Sepuluh [tamat]

33 1 0
                                        


Wendy terbangun dari tidurnya dan langsung dikejutkan oleh sang Ibu yang tiba-tiba masuk ke kamarnya. Ia melempar tatapan tanya yang dibalas senyum kecil. Ibunya mengambil tempat di sisi ranjang, membawa tangannya untuk merapikan rsmbut hitam Wendy yang menjutai berantakan. "Ada yang mencarimu."

"Siapa?"

Alih-alih menjawab, sang ibu kembali menambahkan, "Dia menunggumu di depan gerbang."

Tak butuh waktu lama bagi Wendy untuk tahu dan ia pun segera menuju gerbang rumahnya. Ia menyambar begitu saja jaket yang terletak di tumpukan teratas baju di almarinya dan mengambil sedikit air untuk mencuci mukanya secepat kilat.

Ketika Wendy membuka pintu rumahnya, angin malam langsung menyambutnya. Menyapanya ramah sebelum meremukkan tulang-tulangnya. Tapi Wendy abai, bibirnya tanpa sadar melebar dan membentuk seringai menyenangkan.

Yang menemani Wendy melangkah keluar gerbang adalah suara detak jantungnya yang terburu-buru. Beradu dan berlomba-lomba dengan hentakan kakinya yang halus di atas jalan setapak. Ia tidak ingat untuk mengenakan alas kaki karena—demi apapun, Wendy tidak bisa berpikir jelas sekarang. Ia tahu siapa yang ada di balik gerbang, ia tahu siapa yang tengah ditunggunya selama ini.

"Dean."

Wendy merasa asing karena baru kali ini—baru kali ini setelah sekian lamanya—begitu Wendy menyebut nama itu, Dean benar-benar ada di depannya. Dean benar menoleh kepadanya dan melemparkan senyuman sehangat matahari pagi. Wendy tanpa sadar menarik bibirnya lebih lebar lagi sampai ia tidak yakin apakah ia akan berakhir baik-baik saja atau malah ia akan mati saat ini juga saking bahagianya.

"Malam, Wendy." Dean berujar pelan, uap mengepul begitu kata itu terucap. Malam memang sangat dingin tapi keduanya abai dengan hal itu. "Kau tidak pakai alas kaki?" tanyanya, terselip nada khawatir luar biasa di dalam sana.

Wendy hanya terkekeh pelan, namun kekehan itu segera berhenti ketika ia melihat Dean berjongkok. Ia bingung sebelum akhirnya terkejut karena pria itu melepas sepatunya dan malah memasangkan sepatu itu hati-hati ke kaki Wendy. Wendy mengerjap melihat sepatu sneakers berwrana hitam itu kini membungkus kakinya elok, sangat kebesaran namun Wendy tidak pernah keberatan.

"Terima kasih," balas Wendy karena merasa apa yang dilakukan Dean barusan begitu manis.

Dean tersenyum sebagai balasan singkat. "Aku kemari karena ingin membahas sesuatu mengenai kita selama ini."

Lalu Dean bercerita mengenai kehidupannya. Ia yang hidup berdua bersama sang ibu. Ibunya mengidap penyakit yang entah apa itu, Dean tidak tahu. Yang ia tahu hanyalah ia harus bekerja dan mencari uang untuk membeli obat, untuk ibunya, untuk kehidupan mereka.

Ia pernah menjadi loper koran, pemulung di jalan, tenaga kerja untuk mencuci piring di tempat-tempat makan sederhana, pengantar barang, pengantar makanan, semuanya. Sampai ketika Dean bertemu dengan ayah Wendy yang menjajikannya sebuah kehidupan lain. Ia hanya perlu menurut dan ibunya akan mendapatkan hidup yang lebih baik.

Maka, Dean mengiyakan.

Awalnya Dean tidak mengerti mengapa ayah Wendy mau sebaik itu padanya, alasannya balas budi dan Dean dengan seumur segitu tentu tidak paham. Lantas ia pun pernah menyempatkan diri bertanya.

"Kau tahu Beliau bilang apa, Wen?" Dean bertanya pelan. Mereka berpindah dari gerbang menuju taman kecil di pekarangan rumah. Duduk di atas kursi kayu dengan atap penuh dengan bintang dan harapan. Wendy menggeleng sebagai jawaban.

"Beliau berkata bahwa hutang budinya adalah tawamu. Beliau berkata bahwa telah menemukan siapa yang berhasil membuatmu tertawa sebegitu bahagianya. Beliau berkata bahwa aku lah yang selama ini pasti dicari oleh kamu."

Wendy termenung.

"Beliau mungkin bisa melihat dan tahu," Dean menerawang dan menatap bintang-bintang di atas mereka. Membandingkan keindahannya dengan sepasang mata Wendy sebelum akhirnya meminta maaf kepada semesta karena nyatanya tidak ada satu pun yang bisa mengalahkan keelokan Wendy di matanya.

"Aku tidak paham."

Dean tertawa kecil. "Tidak apa-apa."

Lalu Dean melanjutkan bercerita. Ibunya memang mendapatkan perawatan yang jauh lebih baik. Dean tidak dipaksa melakukan apapun selain belajar, namun tentunya Dean sungkan dengan semua itu. Ia diam-diam pergi bekerja dan mengumpulkan uang, balas budi. Ia masih belum bisa menerima semua kebaikan dari ayah Wendy dan menganggapnya sebagai hutang.

"Aku tidak memiliki uang, aku tidak memiliki harta. Aku hanya memiliki diriku sendiri saat itu. Tapi aku ingin egois, aku ingin kamu." Dean berujar. "Aku menghampirimu di keadaan aku tidak memiliki apa-apa dan siapa-siapa. Aku ingin berjanji padamu tapi aku tidak tahu apa yang bisa aku janjikan. Maka aku berikan hatiku. Kamu membawa hatiku selama ini. Dan kamu menjaganya dengan baik."

Wendy tidak bisa membalas apa pun. Ia terlalu terkejut dan terlarut dalam cerita Dean. Dean pun tidak butuh balasan, ia kerap melanjutkan.

Ia bercerita bahwa ayah Wendy tahu semua hal itu dan Beliau marah. Marah tapi ia tidak berucap apapun untuk melarang, marah dan tidak melakukan apa pun, menjadikan Dean akhirnya menurut saja dan melakukan apa-apa saja yang sudah menjadi ketentuannya.

Ia disekolahkan di luar negeri kemudian. Wisudanya bertepatan dengan hari kematian ibunya. Dean bersyukur karena ia masih bisa memberikan ijazah itu pada sang Ibu sebelum akhirnya Beliau meninggalkan Dean untuk selamanya, tapi Dean ikhlas. Ia bersyukur karena sang Ibu bisa merasakan hidup sedikit lebih baik.

"Selama kuliah, aku selalu berpikir apakah aku sudah boleh menemuimu? Apakah aku sudah diizinkan untuk berbicara lagi padamu? Aku ingin menemuimu. Itu keegoisanku yang lain, yang aku takut apabila aku kembali menurutinya, aku malah memperburuk keadaan." Dean termenung. "Sampai akhirnya aku tidak berani menghubungimu sama sekali."

"Tapi kamu malah yang menghampiriku kemudian." Dean tertawa. Membayangkan hari dimana ia menerima telepon dari Wendy. Malam itu mendadak bintang menjadi lebih terang dan segalanya menjadi lebih ringan. "Aku hampir menyerah karena Ayahmu berkata ada orang lain yang menyukaimu, ada orang lain yang juga disenangi oleh Ibumu. Aku hampir menyerah dan merendahkan diriku sendiri kala itu."

Dean menoleh dan menatap ke dalam mata Wendy. "Terima kasih, Wendy."

Wendy tersenyum kecil. "Aku tidak melakukan apapun."

Dean membals senyuman itu dan menggeleng mengelak. "Kau hanya tidak tahu apa yang sudah kau lakukan, Wendy. Terima kasih."

Wendy menghela napas panjang. "Aku ingin bertemu dengan ibumu," gumamnya, menyadari bahwa itu adalah hal yang paling tidak mungkin dilakukan saat ini.

"Kau sudah pernah." Dean menyahut.

"Oh, kapan?"

"Kita bahas lain kali, sudah malam." Dean berdiri, mengulurkan tangan. "Sekarang kita sama-sama?"

"Ya." Wendy tertawa, suaranya terdengar amat bahagia begitu ia menerima tangan Dean. Tangannya tenggelam dalam telapak yang lebih besar darinya. Kemudian Wendy menyadari bahwa semuanya terasa sempurna dan ia bisa sangat yakin bahwa segalanya akan baik-baik saja setelah ini.

Ia tidak pernah tertawa serenyah itu sebelumnya, tidak pernah merasa sebahagia itu sebelumnya, tidak pernah merasa selengkap itu sebelumnya.

"Selamanya?"

"Selamanya."

.

.

end. [ ]

Cinta Luar BiasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang