Gerimis

18 0 0
                                    

Agus dan Shamanta menatap Sonya yang tertegun di meja telepon. Ia sedang memikirkan Zero yang sudah beberapa hari tak ada kabar.

Shamanta mendekati anaknya. Ia mengelus rambutnya yang berponi.

"Sayaaang.... Mama akan lakukan apapun asal kamu mau maafin mama dan kita bisa kumpul kayak dulu lagi.

Mirna memang sahabat mama, tapi mama gak nyangka dia bisa bicara seperti itu tentang kamu tanpa memikirkan perasaan kamu ataupun tak takut kalau-kalau kamu adalah anak orang yang ia kenal.

Kalau dia tahu kamu anak mama,  pasti dia malu dan segera minta maaf."

"Sonya gak butuh permintaan maaf dari orang seperti itu. Dia jelas-jelas sudah mempermalukan aku."
Suara Sonya mengejutkan Shamanta.

Tiba-tiba ponsel Shamanta berdering. Di sana tertulis nama Mirna. Shamanta dengan perlahan mendekati Sonya.

"Sayang, untuk pertama kali dan terakhir, mama akan mempertaruhkan persahabatan dan keluarga mama. Mama nggak akan menemuinya jika kamu tidak menghendakinya."

"Temui dia ma. Bersikap seperti biasanya."

Sonya lalu melangkah masuk ke kamarnya. Ia menatap ponselnya yang terus berdering. Ia lalu melihat nama Monic yang ada di layar ponsel. Dengan tanpa ragu ia mengangkatnya.

"Halo,  Sonya... Dari kemarin aku hubungin kamu tapi gak nyambung-nyambung. Kamu jangan rasa bersalah sama kita. Kamu itu sahabatnya kita."

"Iya Sonya,  kita tuh sohib,  masa gara-gara cowok kita jadi nggak respek sih. Suara Alisa tiba-tiba terdengar." Rupanya mereka sedang konfrensi.

"Aku tuh gak tahu harus berbuat apa. Aku tuh ngrasa bodoh banget dengan keadaan ini. Aku benar-benar jauhi dunia publik tapi malah sekarang aku yang sedang orang tonton."
Suara Sonya terdengar berat.

"Sonya, kamu tuh sahabat kita. Dan kita bangga banget di antara sekian ribu penggemar Zero, kamu yang secara terang -terangan dekat dengan dia. monic mencoba menghibur."

"Iya Sonya, ibaratnya dream come true. Kamu beruntung banget. Alisa mulai ngelantur."

"Tapi sekarang yang aku rasakan kayak sial banget. Berteman tanpa tau siapa dia sebenarnya dan sekarang malah dikatain penggemar yang suka nguntit."

"Seperti apapun keadaan kamu sekarang, kamu gak sendirian. Kita akan selalu bersahabat dalam segala keadaan apapun. Dan semoga kita bisa saling percaya hingga akhir."

Monic masih saja menyemangati Sonya. Mereka bertiga pun menarik nafas dalam-dalam.

"Jangan takut Soi, kami akan lindungi kamu dari penggemar yang suka membuly, ataupun yang rese sama kamu." Alisah turut menyemangati.

"Makasih ya, masih mau bersahabat sama aku."

"Iya. Sama-sama. Ya udah, istrahat gih, sampai jumpa di sekolah nanti ya... "
Monic pun menutup teleponnya.

Antis menjatuhkan tubuh mungilnya ke pembaringan dan menutup matanya dan mulai teringat dengan Zero kembali. Bayangan Zero seakan Menar-nari di atas plafon kamar tidurnya.
Tak terasa ia meneteskan air mata. Seperti tak rela dikatai penguntit, dikatai cinta sepihak dan tak terima kenyataan bahwa dia dan Zero takkan bertemu, apalagi sampai bersatu.

Matanya lelah menyeruakkan air bening yang membanjiri bantalnya. Ia puas menangis. Ia bersedih dan takut orang-orang akan memojokkannya, menyorotinya, menuduhnya.

Ia lelah mencari jalan keluar,  lelah berpikir dan lelah menyesali apa yang telah terjadi. Dengan cepat rasa lelah membawanya ke alam mimpi.

🍟🍟🍟🍟🍟🍟🍟🍟🍟🍟🍟🍟🍟🍟

Zero menatap kosong ke arah ponselnya. Ia terasa seperti kosong menerima kenyataan bahwa hubungannya dengan Sonya menjadi pro dan contra.

Padahal ia bagitu bahagia dengan kedekatan mereka akhir-akhir ini.

Sonya yang polos, Sonya yang tulus, terbuka apa adanya, menerima Zero bahkan ketika ia tahu keadaan Zero yang sebenarnya.

Rasa nyaman yang tak kuasa ia lepaskan ketika bersama Sonya. Bahkan ia selalu berdo'a hari-harinya bersama Sonya akan terulang, dan tak akan berakhir meskipun ada gosip miring seperti sekarang ini.

Dia seperti down dengan kenyataan yang ada di hadapannya. Ia mencoba cari jalan keluar dan memutar otak cerdiknya untuk menaklukkan masalahnya.

Gagang pintu kamarnya bergerak dan menyeruak sosok ibunya yang gemas dengan kenyataan di hadapannya. Kenyataan yang dilihatnya Zero sedang memijit keningnya sambil menatap kosong tembok kamarnya.

Mirna juga tak menemukan solusi meski sudah menemui sahabatnya, Shamanta. Di cafe tempat mereka biasa bertemu Shamanta hanya terdiam beribu bahasa. Ia seperti merasa, Shamanta punya banyak masalah.

Sahabatnya yang merupakan pemberi solusi untuknya selama ini, malah muncul sebagai teka-teki yang harus ia jawab hari ini.

Jangankan memberi solusi, menyeruput teh nya saja tidak. Ia hanya termangu mendengar cerita Mirna dan menarik nafas panjang serta bersandar malas di sandaran sofa seakan rasa suntuk menguasai pikiran dan hatinya.

Pemandangan yang sama diperlihatkan Zero saat ini. Hampir setengah jam ia menatap putranya sambil bersandar di pintu kamar Zero.

Zero berdiri menatap ibunya untuk menemukan solusi dari tatapannya.
Ia menarik nafas panjang dan mulai membuka suara.

"Ma...  Aku ingin lanjutkan studyku."

"What? "
Mirna mengedipkan matanya secara cepat seakan tak percaya dengan pendengarannya.

Zero menggerakkan bibirnya sekali lagi.

"Aku mau rehat dari dunia hiburan."

Mirna yang tadinya berdiri tegak mundur dua langkah hingga ia terduduk di sofa yang ada di dalam kamar Zero.

Kepalanya terasa pening dan pikirannya melambat. Seakan tak percaya dengan pendengarannya serta kenyataan yang ada di hadapannya sekarang.

"Zero, kamu mau bikin mama sakit?  Kamu nggak puas liat mama pusing tiap hari?"

Mirna mendesis sambil menatap Zero dengan amarah tertahan. Mata bulatnya yang indah memerah. Kepalanya terasa berdenyut-denyut.

Zero seakan acuh dengan keadaan Mirna saat ini. Ia seakan mencapai titik terjenuh sepanjang kesabarannya selama menjalani karir di antara himpitan dan tekanan dari ibunya.

Zero yang dulu selalu mencari solusi dan kenyamanan saat ia bosan seakan mendapat jalan buntu untuk masalahnya dengan Sonya.

Kenyamanan yang dirasakan selama dua bulan belakangan, seakan sirna dengan foto yang tiba-tiba diupdate di dunia maya.

Tak ada tempat sembunyi lagi, apa lagi tempat pelarian.

Pikirannya berkecamuk. Ia pun memilih melakukan kesalahan yang fatal, karena tak ingin lagi memikirkan siapapun. Sekarang ia hanya ingin memikirkan hatinya yang rapuh.

Langit terlihat gelap segelap pikirannya sekarang. Hujan tiba-tiba turun seakan ingin melubangi pori-pori Zero yang berdiri kaku di terminal dekat sekolah Sonya.

Siswa-siswa yang hendak pulang dan berlari menghindari hujan tiba-tiba berhenti dan menatapnya secara takjub. Mereka tak percaya melihat sang idola sedang berdiri di terminal samping sekolah mereka.

Hampir setengah jam ia menunggu, tapi tidak menemukan sosok yang ia cari. Ia harus akui, sudah mengagumi dan mempercayai Sonya. Ia merasa tak lengkap hingga seseorang mendekat dan menarik tangannya sambil berlari menghindari kerumunan siswa-siswa yang menatapnya, menanyainya bahkan menggodanya.

"Kamu?" suara Zero seperti tercekik.

Hi, jangan lupa vote n coment ya, thanks,
😊

The LoversTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang