Empat Belas

28 2 0
                                    

Aku kembali mendapat kesadaranku. Aku memperhatikan sekitar, dan mulai merasakan udara dingin di hidungku. Aku berusaha menikmati, sampai mataku tertuju pada mata Arda yang menatapku galak sambil melipat tangan di depan dada. Aku tersenyum.

"Hai," sapaku.

"Ya," jawabnya ketus.

"Ih, galak banget Bu."

Ia hanya menatapku lalu keluar. Ia pasti memanggil Devan. Aku mengangkat pinggir bibirku. Lucu, tapi aku masih sedikit benci karena harus mengatur nafasku dengan baik.

Devan masuk diikuti seorang perawat dan dibuntuti Arda. Perawat itu langsung memeriksa kondisi vitalku sedangkan Devan melipat tangannya sambil menatapku kesal. Setelah selesai, perawat memberikan data lalu diperiksa Devan. Setelah Devan mengangguk, perawat keluar dan ia menghampiriku.

"Udah gue bilang gausah bikin mati lebih deket. Teledor aja terus kalo makan. Lo seneng kan mati duluan dari gue?"

"Dev," aku melotot melirik ke arah Arda.

"Bodo amat. Awas aja lo gini lagi. Untung ada Arda masuk. Kalo dia ga masuk lo deitemuin udh gak napas kali," lanjutnya.

"Yang penting gue ga mati kan sekarang," jawabku.

"Ini paling parah loh. Lo ga pernah sampe collapse. Gila ya lo."

Devan mendecak lalu mengatur cairan infus yang masuk ke tubuhku.

"Lo boleh keluar malem ini." ucapnya ketus.

"Lah, gue udah oke. Sore ini ya? Absen kantor."

"Waf, bisa gak sih nurut aja?!" bentak Arda.

Aku memandangnya. Wajahnya menahan takut. Matanya bengkak. Um, sedikit sih.

"Mampus lo," ledek Devan.

"Iya, dah. Iya.." jawabku malas.

"Dah, gue tinggal." Devan pergi keluar ruangan. Tinggal aku dan Arda.

Canggung dan hening, dua kata yang tepat untuk menjelaskan situasi saat ini. Arda duduk di kanan ranjangku sambil menunduk dan melipat tangan. Aku menatapnya sambil berpikir apa yang harus kita bicarakan.

"Thank you," ucapku memecah keheningan. Kata klasik yang akhirnya aku pilih. 

"Emang selalu gini?" tanyanya menatapku.

Aku mengangguk.

 "Sampe gak sadar?"

Aku menggeleng. Biasanya, selalu di cek sama Bunda atau Reno dulu makanannya. Juga, terakhir begini itu di rumah Tante Gya. Langsung pada sadar dan kasih bantuan.

Ia menyiratkan wajah lega.

Jujur, gue malu anjir. Gila aja, seumur hidup aku gak pernah yang namanya pingsan. Sekalinya pingsan, di depan Arda!

"Aku nggak papa sekarang. Lari ke kantor aja aku bisa." ucapku.

Ia hanya diam menatapku. Aku tidak mengerti apa arti tatapan itu.

"Beneran, Da."

"Waf," panggilnya. Aku menatapnya balik.

"Makasih, udah nggak papa." ucapnya.

Deg. Deg. Deg.

Fix, tekanan darah gue langsung naik jadi normal lagi ini mah.

*******

ARDA's POV

"Waf," panggilku. Aku masih menatapnya, tatapan yang berusaha membuatku yakin. Yakin bahwa aku mampu mengembalikan Arda delapan tahun yang lalu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 24, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

untitledTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang