Beli Cincin

33 20 6
                                    


Rama beberapa kali mencoba cincin yang akan dibelinya tapi semua cincin itu kekecilan di jari manisnya. Aina sampai bosan menemaninya.

"Hey, Pak di toko ini tidak ada cincin yang besar sedikit apa? Dari tadi kekecilan semua."  Aina berbicara ketus dengan pelayan toko emas.

"Maaf Dek, cuma ada itu. Kalau mau kita bisa pesankan," tawarnya dengan nada ramah.

"Aina, sopan sedikit dong kalau bertanya," tegur Rama.

Aina diam saja tidak menanggapi perkataan Rama. Ia malah kembali sibuk memilih cincin idamannya.

"Maaf Pak, bisa dipesankan yang lebih besar sedikit," pinta Rama.

Bapak berusia empat puluh lima tahun itu tersenyum. "Bisa, coba saya ukur jarinya dulu ya," ucapnya sembari mengukur jari Rama.

"Saya minta modelnya sama persis seperti ini." Aina menunjuk cincin berwarna emas dengan batu mata berwarna rubi.

"Iya, kalau sudah ada saya hubungi segera." Bapak itu telah selesai mengukur jari Rama.

"Ke mana lagi kita?" tanya Aina pada kekasihnya itu. Tangannya berkacak pinggang sembari memperhatikan jalanan.

"Bisa tidak kamu kalem sedikit Yang, mirip laki kelakuan kamu itu," tegur Rama dengan nada tidak suka.

Aina tidak menjawab ia hanya memandang Rama dari kaki hingga ke atas, dari atas hingga ke kaki lagi dengan tatapan sinis kemudian kembali lagi memperhatikan jalanan. Rama sangat kesal dibuatnya.

"Apa yang kamu pandang?!" tanya Rama tidak suka.

Aina masih tidak mau menjawab. Ia kembali memandangnya seperti tadi, dari kaki hingga ke atas, dari atas lagi hingga ke bawah lagi. Itu terus berulang.

"Hah!" Rama mendesah kasar.  Ia tidak paham dengan watak calon istrinya itu yang suka sekali membuat orang lain kesal.

"Yuk pacaran!" ajak Aina.

Rama tenganga takjub mendengar ajakan itu. Selama beberapa bulan mereka pacaran Aina sama sekali belum pernah serius mengajaknya pacaran bahkan hingga pertunangan ini pun ia ragu Aina dapat membalas perasaannya.

"Ka-kamu serius Yang?!" Rama masih sangsi dengan pendengarannya tadi.

"Gak jadi deh." Aina memutar Arah.

"Eh, iya Yang. Ayo!" Rama menarik Aina agar mengikutinya.

"Ke mana kau akan membawaku?" tanya Aina yang terpaksa ikut.

"Pacaran, kan? Aku mau bawa kamu ke tampat sepi," ujar Rama.

"Ngapain kamu bawa aku ke situ?!" Aina merenggut paksa tangannya dari tarikan Rama. "Kamu mau bunuh aku di situ ya, atau mau mesuman? Awas aja aku gak bakal pasrah kamu gitukan. Bakal kugorok kamu!" ancam Aina.

"Ikut aja. Aku gak macam-macam kok." Rama kembali menarik tangan Aina.

"Awas aja kalau kamu cium aku kayak tempo hari itu, bakal kupecah bibirmu itu jadi tiga bagian."

"Jahat betul omonganmu itu Ai," ucap Rama sembari membawa Aina menuju taman tepian Samarinda.

Taman itu memang sepi pengunjung. Mereka biasanya menjadikan tempat itu sebagai tempat nongkrong dan makan-makan saja. Ada juga tempat para sejoli yang sedang asyik pacaran di tempat gelap.

"Kamu itu polisi, kalau bawahanmu melihat kamu saat razia dadakan bagaimana?" tegur Aina.

"Aku ngak nyangka, kamu khawatir juga sama aku Yang," Rama tersenyum senang.

"Bukan gitu, aku gak mau aja malu diketahui sama keluarga di kampung, kalau kita digerebek waktu sedang berduaan begini."

"Berduaan apanya sih? Tuh lihat di sana ada orang-orang." Rama menunjuk para pengunjung taman yang sedang asik dengan kegiatan mereka masing-masing. "Lagian juga mereka tahu kita mau nikah."

"Dari mana tahu, kita, kan belum sebar undangan?" tanya Aina curiga. "Jangan-jangan dia..." batinnya curiga melihat tampang Rama.

"Sebenarnya ... aku dah nyebar undangan dua minggu sebelumnya," ucap Rama sembari mengaruk pipinya.

"Hah! Sudah kuduga, kamu memang biang keladi. Segitu takutnya kamu sampai menyebar undangan jauh hari." Aina mendesah. Rama hanya menyengir kuda.

"Eh. Dek, ketemu lagi kita," tegur Abang gorengan.

"Eh Abang," Aina menyapanya.

"Lagi apa Dek?"

"Santai Bang."

"Udah lama gak ketemu, Adek sehat?"

Rama yang melihat mereka mengobrol hanya bisa terdiam sebagai obat nyamuk. Wajahnya kesal karena Aina tidak sama sekali ada niatan memperkenalkan dirinya pada temannya itu.

"Baik Bang, Abang sendiri?"

"Sehat wal'afiat Dek, oh ya ada waktu gak minggu ini?" tanya Abang itu dengan senyum lebar.

Aina tersenyum merekah. "Memangnya ada apa Bang?"

"Rencananya Abang ada niatan ke rumah dengan anggota keluarga Abang."

Aina menautkan kedua alisnya merasa heran. "Ada acara apa?"

"Abang niat ngelamar situ, abang ser-"

Rama langsung merangkul Aina. "Hey! Bini orang ini. Main ngelamar aja." Rama menegur dengan nada ketus.

"Benar itu Dek?" tanya abang gorengan itu yang masih tidak percaya dengan omongan Rama tadi.

"Calon Bang," jawab Aina sembari mencoba melepaskan diri dari Rama.

"Nah dengar, kan, sudah sana jangan ganggu kami!" usir Rama. Ia masih mempertahankan rangkulannya pada Aina.

"Dek, tunggu abang ya,  abang serius." Abang gorengan itu seperti menantang Rama.

Aina tidak menjawab ia hanya memandang  kepergian abang itu. Rama mengeram marah. Seandainya ia hanya warga sipil biasa sudah dihajarnya abang tidak tahu diri tadi.

"Lepasin!" Aina membentak Rama.

Rama pun melepaskannya. Wajahnya merah menahan marah. Aina tahu Rama sedang cemburu tapi ia tidak mau peduli.

TERLALU GENGSI Serial AINATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang