Author's point of view
Hampir saja Doyoung menggigit kulit jarinya ketika ia sadar kukunya sudah habis ia gigiti dari tadi. Ia kalut, membayangkan Gwensa-nya tengah berhadapan dengan orang paling ditakuti Doyoung membuatnya benar-benar kelimpungan.
Langit sudah gelap, ditambah area menuju Tebing Keraton yang sepi mengingat ini bukan musim liburan. Dan lagi, menyadari bahwa gelap memungkinkan segala hal terjadi membuat Doyoung gelisah di tempatnya sambil merutuki mobilnya yang tiba-tiba terasa begitu lamban.
"Bisa cepet nggak sih, Jae?!" pekik Doyoung tak sabar.
Hal yang membuat Jaehyun langsung menambah kecepatan mobil tersebut sampai, lagi-lagi, Winwin yang sedari tadi melamun tersentak kaget.
Winwin melirik ke arah spion di tengah mobil, menatap Doyoung yang kini menatap gusar ke luar jendela. "Gue tau elo panik setengah mati, Doy. Tapi mikir dalam keadaan panik risikonya lebih tinggi."
Doyoung menghela napas tanpa berniat menjawab. Benar kata Winwin, tak ada yang benar jika mengambil keputusan dalam keadaan panik. Bagaimanapun perasaan Doyoung sekarang, Gwen tetap dalam bahaya. Akan amat bijak jika ia bisa mengendalikan emosinya dan memikirkan segalanya tanpa panik.
Xiaojun yang sedari tadi mengekori kini menyalip dan memposisikan motornya di depan mobil Doyoung untuk menuntun jalan mereka menuju vila yang dimaksud. Namun, lima puluh meter dari vila tersebut, Xiaojun berhenti.
"Vilanya yang itu," tunjuk Xiaojun ketika keempat orang tadi keluar dari mobil. "Sejauh ini, gue nggak ngeliat orang mencurigakan sepanjang jalan tadi. Tapi kita nggak ada yang tau apa yang terjadi di dalem vila itu."
"Elo bener," angguk Jaehyun. Ia melirik jam tangannya sekilas. "Ambulans bentar lagi dateng. Gue udah instruksiin mereka untuk nggak deket-deket lokasi ini."
Lucas yang sedari tadi mengamati sekitar vila kini berdiri di depan teman-temannya. "Ini perasaan gue aja atau emang vila itu sekarang kosong?"
Seakan menguap, kata-kata bijak Winwin yang diakui oleh Doyoung kini sudah tidak berlaku. Dalam keadaan panik, Doyoung berlari menuju vila. Lucas hampir saja menyerukan nama Doyoung jika ia tidak ingat bahwa bisa saja keberadaan mereka diketahui pelakunya.
Kini mereka mengekori Doyoung yang berlari bagai kesetanan. Kalutnya kembali melingkupi, membuat keringat dingin mengalir tanpa permisi dari pelipisnya.
Jangan... jangan sampai Gwensa gue kenapa-napa!
Tanpa henti, harapan kecil itu terus ia gumamkan.
Sekarang ia sudah memasuki pekarangan vila yang luar biasa megah namun usang. Hampir semua lampu dalam vila itu mati kecuali dua lampu taman di dekat kolam renang di samping vila. Suasana horor yang langsung membuat berbagai macam pikiran buruk menyerang nalar Doyoung.
Namun, begitu kaki Doyoung melangkah menuju teras vila, ia mendapati bahwa pintu vila tidak tertutup. Perlahan, dari dalam bangunan usang itu muncul sesosok bayangan hitam yang terlihat mengesot. Tangan kanannya menyeret tubuhnya, sedangkan tangan kirinya memegangi bagian pinggangnya.
Dan persekian detik kemudian kepala itu menyembul melewati pintu, terkena cahaya minim lampu taman, dan menampakkan wajah babak belur yang bercucuran darah.
"Fuck, Herder!"
Detik itu, sambil berlari menghampiri Hendery, Doyoung mengumpat, mengabsen semua kosakata kasar yang ada di kepalanya dan menyuarakannya. Bukan, bukan karena Doyoung marah pada Hendery, tapi ia merutuki bahwa anggota berandal St. Yohanes sekelas Hendery yang kemarin terlibat tawuran bisa babak belur dan tampak mengenaskan dengan robek yang menganga pada perutnya... apalagi Gwensa-nya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Trouper
FanfictionJadi panitia pensi sebenarnya tidak ada keren-kerennya... ... apalagi kalau harus menjadi panitia sekaligus korban pemain sandiwara ulung yang mampu melakukan apa pun. Termasuk mengancam nyawamu. "Apalagi yang semesta rahasiain dari gue?" © April, 2...