Tiga Belas

28 3 4
                                    

"Oke, bisa keluar. Sudah selesai," ujar Kendra mempersilahkan Petra untuk keluar.

"Terimakasih, Bu."

Petra menuju meja kami untuk beralaman.

"Sama-sama," ujar Kendra sembari membalas salamnya. Sekarang giliranku. Duh, agak serem gitu ya? Hmm..

"Glad to see you again, Arda." Ia menggenggam tanganku sambil menatapku. Menggelikan. Aku hanya tersenyum tenang, namun Kendra sepertinya emosi melihat tingkah makhluk satu ini. Kendra pun berdecak.

"Loh, apa salahnya menyapa kawan lama?" sahut Petra yang sadar akan isyarat kesal Kendra.

"Teman lama? Sepertinya ini kali pertama kita bertemu," jawabku.

Setelah perintahmu untuk melupakan semuanya.

Ia tersenyum meledek.

"You will regret it, Arda."

"You will," jawabku tenang. Ia langsung berjalan keluar dengan kasar.

"Siapa sih?!" Tanya Kendra.

"Kecebong," jawabku.

"Kecebong itu?! Dia?!"

"Iya."

"Sinting. Zero attitude selama interview. Ditutup dia gitu. Dia niat nyari kerja gaksih?!"

Aku tersenyum.

"Untung kamu putus, mbak!"

Aku tersenyum lagi.

"Minta di cincang, emang!"

"Yuk, cincang CV nya," jawabku tenang menahan sedikit tawa.

Kendra sibuk menahan emosinya untuk pelamar kerja lainnya. Saat Tita melanjutkan panggilan peserta berikutnya, sesi wawancara berlanjut.

******

WAFDA's POV

Sungguh, kemarin hari yang baik. Semoga. Tapi jujur, ini sungguh baik. Tuhan memang luar biasa. Penantianku akhirnya usai? Semoga.

Teringat wajahnya yang memerah dan matanya membesar karena terkejut akan tingkahku. Maaf, tapi Stevanus Wafda tidak mampu menahan hasratnya. Aku jatuh, lagi. Terimakasih semesta, mengijinkanku jatuh lagi.

Cinta ku sebelum ini sebenarnya bukan tidak berhasil, hanya gagal saja. Aku tidak akan bercerita. Karena kenangannya terlalu menjijikan untukku, bahkan hanya untuk diingat. Orang yang bahkan tidak pantas dikenal sebagai seorang wanita, yang menurunkan derajat kaumnya, sempat mampu membutakanku. Dulu aku berusaha menariknya keluar dari rutenya yang salah, tapi ternyata itu rute tertepat untuknya. Karena toh, yang salah di mata kita belum tentu salah di pandangan orang lain.

Oke, apa yang akan aku lakukan ya, hari ini?

"Pak," sahut seseorang.

Aku menoleh. Alda.

"Ya?" jawabku.

"Saya pamit makan siang, sama yang lain ya. Bapak mau titip atau ikut?"

Aku melihat jam. Pukul 12.05

"Boleh, saya titip aja ya. Kalian yang pilihkan." Ucapku.

"Baik. Mari, Pak."

Lalu Alda pergi meninggalkan ruang PR. Aku mengecek ponsel dan mendapati pesan dari Pak Gustra.

Kalau sedang senggang, tolong hubungi saya.

Wah, ada apa nih?

Aku menghubungi Pak Gustra lalu menyapanya ketika nada dering berhenti.

untitledTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang