Empat

55 1 1
                                    


Ini adalah hari terakhir sekolah. Bukan sekolah menengah pertama, melainkan sekolah menengah atas. Sudah sekian tahun lamanya Wendy tidak bertemu Dean. Selama sekolah menengah atas, ia menemukan beberapa teman dekat, orang-orang yang ia sebut sebagai manusia yang khusus diciptakan untuk dirinya.

"Kak Wen!"

Namanya Tasya, seorang adik kelasnya yang sangat supel. Berteman dengan semua orang dan sedikit ceroboh—oke, mungkin banyak ceroboh. Memiliki senyuman yang unik dan memikat. Punya pacar namanya Nathan. Tasya dekat dengan Wendy dikarenakan keadaan mereka sama. Sama-sama berasal dari keluarga kaya dan sama-sama dimanja oleh orang di sekililing.

"Hati-hati, Sya!" Wendy mau tak mau berseru begitu Tasya berlari dari arah gerbang rumahnya menuju pintu depan. Melewati kebun bunga yang meski sudah disapu bersih namun pasti masih ada kerikil yang tersisa di jalan setapak itu. "Kamu bisa tersandung, Tasya."

Tasya tertawa, senang karena merasa diperhatikan. "Kakak, aku mau menginap!" serunya. Dan begitu Wendy sadar, Tasya ternyata sudah membawa satu tas besar yang kemungkinan berisi baju tidur dan boneka-boneka favoritnya, juga buku bacaan. Dasar. Kalau sudah begini bagaimana Wendy bisa menolak?

Ibu Wendy yang kebetulan ada di rumah menyambut kedatangan Tasya dengan senang. Beliau memang berencana pergi ke desa karena ada acara keluarga, sementara Wendy tidak bisa diajak karena harus mengurus pendaftaran kuliah. Jadi, kedatangan Tasya seakan-akan menjadi penyelamat.

"Terima kasih, Sya, kamu mau menemani Wendy," begitu kata sang ibu. Seakan-akan Tasya itu lebih tua dari Wendy, bukan kebalikannya.

Malam harinya, mereka menonton film di ruang depan. Wendy mengambil selimut banyak dari kamarnya dan mengubah ruang keluarga menjadi kamar tidur. Bungkus keripik kentang tertumpuk di salah satu sisi, sedangkan di atas meja masih tersedia makanan korea yang dipesan Tasya. Dia memang tergila-gila dengan makanan korea.

"Dik, ada yang cari kamu di luar," Bibi Sri masuk dari pintu depan, ia baru saja memindahkan pot-pot berisi bunga yang baru saja ditanam ke tempat yang seharusnya. "Cari Dik Wendy, katanya."

"Siapa Kak? Mas Hendra?" tanya Tasya. Karena setahu Tasya, yang dekat dengan Wendy hanya segelintir orang saja, dan Hendra salah satunya. Hendra sendiri satu angkatan dengan Tasya, dulu menjabat sebagai ketua Dewan Siswa, jadi tidak heran kalau dia sampai malam-malam mengantar sesuatu ke rumah Wendy dan sejenisnya.

Wendy tidak tahu. Hendra tidak mengatakan apa pun tadi siang. Tadi hanya ada pengumuman tentang wisuda yang akan diselenggarakan kapan dan dimana, tidak lebih. Untuk dokumen-dokumen setelah kelulusan akan diberitakan nanti. "Tidak tahu. Aku keluar dulu, Sya."

Di luar, hawa dingin menggigil. Wendy sedikit menyesal karena hanya mengenakan piyama tipis berwarna biru muda dan kakina hanya terbalut sendal rumah berbulu. Seharusnya ia membawa jaket atau minimal cardigan, dan kaos kaki tebal untuk sepasang kakinya.

Wendy menggosok-gosok sisi lengannya sambil berjalan ke arah gerbang. Bibi Sri ternyata tidak menyuruh tamunya masuk.

"Siapa?"

"Hai, Wendy!"

Dan Wendy hanya bisa mematung di tempatnya berdiri sekarang. Pikirannya kosong. Dan mendadak ia merasa waktu berhenti berputar, padahal semesta masih berjalan dengan sewajarnya. Wendy menarik napas panjang dengan susah payah dan menghembuskannya pelan-pelan. Tidak berani berucap, bahkan ia tidak berani berkedip.

"Apa kabar?" tanya lelaki itu.

"Dean?"

.

.

"Kau mau masuk?" tawar Wendy, setelah bermenit-menit ia habiskan dengan keheningan, hanya memandang Dean seakan-akan pria itu tidak nyata. "Aku bisa membuatkan teh madu."

Dean menggeleng. "Aku ingin bicara serius padamu, Wen."

Wendy berdebar. Jantungnya bertalu-talu menyakitkan, cepat sekali dan seolah-olah tidak memberikannya waktu untuk bisa menarik napas dengan tenang. Ia seperti dikejar-kejar. "Bicara saja."

"Aku minta maaf," beritahu Dean. "Aku minta maaf kalau selama ini kamu pernah menungguku, barang satu menit, satu detik, atau sepersekian detik sekali pun. Aku minta maaf."

Wendy tidak menyela permintaan maaf itu. Ia pikir Dean tidak perlu tahu berapa malam ia lalui hanya dengan memandangi pintu gerbang. Ia pikir Dean tidak perlu tahu berapa kali ia menelepon restoran-restoran yang kemungkinan menjadi tempat Dean bekerja hanya untuk menanyakan pekerja yang bernama Dean. Ia pikir Dean tidak perlu tahu bahwa bulan dan bintang sudah menjadi teman ceritanya diam-diam.

"Aku memiliki hutang yang amat besar, aku harus menebusnya," beritahu Dean pelan, ia mengambil tangan kurus Wendy dan membawanya dalam sebuah genggaman yang amat paripurna, "Percayalah padaku, Wen. Aku akan kembali padamu ketika waktunya sudah tiba. Berjanjilah padaku, kamu mau menungguku sampai saat itu tiba."

Wendy merasakan matanya panas. Ia memang tidak pernah menghabiskan begitu banyak waktu dengan Dean, tapi dalam benaknya, mereka seakan-akan sudah menjadi sebuah kesatuan. Apakah di dunia ini benar-benar ada yang namanya soulmate seperti di buku yang pernah Wendy baca? Kenapa ikatan ini terasa begitu kuat?

"Aku tidak pernah pergi jauh darimu, Wen. Selama ini aku tahu bagaimana dirimu, tapi aku tak memiliki kuasa untuk bisa menyapamu, berbicara padamu, dan mengggapaimu seperti ini." Dean bergumam lirih. "Aku benar-benar bersyukur sudah dipertemukan denganmu."

"Dean..."

Wendy tidak bisa berucap. Segala pertanyaan yang selama ini ia kumpulkan mendadak hilang, habis tak bersisa. Hanya dengan melihat Dean berdiri di hadapannya seolah membuat Wendy tersadar, bahwa ia tidak membutuhkan apa pun selain melihatnya.

"Aku akan pergi. Kali ini lebih jauh dan mungkin lebih lama." Dean berucap. "Aku minta maaf karena tidak pernah bisa benar-benar menemuimu hanya untuk sekadar memberi kejelasan, memberi kabar."

Wendy tidak mau menangis. Ia tidak mau membuat pertemuan ini menjadi hal yang menyedihkan. Ia tidak mau mengingat Dean sebagai air matanya.

Tapi itulah kenyataannya.

Dean mengeluarkan sesuatu dari kantong jaketnya. Sebuah kertas origami yang sudah dilipat sedemikian rupa menjadi bentuk bunga. Hanya satu buah, tidak lebih. Bahkan bunga itu terlihat sudah amat kusut, seperti sudah bertahun-tahun benda itu ada di sana. Ia membuka tangan Wendy dan meletakkan bunga itu di atas telapak tangannya.

Selanjutnya, ia melepaskan jaket lusuh yang ia kenakan demi menahan dingin. Merasakan jemari Wendy yang begitu beku membuatnya mengulum senyum bersalah. Ia sampirkan jaket itu di bahu Wendy. Itu bukan jaket murah, namun memang terlihat lusuh luar biasa karena itu satu-satunya jaket yang dimiliki Dean selama beberapa tahun terakhir ini. Ia sedikit meringis ketika melihat bidadari seperti Wendy terpaksa memakai pakaian seperti itu di malam dingin ini.

"Maaf, aku tidak memiliki bunga," kata Dean, tulus dari hatinya. Matanya menatap dalam ke mata Wendy, seakan-akan ada beribu perasaan yang berusaha ia sampaikan dengan tatapan itu. "Hanya ini yang mampu aku berikan padamu sekarang."

Wendy membawa bunga itu di dalam genggamannya. Perasaan yang coba Dean sampaikan kepadanya telak berhasil. Ia letakkan genggaman itu di depan dada, tepat di depan jantungnya yang bertalu menyakitkan. "Apa kamu akan kembali?"

"Kamulah tempatku untuk pulang, Wendy."


- bersambung

Percayalah, soulmate belum tentu berakhir bersama. Dimana kamu tahu ia adalah orang yang tepat tapi waktu tidak tepat.

Bukan. Bukan waktu yang salah.

Memang seperti itu jalannya.

Cinta Luar BiasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang