benar-benar datang, bajunya basah kuyup sedangkan korannya ia masukkan ke dalam kantong plastik yang ia ikat kuat-kuat. Senyumnya langsung mengembang begitu ia tahu Wendy ada di sana, berdiri dengan payung berwarna kuning di tangan.
"Masuklah, aku akan minta ibu membuatkan cokelat hangat."
Awalnya, Dean enggan. Ia tidak mau merepotkan Wendy dan keluarganya. Ia juga butuh bekerja setelah selesai mengantarkan koran terakhirnya di pagi itu. Tapi, tatapan Wendy dan wajahnya yang seakan-akan siap marah apabila ia menolak, membuat Dean menuruti kemauannya.
Di hari itu, mereka berempat duduk melingkar di ruang makan keluarga Wendy. Dean dipinjami baju oleh ayah Wendy, dan bajunya jelas besar sekali, tapi tidak apa-apa, Dean menerimanya dengan senyuman lebar nan hangat. Ibunya tidak banyak berkomentar, wanita itu hanya membuatkan dua gelas besar berisi cokelat hangat dan mengeluarkan kukis yang dibelinya kemarin.
Akhirnya, Wendy tahu untuk apa Dean bekerja keras selama ini. Tidak hanya sebagai pengantar koran, ia juga bekerja di sebuah restoran ramen kecil di sudut kota. Ia mencuci piring dan bersih-bersih, juga sebagai petugas pengantar pesanan. Pria kecil itu harus membiayai dirinya sendiri dan membiayai ibunya. Dean bercerita kalau ia ingin ibunya sembuh, tidak ada nada sedih dalam ceritanya, ia seakan-akan percaya dengan sepenuh hati kalau ibunya akan sembuh suatu saat nanti.
Yang menyambut semua cerita itu adalah ayah, Wendy hanya diam sambil mengunyah kukis. Sedangkan sang ibu, hanya termenung sambil menatap Dean dengan tatapan yang tidak bisa diartikan oleh siapa pun di dalam ruangan itu.
.
.
Di Minggu berikutnya, adalah hari raya. Dean mampir mengantar surat kabar seraya pamer sepeda baru kepada Wendy. Bukan. Bukan sepeda yang baru saja dibeli di toko dengan besi-besi mengilap maupun roda yang kokoh, hanya sepeda tua biasanya. Ia bilang kalau itu adalah koran terakhir yang dia antar, orang yang memperkerjakannya sudah berhenti dan memberikan sepeda tua tersebut sebagai hadiah.
Sepeda itu memiliki boncengan berdiri di belakang. Dean mengajak Wendy berputar-putar di sekitar komplek perumahan.
Wendy mengiyakan, ia lupa benar dengan ajakan kedua orangtuanya untuk pergi bersama ke tempat nenek di luar kota setelah ini. Ia melompat begitu saja keluar gerbang dan melingkarkan kedua tangan di pundak Dean. Mereka melaju bersama sepeda tua itu sambil tertawa bahagia.
Hanya memutari komplek, awalnya, tapi Dean berkata bahwa Wendy harus mencicipi kue sus buatan Nenek Ra yang tinggal tak jauh dari pasar. Ia pun membawa Wendy ke sana.
Nenek Ra senang ketika ia bertemu dengan Wendy pertama kali. Wanita tua itu berkata Wendy adalah anak yang manis, berulang-kali memuji kulit putihnya dan rambut hitam legamnya. Nenek Ra bilang Wendy mirip dengan Snow White.
Wendy hanya bergumam terima kasih dan tersenyum canggung. Ia meihat ke dalam etalase dan menemukan beraneka ragam kue yang baru saja selesai dimasak, aromanya enak sekali. Namun, Wendy kemudian sadar bahwa ia sama sekali tidak membawa uang. Melirik ke arah Dean, kemudian berpikir ia mana mungkin sampai hati untuk meminta Dean uang?
Nenek Ra sadar akan hal itu, ia membungkuskan dua kue sus kesukaan Dean untuk mereka berdua. Nenek Ra bilang kalau ia suka anak-anak kecil, ia menyuruh Dean dan Wendy untuk bersenang-senang. Mereka berdua mengucapkan terima kasih, bahkan Nenek Ra menolak uang receh yang dibawa Dean bersama mereka. Menyuruh mereka untuk membeli permen saja di pasar.
Akhirnya, Dean mengembalikan Wendy ke rumahnya tepat sebelum makan siang. Mereka disambut dengan orang tua Wendy yang berdiri di depan gerbang, juga Paman Jo yang terlihat berkeringat dengan wajah bersalah luar biasa. Ibu Wendy berdiri bersidekap dada dan Ayah Wendy memasang wajah yang amat mengerikan.
"Ayah." Wendy turun dari sepeda Dean, dan semua mata langsung mengarah ke mereka. Ibu Wendy langsung menarik Wendy masuk tanpa berkata apa-apa. "Ibu?" panggil Wendy, ia melirik ke arah Dean yang kini dikelilingi oleh ayahnya dan Paman Jo, sementara Wendy ditarik masuk ke dalam rumah oleh ibunya.
"Diamlah, Wendy. Kau tau kesalahanmu, bukan?"
Yang dipikirkan Wendy saat itu bukanlah kemarahan ibunya atau alasan-alasan apa yang bisa ia berikan pada orang tuanya tentang kelakuannya barusan. Ia tidak peduli akan hukuman yang mungkin diberikan ibunya, entah itu tidak ada perayaan ulang tahun, atau harus dikurung di kamar seharian, Wendy tidak tahu dan tidak mau tahu. Yang ia pikirkan hanyalah Dean. Ia tidak bisa menebak apa yang akan dikatakan Dean pada ayahnya atau sebaliknya, ia tidak tahu apa-apa saja yang bisa dilakukan ayahnya kepada Dean.
"Ibu? Apa yang akan Ayah lakukan pada Dean? Dia tidak bersalah. Aku yang nakal di sini," jelas Wendy buru-buru ketika ia mereka sudah sampai di kamarnya dan sang Ibu sudah bersiap-siap menutup pintu.
"Kau akan tahu nanti, sekarang jangan keluar kamar. Tetap di sini sampai Ibu menyuruhmu keluar, mengerti?"
Wendy mengangguk. "Ibu," panggilnya, tepat ketika pintu kamarnya ditutup keras. Ia menyentuh daun pintu dan berbisik, "Ibu, Dean bukan orang jahat...."
- bersambung -
Maaf kalau ini terlalu klasik. Sebenarnya bisa saya buat jadi drama luar biasa, tapi saya enggan. Biarkan semuanya berjalan semulus angan-angan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Luar Biasa
Historia Corta- Sebuah cerita dimana terinspirasi dari lagu 'Cinta Luar Biasa' - Tentang Dean dan Wendy. Tentang perbedaan jauh di antara mereka. Tentang perjuangan. Tentang cinta. Wendy tidak tahu, anak kecil berbaju lusuh yang bekerja sampingan sebagai penganta...