Tiga

49 1 0
                                    


Setelah kejadian itu, Wendy tak lagi bertemu dengan Dean. Ia pernah satu kali bertanya pada Paman Jo—karena jujur, ia tidak berani apabila bertanya pada ayah atau ibunya—tentang Dean. Apa saja yang sudah dibicarakan oleh ayahnya dan Paman Jo bersama Dean ketika itu?

Tapi, Paman Jo hanya tersenyum. "Kau akan tahu nanti," beritahu Paman Jo. Persis seperti yang ibunya ucapkan. Hal itu tidak lekas membuat hati Wendy merasa lega, justru sebaliknya. Ia gusar namun ia belum memahami tentang kegusarannya itu.

Namun Wendy sama sekali tidak pernah menemukan jawabannya. Ini sudah lewat satu tahun dan ia mulai menyerah. Wendy merasa dirinya sudah berhenti memikirkan Dean dan kemungkinan-kemungkinan yang menimpa lelaki itu, ia membiarkan dirinya fokus pada kehidupan sekolahnya dan tugas-tugasnya.

Hingga suatu malam, ayahnya memesan sekotak ayam dari sebuah restoran china di tengah kota. Mereka memutuskan untuk makan malam bersama, namun karena sang ibu terlalu sibuk bekerja, jadi tidak sempat memasak. Memesan ayam di saat seperti ini adalah hal yang paling bijak.

"Wendy, sepertinya itu ayamnya sudah datang!" seru ibunya dari dapur, Wendy sedang membaca buku novel di atas sofa terpaksa harus berdiri dan menghampiri pintu depan.

Ia bergumam pada dirinya sendiri. "Kenapa tidak minta tolong Paman atau Bibi saja?" tentu saja ia tidak berani menyuarakan pikirannya itu.

Yang mengejutkannya adalah, di luar gerbang, berdiri seorang anak laki-laki yang selama setahun ini ia pertanyakan bagaimana kabarnya, dimana keberadaannya dan pertanyaan-pertanyaan lain seputar itu.

Dean ada di sana. Membawa sekotak ayam pesanan ayahnya dengan kemeja kotak hitam dan topi menutupi separuh wajah. Lelaki kecil itu tersenyum, masih dengan senyum yang sama. Matanya menyipit dan menghilang di lengkungan wajah. Tubuhnya lebih tinggi dari yang bisa Wendy ingat. Lebih jangkung dan lebih tegap. Wendy hampir menangis melihatnya.

"Hai, Wendy!" serunya. Lelaki itu menyapanya, masih ingat jelas namanya. "Maaf, apa aku terlalu lama mengantar ini?"

Wendy membukakan pintu gerbang dan menerima kotak itu tanpa mengatakan apa-apa. Namun, matanya sama sekali tidak lepas dari Dean. Seakan-akan semua ini adalah mimpi dan Wendy perlu memastikannya sekali lagi.

"Apa yang kau lakukan selama ini?"

Dean tersenyum. "Aku bekerja dan sekolah, maaf ya. Berita baiknya adalah ibuku sudah dipindahkan ke rumah sakit," jelasnya. "Aku sangat bersyukur karena akhirnya beliau bisa mendapatkan perawatan yang sebenarnya."

"Semoga beliau cepat sembuh." Wendy langsung berucap secara spontanitas. "Jadi, kau bekerja di restoran china sekarang?"

Dean mengangguk dengan semangat.

"Apa—" Wendy bergumam pelan, bibirnya ia gigit dengan gugup. "Apa aku boleh memesan makanan di situ terus-terusan?"

Dean tertawa mendengarnya. "Kau boleh."

Wendy mengulum senyum. Tidak sadar bahwa dadanya menghangat dan rasanya ada sesuatu yang meletup-letup di dalam sana. Rasanya ini lebih menyenangkan daripada mendapat peringkat pertama di satu angkatan, lebih membahagiakan daripada bertemu dengan neneknya di kampung halaman, lebih dari ketika ia mendapatkan hadiah ulang tahun yang diharap-harapkan.

"Aku akan mengantarnya untukmu."

.

.

Tapi Dean tidak datang lagi.

Padahal Wendy sudah memesan semua menu makanan yang ada di restoran itu, menunggu pesanannya di kursi taman rumahnya tiap malam. Tapi tidak ada. Dia tidak datang lagi.

Malam ini, Wendy menerima sekotak bekal makan berisi nasi goreng china hangat, yang mengantar adalah seorang paruh baya dengan sepeda motor butut tua. Wendy tidak langsung memberikan uangnya, ia menatap pria tua itu selama beberapa saat sebelum akhirnya berucap.

"Apa ada pekerja bernama Dean di restoran ini?"

Pria tua itu sedikit bingung pada awalnya, tidak menyangka kalau Wendy akan bertanya padanya. "Deyan?" tanya pria itu. "Ah! Anak muda itu? Iya-iya. Dia lulus sekolah kemarin dan dapat beasiswa, jadi keluar dari tempat kami bekerja."

"Beasiswa?" Wendy bertanya lagi. Jelas ia tidak tahu berita itu. "Kemana?"

"Wah, saya juga nggak tahu, Mbak."

Akhirnya Wendy tidak menemukan jawabannya lagi. Ia berterimakasih pada sang pengantar makanan dan memberikan uangnya. Nasi goreng china itu mendadak tak memiliki rasa di lidahnya. Itu menjadi makanan paling tidak enak yang pernah dimakan oleh Wendy selama ia hidup.



- bersambung -

Mau buat dari sisi Dean-nya :(

Cinta Luar BiasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang