BAB 2 : The Original Psychopath

301 36 44
                                    

Libur awal semester sudah menginjak dua minggu dan hari inilah aku rasa libur yang sesungguhnya akan dimulai. Tidak seperti hari lalu, aku hanya menghabiskan waktu dirumah dan di butik. Pagi ini aku sedang diluar kota, singgah sejenak di rumah saudara Anisa untuk menikmati masa liburan yang berharga.

Anisa adalah sahabatku. Gadis berambut ikal dengan tinggi yang tak lebih dari sebatas telingaku. Bola matanya berwarna cokelat, sehingga terlihat lebih cerah karena kulitnya yang kuning langsat.

Pegunungan asri nan elok, di sinilah aku berada. Tempat dimana jauh dari keramaian dan kebisingan kendaraan. Cukup syahdu untuk sejenak menjernihkan pikiran.

Tidak menutup kemungkinan dipagi yang sejuk ini aku dan Anisa memutuskan untuk jalan-jalan menikmati suasana damai pegunungan, tapi lumayan mencekam juga. Aku sempat ngilu ketika melihat di kanan jalan terdapat sebuah jurang dan di kiri jalan terdapat sebuah tebing kapur yang tingginya dua sampai tiga meter.
***

Rasa sakit yang aneh mencekam ditangan kananku. Aku yakin Anisa ketakutan karena kami baru saja melewati kuburan sepi. Tapi, lama-kelamaan cengkeraman itu semakin menguat.

"Ell-e-na," Anisa memanggil namaku sambil tercengang melongo menghadap kearahku.

Tiba-tiba suara serak laki-laki mengejutkanku dari belakang. Mataku memandang liar kesekitar, lalu turun kecengkeraman ditanganku. Rupanya orang yang ada di belakangku inilah yang sedari tadi mencengkeram kuat satu tanganku dan satu lagi tangan Anisa.

Mukanya seperti orang terkapar lelah, dan bibirnya mengerucut seperti menandakan kebencian, ditambah lagi tatapan matanya seperti orang kelaparan.

Jantungku ingin meloncat, ketika aku mencoba meronta, tapi cengkeramannya semakin menguat. Rasa pegal luar biasa dipergelangan tanganku tak ada artinya, karena tertutup ketakutan yang menggebu-gebu. Nafasku tak beraturan. Darahku juga sama, serasa mengalir kekepala hingga suhu tubuhku kacau menjadi panas dingin.

"Minggir, lepaskan aku!" Anisa mulai meronta-ronta.

"Baiklah. Pertama-tama perkenalkan, aku adalah psikopat transmigran yang selalu memilih dareah sepi, seperti disini misalnya. Aku sudah membunuh banyak orang. Dan sekarang target pembunuhanku adalah kalian."

Tak pernah terbayangkan, aku akan bertemu dan berhadapan langsung dengan seorang psikopat. Dan sekarang akulah mangsa dari pembunuhan psikopat sinting ini.

Tanpa basa-basi kutendang kaki paikopat gila ini. Langsung kutarik tangan Anisa dan larilah kami berdua.

"Anisa mau kemana kita?" Tanyaku sambil tergopoh-gopoh lari.

"Belum tahu Ell, lari saja dulu. Tak mungkin kita teriak minta tolong, tak ada satupun orang lewat disini," jawab Anisa.

"Mau kemana lagi kalian?!" Suara serak itu kembali mengagetkanku.

Kali ini aku tak tahu kenapa hanya tangan Anisa yang dicengkeram kuat.

"Ellena, tolong aku!" Pinta Anisa sambil meronta kesakitan.

Kukeluarkan handphone milikku. Apalah arti sebuah handphone seharga lima juta dibanding nyawa dua orang harus hilang melayang.

"Ini... ini. Tolong lepaskan tangannya kau boleh ambil handphone milikku," setengah gemetaran tanganku menunjuk-nunjuk ke handphone.

"Bodoh! Kau lupa rupanya, aku ini psikopat! Psikopat sepertiku tak akan tergoda dengan hal semacam itu!"

"Lepaskan!" Anisa meronta lagi. Kulitnya yang kuning sangat kontras dengan lebam warna merah yang melingkar dipergelangan tangannya.

SemuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang