Aku, sedang dalam masa di mana tersenyum itu sulit.
Aku, sedang dalam masa di mana tertawa itu terdengar perih.
Aku, sedang dalam masa di mana air mata lebih mendominasi.Orang bilang aku putus cinta.
Orang bilang aku putus harapan.
Orang bilang aku putus asa.Inginku mengiyakan, demi meringankan beban di dada.
Inginku meyakini, demi memperbaiki kerusakan.
Inginku memasrahkan, demi mengobati luka ini.Tapi, nyatanya sembuh tak semudah bernapas.
Bahkan, untuk kali ini, bernapas pun terasa sulit.
Sesak, seperti sesuatu menghimpit.Hingga pada akhirnya, kilatan tajam itu lagi yang berbicara.
Goresan demi goresan, tetesan demi tetesan, mampu membungkam yang semestinya diutarakan.Ya, aku terluka lagi, dalam fase yang entah karena apa.
Padahal, aku ini bukan lagi pemurung yang selalu mengurung diri,
Bukan lagi si penggila khayal di hadapan langit-langit kamar,
Dan bukan lagi si pemalas yang menyampahi ranjang.Aku tlah menghirup aroma dunia.
Dengan bangganya.
Namun, di balik bangga itu, satu fakta baru kusadari.
Sesungguhnya aku masih meragu, meski sedikit percaya, bahwa aku bisa.
Bisa melangkah tanpa perlu lagi menunduk malu di bawah ratapan.Aku sedang berdiri,
tapi kini aku bingung,
Dimana diriku yang sebenarnya?
Baru-baru ini aku merasa tlah hilang tertelan kepalsuan.
Bahkan cermin pun memantulkan kebohongan."Kamu, adalah penipu!"
Aku selalu termenung dalam sepi.
Saat semua terlelap, aku berpikir.Sampai kapan aku harus mengakui segala yang bukan salahku?
Sampai kapan aku harus menerima apa yang tidak seharusnya kuterima?
Sampai kapan aku harus terdiam, sementara batin menyuruhku untuk jujur?Jujur pada diriku sendiri, bahwa aku tidak cukup kuat untuk menjalaninya sendiri.
Namun, aku juga cukup malu untuk meminta, sedang mereka pun berpaling.
Ah, aku menangis lagi.
Mungkin ini memang salahku yang tak pandai membenah diri.
Tuhan menegurku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Hitam
PoëzieTentang HITAM yang selalu lemah akan PUTIH. Tentang LUKA yang selalu menemani DUKA.