Dua

33 3 6
                                    

Arda's POV

"Aku harus apa?" suara getir yang terdengar cukup menguji mentalku.

"Selesaikan, atau berhenti mengeluh."

Aku menjawab sekaligus mengantisipasi gerakan mendadaknya.

"Selesai?!" jeritnya. Ia mencengkram kerah bajuku.

"Dua tahun aku bertahan. Dua tahun. Kamu minta aku selesaikan hubungan ini?!" bentak nya.

Untung, aku minta bertemu di kamarnya saja. Batinku.

"Kamu mau gimana emang?" tanyaku berusaha tenang.

Ia melepas cengkraman. Berjalan menuju meja riasnya, lalu membuka laci. Ia mengeluarkan barang, gunting.

"Ini, Da. Kalo kamu bilang selesaikan, ini caraku."

Ia menunjukan wajah yang menakutkan. Aku menghembuskan napas panjang dan berat. Aku mendekatinya perlahan, menggapai tangannya yang memegang erat gunting, lalu memeluknya.

"Apa?! Kamu bilang selesaikan?" ia mulai menangis. Tangannya memberontak. Jujur, aku sangat takut tertusuk.

Ini bukan kali pertamaku. Tapi selalu membuatku takut.

"Din.." panggilku setenang mungkin.

Tidak ada sautan, ia hanya menangis. Gunting di tangannya ia lepas dan terjatuh ke lantai. Kepalanya ia letakan di bahu kananku. Tiba-tiba badannya tidak berdiri seimbang.

Aku meraihnya. Ia masih menangis. Kakinya sudah tidak menopang badannya. Aku menjaga tubuhnya di pelukanku. Tangisnya semakin menjadi. Air mataku menetes.

"Ada aku, Din."

Aku menepuk punggungnya. Membawa tubuhnya untuk duduk di kasur. Karena omong-omong, aku sudah keberatan.

Setelah ia duduk bersandar di ranjang, aku mencari obat penenang-yang akan membuatnya tertidur. Aku mengeluarkan sup krim ayam kesukaannya yang sudah kubawa dari rumah.

"Minum dulu." Aku menyodorkan segelas air mineral. Ia meminumnya perlahan. Kemudian aku mulai menyuapinya.

"Udah," pintanya, setelah setengah wadah habis.

Kemudian aku memberinya air putih kembali dan meletakan obat ke dalam mulutnya.

"Istirahat ya, Din. Aku pulang dulu."

Ia mengangguk.

Aku melangkah keluar kamar nya. Membuka daun pintu lalu ia memanggilku.

"Gerarda," ucapnya lirih. Aku menoleh.

"Kalo aku jadi pembunuh, aku mau bunuh dia. Dito." katanya lirih.

"Kamu orang baik," jawabku.

"Buat Ezra, aku bakal jadi pembunuhnya." katanya ketus.

Aku takut.

"Kamu gak akan bunuh siapapun. Istirahat ya, Din"

"Gerarda, aku bakal jadi-"

Aku memotong kalimatnya.

"Kalau kamu jadi pembunuh, yang kamu bunuh itu aku." karena aku yakin kamu tidak akan.

"Istirahat ya. Besok habis kerja aku kesini lagi." ucapku lalu menutup pintu.

"Astaga." kataku spontan.

"Bude Titik. Bikin kaget aja." kataku sambil tersenyum.

"Neng, capek ya? Maaf ya..." katanya sambil menunduk.

Bude Titik, pembantu Dinda sejak kecil yang sekarang menjaga Dinda.

"Halah, Bude kok minta maaf. Emang Bude ada salah sama Arda?" jawabku sambil tertawa kecil.

"Neng tidur sini aja ya? Liat tu matanya udah capek, ada panda nya juga. Nanti malah kenapa-kenapa di jalan lho.."

Aku melihat jam. 01.56

"Endak Bude. Besok masuk pagi. Kalo tidur disini ndak dibangunin sama Bude!" jawabku sambil tertawa.

"Eh... Waktu itu, Bude nggak tega mau bangunin.. Maaf, Neng.." katanya.

"Ah Bude. Udah ya Bude, Arda pamit dulu." pamitku sambil mencium tanganya.

Bude Titik mengantarku sampai depan pagar. Aku masuk kedalam mobil, menyalakan mesin lalu pergi.

"Daahh Bude!" ucapku sambil melambaikan tangan.

"Ati-ati ya, Neng!" balasnya. Aku tersenyum lalu menutup kaca mobil.

Incoming call : Kendra.

Aku menghembuskan napas panjang, lalu menekan tombol pada kemudi.

"Mbak, kamu dari mana aja?" sahutnya dengan nada kesal.

"Maaf, Ndra. Habis ada keperluan sebentar."

"Kamu to, minta maaf ke Pak Gustra. Kamu hampir masuk DPO tau nggak gara-gara gak ada yang bisa ngehubungi kamu. Dicari sama beliau dari jam 9!" katanya.

"Satu kantor pulang telat soalnya nyariin kamu!" bisiknya.

"Ini masih pada di kantor?"

"Enggak, jam 11 pada di suruh pulang aja. Pak Gustra udah di telponin istrinya."

"Emang kenapa aku dicariin?"

"Aku nggak tau pasti sih. Tapi gosip dari kantor Public Relation sih Pak Andre sama Mbak Mia skandal! Trus pake uang sponsor!" katanya asik.

"Hus!"

"Beneran. Itu ya, Pak Gustra kan-"

Aku memotong kalinatnya.

"Dah, udah. Besok aku ngadeo langsung aja."

"Okedeh."

"Dah ya, Ndra. Kamu istirahat." kataku.

"Iya. Mbak juga ya." lalu aku memutuskan sambungan telepon.

Jalan sudah sepi. Hanya beberapa motor dan mobil yang melintas. Lampu lalu lintas juga sudah berkedip kuning. Aku menahan mata lelahku untuk tetap bertahan sampai di kos.

Sampai!

Aku keluar dari mobil, dan naik menuju kamarku. Ayok, Arda! Satu lantai doang naiknya! Aku menyemangati diriku.

Sampai di kamar, aku mengaktifkan lampu dan AC. Kemudian aku bersih-bersih, dan merebahkan badanku di kasur.

Hari yang panjang. Tapi hari ini akan jauh lebih panjang. Aku melihat jam digital di sebelah ranjangku. 03.37

Baik. Sampai jumpa nanti pagi, diriku.

untitledTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang