🎹Setelah dari kedai eskrim,Erik mengajak Eve jalan-jalan ditaman dekat kedai tadi.
Eve duduk sendiri dibangku taman, mengamati berbagai aktivitas yang terjadi. Taman yang dipenuhi anak-anak yang sedang bermain ditemani orang tua mereka, juga ada pasangan muda-mudi yang terlihat sedang membicarakan sesuatu. Mereka berdua terlihat marah.
Apa sedang bertengkar?
Disisi lain juga ada seorang nenek yang duduk dikursi taman tidak jauh dari anak-anak yang bermain tadi.
Eve menunduk. Mendapati kedua tangannya yang saling berkait. Ia membalik telapak tangannya dan mendapati bekas luka membujur dan melintang di setiap jarinya.
Bekas luka yang membuat dirinya kehilangan harapan.
Dirinya terkejut saat sesuatu yang dingin menyentuh pipinya. Dan mendapati Erik yang tersenyum dengan cola dan sebuah kantong putih di tangan.
Cowok itu memberi cola yang sudah dibukanya pada Eve dan langsung diminum gadis itu.
Eve mengambil coki dalam kantong yang diletakan ditengah mereka dan mulai memakannya.
"Tadi mikiran apa?"
"Gak ada." Jawaban yang cukup cepat membuat Erik yakin ada sesuatu yang gadis ini pikirkan.
"Hmm. Disana ada pasangan yang bertengkar." Ujar Eve.
Mata Erik tertuju pada arah yang ditunjuk Eve. "Kenapa?" Tanyanya dengan alis terangkat.
"Selama ini kita gak pernah berantem yah." Itu bukan pertanyaan tapi pernyataan. Erik kembali memandang wajah Eve yanh melihat kedepan.
"Aku gak pernah liat kamu marah. Pertemuan pertama kita pun, kamu hanya natap kami datar. Bahkan saat aku nyakitin kamu, kamu gak marah."
"Emang kamu mau aku marah?" Eve menggeleng mendengar pertanyaan Erik itu.
"Aku hanya....ah sudahlah ga usah bahas lagi." Eve terkekeh sendiri lalu meminum susu kotaknya.
"Kalau gak mau liat aku marah," Eve menoleh kearah Erik dengan tatapan bertanya. "Jangan pernah meninggalkanku." Eve terdiam mencoba mencerna maksud Erik. Lalu kemudian gadis itu tersenyum.
"Tentu saja. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu. Begitu pun sebaliknya. Jangan pernah meninggalkanku."
Keduanya tersenyum diiringi debaran yang sama. Eve lalu kembali menatap kedepan sambil mengelus tangannya.
"Minggu ini udah chek up?" Eve menatap cowok disebelahnya ini saat ia bertanya. Cowok itu malah melihat anak kecil didepan mereka.
"Kamu harus rajin chek-up,biar bisa main lagi. Itu impian kamu kan?" Lanjut Erik tanpa melirik Eve sedikitpun. Eve masih menatap Erik disampingnya.
"Kenapa?" Sekarang gantian Erik yang menatapnya. Keduanya saling menatap.
"Itu mimpi kamu." Jawab Erik tegas.
"Gak Rik,tangannya aku udah gak mampu."
"Kamu bisa Eve. Hanya kamu yang takut pada dirimu sendiri." Ada jeda cukup lama antara keduanya. Sebelum Erik melanjutkan, "Aku mau lihat permainan kamu. Secara langsung."
Helaan nafas panjang terdengar dari Eve, dia tidak yakin akan kemampuannya. Tidak seperti dulu ia masih dengan lincah bermain. Sekarang, bahkan jika tanganya menulis terlalu lama, jari-jarinya gemetaran kadang juga kram dengan sendirinya.
Kesalahannya tidak mengikuti jadwal terapi dengan baik karena rasa bersalah yang besar. Berpikir bahwa ia menghilangkan nyawa saudaranya cukup membuat Eve merasa tidak tahu diri, masih hidup dengan tidak kurang satu pun. Lalu dengan keputusannya sendiri, ia menghukum dirinya dan membuat keputusan melepaskan sesuatu yang dianggap dunianya.
Piano.
Ia memutuskan berhenti bermain piano untuk menebus kesalahannya. Walau tidak ada yang menyalahkannya.
Kecelakaan itu disengaja oleh orang yang membenci kakaknya, seorang pianis muda berbakat yang hampir mengelilingi seluruh dunia untuk pertunjukannya, Cristhoper Adamas.
Namun sayangnya mobil milik Adam itu di kendarai oleh Eve yang baru saja belajar mengemudi dua bulan dan ingin ia tunjukan pada kakaknya yang duduk disamping dengan senyum lebar.
Namun naas, semua tidak berjalan semestinya saat mobil yang ia kendarai rem-nya blong. Karena tidak bisa mengendalikan mobil itu,menyebabkan kecelakaan yang menewaskan kakaknya terjadi.
Kematian kakak yang paling ia sayangi juga guru yang paling ia hormati,memberi pukulan besar pada dirinya. Koma selama dua bulan dirumah sakit dan terbangun dengan mendapat berita itu,membuat dirinya benar-benar hancur.
Belum cukup sampai disitu, tangannya yang selalu ia banggakan. Jari-jarinya yang selalu bergerak lincah diatas tuts piano kini malah tidak bisa digerakan. Ditambah dengan luka mengerikan pada setiap jari dan tangannya.
Hidupnya benar-benar hancur. Ia tidak punya harapan lagi. Menganggap diri sebagai pembunuh,membuat ia berkali-kali mencoba menyakiti dirinya. Ia depresi.
Hingga Erik datang. Cowok yang tidak sengaja mereka temui karena masalah sepele.
Saling berebut minuman dingin yang dibeli.
Erik datang dengan caranya. Pertemuan-pertemuan tidak sengaja yang terjadi antara mereka, membuat mereka dekat.
Erik adalah pria pertama yang bisa membuat Eve membuka hatinya. Sejak saat itu dengan bantuan Erik, Eve mencoba menata kembali kehidupannya.
Menjalani terapi, bersekolah kembali setelah satu tahun cuti, dan kembali tersenyum. Erik juga tidak pernah membahas tentang piano saat bersama Eve. Menghargai keputusan gadis itu yang ingin berhenti.
Tapi sekarang, Erik malah membahas hal yang tidak pernah dibahas oleh mereka. Kenapa harus sekarang?
Erik mengambil satu tangan Eve dan menautkan tangan mereka. Terasa pas dan menyenangkan melihat jari-jari mereka yang bertaut. Diusapnya pelan ibu jari milik Eve.
"Hidup dalan rasa bersalah itu tidak baik. Kau membuat kakakmu tidak tenang di alam sana. Kakakmu mengajari piano agar ia bisa melihatmu seperti dirinya nanti. Berdiri diatas panggung besar dengan banyak orang yang akan bertepuk tangan untukmu. Itu yang kakakmu inginkan. Bukan dengan dirimu yang selalu menyalahkan diri dan mengubur keinginan terbesar kakakmu."
"Jadi dengarkan aku. Mulai sekarang rajin untuk chek-up dan terapi. Semua yang menyayangimu sedang menunggumu sekarang. Menunggu untuk mendengar suara piano lagi dirumah."
Lalu ia mengelus pucuk rambut Eve dengan mata teduh menenangkan menatap gadis itu. Memberi kenyamanan.
"Apa ayah yang menyuruhmu?"
Pertanyaan dari Eve membuat elusan dikepalanya berhenti. Sudah gadis itu duga, pasti ada alasan Erik bicara tentang piano padanya.
"Ayahmu ingin melihat kamu bersinar kembali Eve." Masih dengan suaranya yang tenang Erik menjawab.
"Kata beliau, kamu paling bahagia saat memainkan piano. Seolah bebanmu terlepas begitu saja. Kamu selalu memandang piano dengan penuh cinta. Aku ingin melihatmu seperti itu."
"Tapi aku juga seperti itu saat bersamamu"
🎹
KAMU SEDANG MEMBACA
DOUBLE E
Teen FictionHanya satu kalimat sederhana yang mengatakan aku membutuhkanmu. Diiringi denting piano ini,perasaan yang ingin kukatakan padamu. Je te veux. I want you