Delapan

21 3 2
                                    

Aku berjalan mengikuti Pak Stevan.

"Panggil saya Wafda." katanya.

Hah? Serius. Demi Tuhan. Dia orang paling acak di dunia.

"Iya, Pak Wafda." jawabku.

Sampai di mobilnya. Ia berjalan menuju pintu kursi penumpang.

Jangan bilang aku yang diminta nyetir?!

Dia berhenti, lalu membuka pintu.

"Silahkan," katanya, lalu menuju pintu kemudi.

Wow. Dua puluh lima tahun aku hidup, ini pertama kali pintuku dibuka oleh orang lain.

"Thank you," sahutku.

Aku sudah duduk, begitu juga Pak Wafda. Gak enak ya? Aku panggil Wafda saja ya, disini. Toh, dia juga tidak tahu.

"Kearah mana?" tanyanya sambil menyalakan mesin mobil.

Aku mencari lokasi dengan Google Maps "Pecel Bu Sumo" lalu menunjukan ponselku kepadanya.

"Okey. Sit belt tolong dipakai."

Lalu aku memakai sabuk pengaman.

Aku bingung. Apa yang dia tahu? Padahal nih ya, aku belum menanyakan sesuatu tentang Pak Andre. Sama sekali. Atau dia juga sudah mempersalahkan ini sebelumnya dengan Pak Gustra? Atau mereka sekongkol? Hah. Yang terakhir, tidak mungkin. Kalah iya, pasti dia menghindar.

"Ada panggilan masuk," ujarnya.

Aku terkejut.

"Makasih, Pak." sahutku.

Joe.

"Hai," sapaku.

"Lagi di kantor?" tanyanya.

"Enggak, istirahat makan siang."

"Joe mau kesana bulan depan." ujarnya.

"Iya, kan masih sebulan. Kenapa Joe bilang sekarang."

"Jangan sakit waktu Joe dateng ya, Nok." sahutnya.

Please, Joe. Manggil "Nok" gak se-ringan itu.

"Iya," jawabku singkat.

"See you, soon!" pamitnya lalu memutuskan sambungan panggilan.

"Pacar?" tanya Wafda langsung ketika aku meletakkan ponsel.

"Abang." jawabku.

Dia mengangguk. Aku dan Wafda terdiam sampai di depan warung Bu Sumo.

"Pak, Bapak benar tahu tenang apa yang sedang saya cari?" tanyaku.

"Penyalahgunaan uang sponsor oleh Pak Andre." jawabnya ketus.

Aku tersenyum. Ia keluar dari mobil. Aku mengikutinya. Aku membuka pintu mobil dan tanganku malah tertarik dengan kuat sampai badan ku ikut tertarik. Kakiku tidak mendapati tanah dengan cepat karena mobil ini sangat tinggi. Dan aku mendapati Wafda menangkap badanku dengan sempurna. Aku tidak jadi terjatuh. Syukur.

"Sorry," ujarku. Huh. Sebenarnya dia yang salah. Kalau mau membukakan pintu itu beri tahu dulu.

"Makannya, lihat dulu ada yang bukain atau enggak."

Aku menunduk. Malu!!!

"Ayok," ajaknya.

Aku turun dan mengarahkan ia masuk ke warung. Beberapa karyawan menyapaku, karena aku kerap datang. Apalagi dulu saat Bapak masih ada. Setiap makan siang disini. Jadi semua pada hafal.

untitledTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang