Sang Ayah terkejut setengah mati saat putri kecilnya tidak ada dimana pun. Kamarnya bersih dan tidak ada bekas-bekas seperti ia habis bermain di dalam rumah. Hari Minggu Wendy tidak memiliki kegiatan di luar, seharusnya seperti itu. Pria itu menanyai semua penghuni rumah untuk menemukan jawaban tapi nol yang didapat.
Ia memutari kompleks perumahan menggunakan mobil, sementara Paman Jo disuruhnya pergi ke sekitaran luar, sang Bibi dan ibu Wendy diminta untuk tetap tinggal apabila sewaktu-waktu Wendy kembali ke rumah.
Mereka berkumpul di rumah ketika waktu menunjukkan tengah hari. Sebagai seorang ayah, ia merasa sangat tidak berguna karena ia benar-benar tidak bisa menemukan Wendy dimana pun. Sampai akhirnya ia mendengarnya.
Sebuah suara tawa dari ujung jalan. Tawa seorang Wendy, anaknya.
Wendy dibonceng dengan sepeda tua, tertawa sambil menikmati angin yang menerpa wajahnya dan mengibarkan beberapa bagian pakaiannya. Tertawa karena matahari menyengat kulitnya dan ia tidak mau peduli. Tertawa karena pria kecil itulah yang membawanya mengelilingi dunia sederhana seorang anak-anak.
"Aku perlu bicara padamu, Nak." Sang ayah membuka suara setelah Paman Jo pergi, Bibi sudah lebih dulu masuk sedangkan sang ibu menjadi orang pertama yang menjauhkan Wendy untuk masuk ke dalam rumah.
"Maafkan saya, Paman."
Ayah Wendy membulatkan matanya lalu tertawa keras. Perasaannya lega entah karena apa. Mungkin melihat Dean yang meminta maaf tanpa syarat seperti ini membuatnya puas. Ia tidak tahu. "Namamu siapa, Nak?"
"Dean, Paman."
"Maafkan aku karena aku ini sedikit pelupa." Pria itu menghela napasnya sebelum mengulum senyuman tipis. "Hubunganmu dengan Wendy, itu seperti apa?"
"Kami berteman."
"Apa kalau aku melarang kalian bertemu, kamu akan menyanggupinya?"
Dean terdiam. Ia menata kalimatnya pelan-pelan. Pertanyaan berputar di kepalanya antara mengapa dan bagaimana. Dia dan Wendy selalu bertemu di penghujung minggu, meski nyatanya Dean selalu mengawasi sosok itu setiap harinya. Setiap waktu luangnya, ia sanggupkan melangkah di depan rumah Wendy, atau sekadar berdiri di ujung gang sembari mengamati.
Mendengar Ayah Wendy berbicara seperti itu, membuat Dean merasa yakin bahwa pria itu tahu apa yang selama ini ia lakukan sudah diketahui. Pria itu pasti tahu siapa lelaki kumuh yang membuntuti tuan puteri di halte bus setelah pulang sekolah. Pria itu pasti tau siapa yang dihadapinya seorang diri ketika Wendy dalam bahaya.
"Kamu tahu musuh kami banyak, Nak. Musuhku banyak. Mereka menjadikan Wendy sebagai kelemahan kami," pria itu berujar lagi, mengabaikan Dean yang masih diam membisu. Ia butuh menjelaskan mengapa Dean harus pergi dari kehidupan Wendy. "Aku berhutang padamu, berhutang nyawa. Tapi menjauhlah, Nak. Aku tidak mau mereka menjadikanmu alasan lainnya. Karena Wendy akan sakit kalau kamu sakit. Ketika itu terjadi, segalanya akan lebih mudah bagi mereka."
"...saya mengerti, Paman." Dean bergumam lirih. "Tapi saya masih ingin melihatnya."
Ayah Wendy menggeleng. "Kamu tidak akan aku izinkan. Kalau alasan tadi itu kurang bagimu, maka akan aku buat kamu yang menurut padaku, Nak."
Dean tersentak. Ia menatap mata yang lebih tua dan mendapati sorot mata tegas dan mengancam, tapi disela-sela itu semua ia menemukan rasa iba dan kasih. Dean tidak mengerti.
"Ibumu sakit, kan?"
"Jangan ibu." Dean terkejut dnegan suaranya sendiri. Seakan ia berbicara tanpa sadar. Suaranya memang bergetar, tapi tidak terkesan ragu sama sekali. "Jangan ibu."
Ayah Wendy memandang Dean dengan tatapan hangatnya, membuat Dean membeku dan merasa luluh. Membuat Dean tidak bisa melakukan apapun untuk berkata tidak.
"Ibumu akan aku pindahkan ke rumah sakit terbaik, akan mendapatkan pengobatan terbaik, akan mendapatkan kehidupan layak, akan memiliki peluang sembuh lebih besar." Ayah Wendy tersenyum tipis, berdoa dalam hati agar ibu Dean diberikan umur yang panjang. "Aku memberikanmu waktu untuk berpikir. Datanglah kemari di penghujung pekan lagi, aku akan ada di sini untuk menunggumu."
Dan baru saja ayah Wendy membalikkan badan, Dean sudah terlebih dulu berteriak. "Saya mau!"
Suara itu lantang. Keras dan diselimuti banyak emosi di dalamnya. Mengerikan karena ayah Wendy bisa mengetahui tiap sudut emosi itu. "Pikirkan baik-baik, Nak—"
"Saya rela menukar apapun demi ibu saya," Dean berujar. Matanya bergetar karena yang ia pertaruhkan adalah segalanya. "Saya mau."
.
.
Ketika Wendy membuka mata, ia mendapati aroma obat mengudara di mana-mana. Wendy memandang langit-langit berwarna putih itu dengan pandangan menerawang, berpikir apa saja yang baru dialaminya sehingga ia bisa sampai berakhir di rumah sakit seperti ini. Belum sempat ia bisa mengingat, telinganya sudah menangkap sebuah suara asing yang menanyakan kabarnya.
"Kau sudah bangun, Wendy? Bagaimana perasaanmu?"
Suara itu terdengar ringan tanpa beban, seperti memiliki sebuah perasaan rindu yang amat besar di dalamnya, seperti lega luar biasa. Wendy kemudian menoleh untuk mengikis rasa penasarannya tentang siapa yang memiliki suara itu, yang kemudian membuatnya terkejut karena di sana, di sisi ranjang tempatnya berbaring, berdirilah Dean.
Wendy kehilangan kata-katanya, kamus bahasanya habis terkikis dan hanya menyisakan satu nama. Ia ingin berucap dan memaki, memukul dan memeluk, membisikkan dan memberitahu, bahwa Dean sudah pergi terlalu lama. Wendy ingin memberitahu bahwa ia pernah merasa lelah namun tak sanggup menyerah.
"Aku tahu, Wen." Dean menggenggam tangan Wendy seakan tahu apa yang ada di dalam benak Wendy, seolah-olah ia mendengar degup jantung Wendy berbicara dan memberitahunya sendiri. Lalu ia dapat merasakan sedingin apa tangan mungil itu. "Maaf, gara-gara aku, kamu sampai harus terbaring di sini."
Wendy mengulum senyum, balas menggenggam tangan Dean yang terasa begitu hangat. Ia memandangi tangannya yang terpaut apik dengan jemari-jemari Dean sembari berpikir, begitu sempurnanya genggaman tangan mereka.
"Tugasku sudah selesai," beritahu Dean. Ia berlutut dan membuat matanya menatap lurus ke dalam mata Wendy. Dean merasa hancur begitu mendapati betapa indahnya mata itu. Ia hampir lupa dengan apa yang harus ia katakan karena dalam sekejap, ia sudah seperti masuk ke semesta yang berbeda. Mata Wendy dipenuhi dengan bintang-bintang, membuat Dean membutuhkan waktu untuk kembali menyusun kata-kata yang ingin diucapkannya. "Aku bisa ada di sisimu, selama kamu masih membutuhkann aku."
Mata Wendy pun berubah menjadi kaca, seperti pecah belah yang indah. Sedikit retakan, maka hancur sudah. "Aku selalu membutuhkanmu, Dean," ucap Wendy dengan suara bergetar. Dalam benaknya ia kembali mengulang, selalu.
Dean makin meremas tangan itu. Ada banyak kata yang ingin ia ungkapkan, ada begitu banyak hal yang ingin ia sampaikan, ada jutaan perasaan yang ingin diutarakan. Tapi nyatanya, yang hanya bisa Dean lakukan hanya mengusap lembut punggung tangan itu. Ia bawa untuk dikecup kemudian ia kembali mengulum senyum.
"Aku cinta kamu."
to be continued.
![](https://img.wattpad.com/cover/185679838-288-k488354.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Luar Biasa
Short Story- Sebuah cerita dimana terinspirasi dari lagu 'Cinta Luar Biasa' - Tentang Dean dan Wendy. Tentang perbedaan jauh di antara mereka. Tentang perjuangan. Tentang cinta. Wendy tidak tahu, anak kecil berbaju lusuh yang bekerja sampingan sebagai penganta...