Teaser:
Hari pertama setelah MOS selesai.
Tidak, lebih tepatnya ini adalah hari pembebasan dari siksa neraka buatan kakak kelas yang mereka kamuflasekan sebagai MOS.
Di hari pembebasan ini, aku merasa agak garing. Bagaimana tidak? Aku harus bangun pagi hanya untuk berdiri dan memperkenalkan diri pada teman-teman sekelasku. Setelah itu kami diberi waktu kosong untuk bercengkerama—yang faktanya malah diisi kami yang sibuk sendiri dengan kegiatan masing-masing—dan akhirnya bel pulang berbunyi.
Iya sih, dari semua murid yang mencoba berbaur dengan yang lain, hanya aku yang sibuk baca novel sambil angguk-angguk menanggapi teman sebangkuku dan beberapa orang yang datang menghampiriku hanya untuk mengenalku lebih jauh.
Sial, bahasanya bikin aku cringes sendiri.
Bel pulang sudah berbunyi dua menit yang lalu, tapi sepertinya hanya sebagian kecil murid yang pulang. Sisanya sedang menunggu waktu kumpul ekstrakulikuler masing-masing, seperti aku yang hanya duduk di koridor kelasku sambil—lagi-lagi—membaca novel.
"Untuk calon anggota ekskul Teater, silakan kumpul di ruang auditorium."
Mendengar pengumuman itu, aku buru-buru bangkit, memasukkan novelku dan memastikannya tidak tertekuk, lalu berlari kecil menuju auditorium.
Begitu masuk ke dalam auditorium, kulihat sudah banyak anak yang duduk di atas panggung. Serius deh, padahal aku sudah buru-buru menuju ke auditorium, kenapa mereka bisa lebih cepat daripada aku?
Berhubung aku agak telat, aku mau tidak mau duduk di pinggir panggung, bersebelahan dengan seorang cowok jutek yang sok memperhatikan kakak kelas yang sedang bacot di tengah-tengah kerumunan ini.
Dan sialnya, cowok ini memakan banyak tempat hingga aku agak sulit untuk duduk.
"Sori, boleh geser dikit nggak?"
Ia menoleh, menampakkan wajah juteknya—yang sialnya bercampur dongo dan ganteng yang bikin gemas—padaku. "Hah?"
"Geser dikit," pintaku dengan wajah sok pilu.
Tanpa membalas ucapanku, ia menggeser duduknya dan kembali fokus pada kakak kelas tadi.
Untung ganteng.
"Ya, begitulah sejarah singkat Teater Anomali," ucap kakak kelas tadi. Sial, aku benar-benar tidak memperhatikan ucapannya. "Sekarang, karena kalian udah kenal Teater Anomali, gantian kalian yang memperkenalkan diri pada kami. Inget ya, pake alesan kenapa kalian milih ekskul ini."
Seperti perkenalan bocah pada umumnya, alasan mereka hanya sekitaran "ingin menambah pengalaman dan wawasan", "karena saya suka nonton film", atau "cita-cita saya menjadi pemain sinetron azab kayak di teve itu lho".
Yang terakhir ini cuma karanganku saja sih.
Kakak tadi—yang kalau dilihat nametag di seragamnya bernama Johnny—menunjukku. "Iya, elo, yang pake coat merah panjang di cuaca sepanas oven kue nenek gue, silakan berdiri."
Tanpa peduli soal coat-ku yang baru saja dikomentari, aku berdiri dengan excited. "Nama gue Gwensa, panggil aja Gwen."
"Hai, Gwen," ucap anak-anak serentak.
Aku menatap Kak Johnny. "Alesan jujur nih?"
Seketika semuanya tertawa.
"Alesan boongnya dulu deh!" canda Kak Yuta—tentu saja aku tahu karena nametag-nya lagi—yang duduk di samping Kak Johnny.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Trouper
FanfictionJadi panitia pensi sebenarnya tidak ada keren-kerennya... ... apalagi kalau harus menjadi panitia sekaligus korban pemain sandiwara ulung yang mampu melakukan apa pun. Termasuk mengancam nyawamu. "Apalagi yang semesta rahasiain dari gue?" © April, 2...