Tujuh

49 2 0
                                    


Wendy tidak pulang ke rumah malam berikutnya, dan berikutnya lagi. Menolak bertemu ibunya dan orang-orang rumah. Ia memilih pergi ke rumah Tasya, bukan kabur, karena Tasya pasti akan melapor pada ibu Wendy tentang keberadaannya dan kondisinya yang baik-baik saja. Tentu saja, Wendy selalu nampak baik, hanya di dalam dirinya bergemuruh kacau. Ia sering menangis sekarang. Membayangkan menikah dengan orang lain selain Dean... membuat Wendy hancur.

"Kak Wendy." Tasya memanggil sambil meletakkan segelas susu hangat di atas meja. Mereka ada di kamar Tasya yang bernuansa merah muda cantik. "Kenapa Kak Wendy sebegini hancurnya hanya karena seorang laki-laki? Yang bahkan mungkin dia tidak ingat kalau Kakak itu ada?"

Wendy menghela napasnya perlahan.

"Aku tidak tahu, Sya."

Ia menatap gelas berisi susu itu dengan tatapan kosong. "Aku bertemu dengannya seperti sebuah ketidaksengajaan. Aku awalnya hanya kagum karena dia pekerja keras. Dengan senyumannya yang masih mengembang lebar meski hidupnya banyak cobaan."

"Dia adalah anak kecil dengan aroma matahari kemarin, yang memiliki banyak cerita yang tak pernah aku punya. Dia yang pertama kali membuatku keluar dari zona nyamanku dan lupa akan siapa diriku. Dia yang menggenggamku dengan sebegitu sempurnanya. Hanya dengan mengetahui dirinya ada, aku merasa hidup."

Wendy menahan susah payah agar air matanya tidak turun. "Kalau memang aku tidak diizinkan menjalin kisah dengannya, tidak diizinkan bicara padanya, tidak diizinkan memandang ke dalam matanya, maka tolong izinkan aku tahu bahwa dia ada dan dia baik-baik saja. Itu sudah lebih dari cukup."

Tasya yang mendengar itu semua, tidak sanggup. Ia memeluk Wendy dalam pelukan yang erat. "Kak, maaf," ucapnya. "Maafkan aku."

Dan mereka berdua menangis bersama.

.

.

Setelah makan malam dengan masakan buatan koki rumah Tasya, mereka terlentang di atas kasur yang sama. Tasya mengambil ponsel miliknya dan mengotak-atiknya. Mereka terdiam sampai akhirnya Tasya mendengus keras. "Ketemu."

Wendy melirik sekilas pada Tasya. "Ketemu apa?"

"Deanmu, Kak."

Mata Wendy membola. Ia langsung bangkit terduduk dan menghadapkan badannya ke arah Tasya. "Maksudmu?"

"Aku tidak kuat melihatmu sedih. Kakak mungkin sudah mencarinya sebisa Kakak, tapi masih kurang. Aku hanya menggunakan sedikit kekuasaan di sini, dan aku menemukannya."

Wendy menahan napas.

'Secepat ini?' pikirnya.

"Apa Kakak mau menemuinya?"

Wendy menggeleng cepat. Dalam pikirnya ia berdebat antara apakah bantuan yang diberikan Tasya kepadanya ini benar atau tidak. Namun akhirnya Wendy alih-alih menjawab, "Dia sudah berjanji untuk kembali. Dia memintaku untuk menunggu, Wen. Bukan memintaku untuk menjemputnya."

Tasya tersenyum kecil. Ia ikut-ikutan mendudukkan dirinya, kemudian menyerahkan ponselnya itu kepada Wendy. "Aku baru saja menghubunginya," ujarnya sambil tersenyum lima jari. "Kamu boleh bicara padanya."

Wendy melebarkan matanya tidak percaya. Di telepon genggam Tasya sekarang benar-benar sedang tersambung pada sebuah sambungan yang nomornya tidak dimasukkan ke kontak. Wendy tidak sempat menghapalkan nomor itu, karena ponsel tersebut sudah terlebih dahulu menempel di telinganya.

.

.

"Halo?"

Dean tersentak ketika mendapati suara yang amat dirindukannya itu menyeruak masuk ke dalam telinganya. Memaksa ingatan-ingatan masa lalu itu tumpah ruah dalam sekejap mata di kepalanya. Membuatnya merasa sesak di dada, jantungnya bertalu di dalam rusuknya dengan begitu cepat dan keras, sampai sakit sekali. Dean mencengkram ponselnya erat di telinga tanpa sadar.

Ia hendak memutuskan panggilan, karena merasa tidak sanggup. Ia tidak mampu menahan gejolak rasa rindu yang sudah ia tumpuk sejak lama. Ia takut tidak bisa menahan diri untuk tidak berlari menghampiri dimana Wendy berada sekarang dan meninggalkan apa-apa saja yang seharusnya menjadi kewajibannya kini.

"Jangan ditutup. Aku tahu kamu benar Dean. Tasya tidak bohong."

Dean mendengar Wendy sedikit terkekeh di ujung sana. Suaranya terdengat sengau dan parau, serak seperti habis menangis atau seperti orang yang sakit tenggorokan. Dean tidak tahu yang mana yang benar, tapi ia tahu bahwa Wendy-nya tidak baik-baik saja. Dalam hati, ia merutuki dirinya sendiri.

"Dean," Wendy memanggil lirih, namun Dean tidak memiliki kuasa untuk menjawab. "Aku tahu kamu mendengarku. Cukup dengarkan, tidak apa-apa. Kamu tidak perlu mengatakan apa pun, tidak apa-apa."

Dean mengangguk tanpa sadar, ia tahu kalau pun ia menjawab pasti suaranya terdengar pecah dan akan mempersulit keadaan mereka kini. Bahkan dengan menghubungi melalui ponsel begini saja sudah membuat seluruh tubuhnya gemetar, dadanya berdebar kencang dan matanya memanas tanpa sadar.

"Kamu bilang, kamu selalu mengawasiku, bukan? Apa kamu sudah dengar tentang aku yang masuk ke dunia hukum? Ayah menyuruhku untuk mengambil bisnis tapi aku menolak. Aku mau jadi pengacara," jelas Wendy panjang lebar. "Hari-hariku baik. Aku datang kuliah tepat waktu dan tidak pernah bolos. Aku makan dengan baik, aku belajar dengan baik, aku hidup dengan baik. Aku baik-baik saja. Jangan khawatirkan aku."

Jari Dean menekuk makin erat menggenggam ponselnya. Dalam benaknya, ia putar terus suara Wendy, ia simpan baik-baik di sudut-sudut memorinya dan berjanji untuk tidak menghilangnya satu helaan napas pun dari sosok itu. Tidak melewatkan satu untaian kata pun yang keluar dari bibir yang dicintainya itu

"Hari Minggu biasa aku pakai menonton film dan drama, terkadang bersama Tasya dan Mas Hendra. Kadang juga aku pakai untuk menghabiskan waktu berdua bersama Ibu. Beliau senang merajut dan memasak makanan ringan di penghujung minggu, aku menemaninya.

"Aku punya syal rajut untuk kamu gunakan. Aku tahu itu konyol karena aku bahkan tidak tahu kapan aku bisa memberikannya padamu. Aku harap kamu suka warna cokelat karena aku merajutnya dengan warna itu."

Dean menahan dirinya untuk tidak bicara. Menutup mulutnya rapat-rapat, berusaha keras agar Wendy tidak mendengar hela napas payahnya yang penuh kesakitan. Suara helaan napas Wendy terdengar di ujung sana. Sama menyakitkannya dengan napapasnya yang

"...ini baru tiga tahun lebih lima belas hari. Ini baru hari ke seribu seratus sepuluh sejak kamu muncul di pintu gerbangku dan memberikan bunga kertas yang kini aku simpan di kotak kaca samping tempat tidur. Ini perayaanku yang kesekian yang aku rayakan tanpa dirimu di sisiku. Ini baru seribu seratus sepuluh. Masih ada hari besok dan besoknya lagi," suara Wendy makin bergetar di ujung sana. Tapi sama seperti Dean, Wendy tidak mau pecah.

"Aku sudah berjanji pada Mas Hendra dan Tasya untuk berhenti. Untuk berhenti menunggumu, untuk berhenti menghitung hari yang aku lalui tanpa kamu, untuk berhenti menghabiskan malam memandang gerbang, untuk berhenti berharap," jelas Wendy. "Dan sebanyak aku berjanji, sebanyak itulah aku mengingkarinya."

Bagaimana bisa?

Bagaimana bisa Dean mendapatkan seseorang seperti Wendy?

Yang rela mendobrak aturan yang ditetapkan di keluarganya dan menahan semua sakitnya anak panah yang menghujamnya itu sendirian, tapi bersikeras berkata bahwa ia baik-baik saja. Yang mengerti bagaimana sakitya menunggu tanpa isyarat yang pasti namun tetap berdiri teguh, tak menyerah.

"Aku menunggumu, Dean. Selalu. Maka jangan berlari. Jangan mencoba berlari, jangan mencoba melangkah mundur, jangan mencoba berbalik. Aku tidak akan kemana-mana ketika kamu nanti datang menghampiriku. Aku akan ada di sana seperti yang biasa aku lakukan. Aku akan menerima uluran tanganmu, dan saat itu kamu meyakinkanku bahwa kita bisa melangkah bersama-sama."


bersambung (lagi)

udaaah, hr ini update nya sampe sini dulu :( sisanya blm diketik, huhu

gatau nih kayanya bentar lg selesai, cuma gatau lagi kalo gaada mood ya segini aja ;)


Cinta Luar BiasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang