Satu

49 4 0
                                    

Lantunan musik menghiasi suasana cafe malam ini. Petik demi petik senar gitar yang berpadu dengan dentingan piano listrik memandu suara merdu dari sang penyanyi. Tak banyak yang memperhatikan mereka. Semua orang asik dengan lawan bicaranya. Ada yang tertawa bersama hinga menangis, ada sibuk membahas hal serius, ada yang sekedar berbincang renyah tentang kehidupan.

Keramaian cafe ini tidak mengacaukan fokusku pada seorang perempuan. Puluhan kali aku berusaha mengalihkan dengan objek lainnya, tetap tidak bisa. Siapa sih, dia? Sampai pikiran memaksaku fokus kepadanya. Bahkan buku seri yang sudah ku nantikan waktu terbitnya menolak fokusku.

Perempuan yang duduk di sudut ruangan, tepat di arah pukul dua dari ku. Rambut hitam yang cukup panjang terikat rapi kebelakang. Matanya yang terlihat manis walau menatap kosong. Sungguh, cat-eye miliknya sangat mencuri perhatianku. Hidung mungilnya yang memiliki garis tajam menuju alis tipis dan rapi miliknya. Bibir pearlique-nya yang berwarna merah muda menyempurnakan tampilan perempuan itu.

Aku menunduk berusaha menyelesaikan bacaanku.

"Oh, baik."

Suara perempuan itu menggerakkan kepalaku untuk akhirnya menoleh ke arahnya. Ia sedang tertunduk di hadapan perempuan yang mungkin sebaya dengannya.

Sejak tadi mereka berdebat. Bukan, aku tidak mencuri perbincangan mereka. Hanya saja, kata yang barusan sekali keluar dari pita suaranya membuatku langsung menoleh. Karena seolah-olah cafe ini langsung sunyi.

Lawan bicaranya-yang hanya terlihat punggung bidang dari arahku, mengangkat dagu perempuan manis itu. Di benakku muncul pikiran buruk. Akankah mereka berkelahi?

"Kamu, gak perlu masuk lagi di hidupku. Cukup. Aku bukan bayimu!" sentak lawan bicaranya. Sekarang, seluruh manusia di cafe ini menatap mereka. Namun penyanyi cafe tetap tenang melanjutkan lagunya. Seperti berusaha mengembalikan suasana di cafe itu.

"Baik," jawabnya tenang. Aku menatapnya. Dia sedang takut. Matanya menunjukan ketakutannya.

Lawan bicaranya kemudian melepaskan tangan dari dagunya dengan kasar. Perhatian seluruh manusia di cafe sudah teralihkan lagi, tidak kepada mereka.

Tapi aku masih menatap perempuan itu.

"Jangan keluarkan kalimat positif yang membuatku terkesan orang paling lemah di dunia lagi. Aku punya kendali atas hidupku. Mau aku..." sahut lawan bicaranya, yang kemudian terhenti karena perempuan manis itu menutup mulutnya.

Ia membisikan sesuatu yang sepertinya tidak dapat diterima oleh lawan bicaranya.

Brak.

Meja dipukul, dan mereka kembali menjadi pusat perhatian.

"Sok tau! Hidupmu aja berantakan! Gak capek dikatain terkutuk cinta pertama?! Gitu kok ngurusin aku!" jerit lawan bicaranya.

Tatapan kita bertemu-tiga detik menghentikan jantungku, lalu ia tertunduk.

Lawan bicaranya pergi dengan langkah kasar menuju pintu keluar. Semua mata mengikuti kepergiannya-sepertinya sih, tapi mataku tertuju padanya.

Pada kelopak matanya yang menghitam, pemilik bola mata yang satu menit sebelumnya menghentikan kerja jantungku tiga detik.

Ia mengejar temannya. Ketika kaki nya melangkah, jantungku berdebar. Eh, eh. Kenapa sih? Langkah terakhirnya di ruangan ini, mengembalikan fokusku kepada bacaan di depanku. Oke, kita selesaikan buku seri ini.

untitledTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang