"Wendy, kamu Sabtu malam besok ada acara tidak?"
Ini hari Senin, Wendy dan keluarganya sedang melaksanakan makan pagi bersama seperti hari-hari biasanya. Pemandangan sang ayah membaca koran selalu menjadi hal favorit semua orang, karena meski zaman sudah berubah dan teknologi sudah berkembang, ayah memlih tetap membaca koran ketimbang tabloid. Ibunya juga masih sehat, hanya saja di rambutnya tumbuh beberapa rambut putih yang membuat dirinya mengecat rambutnya terus-terusan. Wendy pernah menegurnya dan mengatakan bahwa ibunya tetap cantk meski rambutnya sudah berubah putih.
Ibu meletakkan sup krim yang masih mengepul panas, beliau melemparkan pertanyaan pada Wendy mengenai kegiatannya di hari Sabtu nanti.
Wendy yang mengambilkan nasi untuk semua orang di meja makan hanya menggeleng. "Tidak ada, Bu."
"Tidak ada acara dengan Tasya atau Mas Hendra?"
"Tidak. Aku berencana menghabiskan Sabtu malam dengan menonton film di kamar."
"Baguslah," sang Ibu menghela napas lega, "ikutlah dengan kami untuk makan malam di luar."
Wendy mengangguk setuju tanpa berpikir dua kali. Toh, ini hanya makan malam biasa, pikirnya. Ia rasa kedua orangtuanya rindu dengan acara bertiga mereka, karena semenjak Wendy masuk kuliah, mereka jarang menghabiskan waktu bersama.
"Apa kita juga akan sekalian nonton?" tanya Wendy.
"Tidak, Sayang. Pakailah pakaian terbaikmu di hari Sabtu nanti, kita akan makan malam di restoran enak."
.
.
Sabtu datang begitu cepat. Wendy mematut dirinya di depan cermin. Berputar dan menilai pakaian yang dipilihya untuk malam ini. Rambut hitamnya ia sisir sedemikian rupa sehingga terlihat bergelombang cantik. Wendy tersenyum, bibirnya dipoles hingga terlihat seperti ceri, cantik sekali.
"Baiklah, sudah sempurna."
Wendy dan kedua orangtuanya pergi ke restoran jepang besar di tengah kota. Mereka pergi menggunakan mobil. Selama perjalanan, ayahnya bertanya tentang bagaimana kuliah dan skripsinya yang sedang berjalan. Wendy menjawab seadanya, memang tidak ada hal yang terlalu penting, skripsinya lancar-lancar saja.
"Ayah mengajak kenalan Ayah untuk makan bersama kita," jelas Ayahnya begitu mereka masuk ke dalam restoran dan melangkah menuju meja yang sudah dipesan sebelumnya.
"Oh?" Wendy tidak tahu harus berekspresi bagaimana, jadi ia mengangguk mengiyakan saja.
"Ibu harap kau bisa menjaga sikap selama makan malam nanti."
Wendy lagi-lagi hanya mengangguk.
Tidak tanggung-tanggung, ayahnya menyewa ruangan VIP yang hanya berisi satu meja dengan hidangan berbagai macam jenis sushi sudah tersedia di atasnya. Wendy hanya bisa terpukau.
"Selamat malam."
Wendy ikut membungkuk ketika orangtuanya menyapa orang yang disebut sebagai kenalan ayahnya tadi. Dan ketika ia mengangkat tubuhnya, matanya bersirobok dengan sepasang mata yang tajam sekali.
"Selamat malam. Perkenalkan, aku Erlan," jelas sang pemilik mata itu. Ia adalah seorang pria dengan tinggi menjulang, wajahnya tampan dengan sepasang mata tajam dan hidung mancung sempurna.
"Kau pasti Wendy," kata Erlan bahkan sebelum Wendy diberi kesempatan bicara. "Bunda sudah cerita tentangmu."
Akhirnya mereka memulai makan malam dengan tenang. Para orang tua berbicara tentang bisnis dan semua yang tidak diketahui oleh Wendy. Erlan mengambil kesempatan itu dengan mengajaknya berbincang.
Ternyata, Erlan adalah orang yang menyenangkan. Mengingatkannya dengan Mas Hendra. Erlan memiliki selera humor yang baik, berulang kali ia membuat Wendy tertawa dengan bercerita tentang pengalamannya. Lalu mereka juga menyukai film-film yang sama. Wendy amat menyukai horror—padahal ia takut petir dan suara yang mengejutkan, tapi ia benar-benar suka misteri dan hal berbau supernatural.
Mereka bertukar refrensi film dan membahas film-film yang telah mereka tonton. Bahasannya seru karena baik Erlan maupun Wendy memikiki pendapat yang berbeda.
Makan malam itu akhirnya berakhir dan Wendy mengucapkan terima kasih kepada Erlan. Erlan berkata ia harap mereka bisa bertemu lagi di lain hari.
Di perjalanan pulang, Ibu Wendy bertanya pendapatnya tentang Erlan. Wendy menjelaskan kalau Erlan adalah orang yang baik dan menyenangkan. Seperti Mas Hendra.
"Ibu merencakanan untuk menikahkan kalian, bagaimana?"
Butuh waktu semenit penuh untuk Wendy bisa mencerna kalimat itu. Ia berkedip berulang-kali dan memastikan dirinya tidak salah dengar. Ia berusaha meyakinkan bahwa ibunya tidak mungkin menanyakan itu, namun raut serius sang Ibu yang kini menghadap ke arahnya membuktikan bahwa ia tidak salah dengar.
"Eh?" Wendy tersenyum canggung, kaku dan ekspresinya seolah tidak mau percaya.
"Iya." Ibunya mengangguk, meyakinkan. "Kau tidak pernah bercerita tentang laki-laki, sebentar lagi kau lulus dan butuh menikah. Ibu menawarkan Erlan tadi padamu, orang tua mereka tidak keberatan apabila kalian menikah."
Wendy tidak tahu.
Ia tidak lagi bisa lagi mendengar suara ibunya dengan jelas. Ia melihat bibir ibunya yang terus bergerak tapi telinganya berdenging menyakitkan. Dalam benaknya, ia hanya bisa mengingat bunga kertas yang sengaja ia taruh di kotak kaca. Ia pandangi tiap malam dengan ribuan doa menyertai.
Yang ia ingat adalah senyuman laki-laki yang beberapa tahun lalu muncul begitu saja di depan gerbang rumahnya, mengantar pesanan makanan dan koran.
Yang dapat ia ingat adalah sebuah jaket lusuh yang ia lipat rapi di dalam almari paling atas, yang ia pakai sebagai pelindung dingin dari hujan alih-alih mengambil selimut tebal yang dibelikan ayahnya.
Yang bisa ia ingat adalah bagaimana panasnya sengatan matahari ketika bersepeda mengelilingi kota.
Yang ia ingat adalah rasa kue sus butan Nenek Ra yang mereka dapatkan cuma-cuma di siang bolong.
Dan setetes air mata akhirnya jatuh di pipi Wendy.
"Sayang? Wendy?" Ibunya panik begitu melihat air mata itu, terlebih Wendy tidak bicara apa-apa. "Sayang, kenapa menangis?"
Ibunya menggapai dirinya, mengusap wajahnya dengan ibu jari.
Tapi hal itu tidak menjadikan tangisan Wendy berhenti. Tangisannya makin deras dan ia akhirnya berakhir terisak dengan dada yang begitu sesak.
"Ada apa, Wendy? Katakan sesuatu..." Ibunya panik karena sudah bermenit-menit berlewat namun yang Wendy lakukan hanya menangis dalam heningnya. "Jangan begini..."
"Ibu," suara Wendy bergetar. Terdengar seperti siap hancur kapan saja. Terdengar putus asa. Dan ini pertama kalinya orangtuanya melihat Wendy sebegini rusaknya. "Ibu..." ia menggeleng kuat-kuat.
"Katakan, Sayang. Bilang kalau Ibu sudah melakukan kesalahan...."
"Ibu—aku..." Wendy menyusun napasnya dengan susah payah. Kalimatnya tersendat dan terdengar parau luar biasa. Ia seperti tidak sanggup bicara dengan keadaannya yang sekarang. "Ibu... aku ingin Dean, Bu."
Saat itulah, sang ibu akhrinya tahu sepenting apa sosok Dean di mata anaknya ini.
bersambung : )
awalnya ga sedrama ini sih, tapi janji ini ga bakal drama lg uda cukup segini aja. meski saya masi ada ide buat ini jadi makin menderita tp gausa lah. saya kan maunya kisah mereka lancar jaya : )

KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Luar Biasa
Nouvelles- Sebuah cerita dimana terinspirasi dari lagu 'Cinta Luar Biasa' - Tentang Dean dan Wendy. Tentang perbedaan jauh di antara mereka. Tentang perjuangan. Tentang cinta. Wendy tidak tahu, anak kecil berbaju lusuh yang bekerja sampingan sebagai penganta...