Bab 13 - Luapan Amarah

74 5 0
                                    

Langkah kakinya begitu pendek dan pelan. Sebisa mungkin menjaga jarak dengan seseorang yang berjalan di depannya. Seorang gadis angkuh dengan tatapan mata tajam yang berkali-kali menengok ke belakang hanya untuk memperingatkannya untuk tidak berjalan terlalu dekat. Katanya, dia tidak ingin ada orang lain yang melihat mereka jalan bersama.

Langkah gadis di depannya terhenti. Seorang pria kerdil yang mengenakan pakaian kumal dan bertambal menabrak kakinya. Sebelah sandal jerami milik orang itu sampai terlepas. Wajah kecilnya mendongak menatap raksasa berambut panjang yang berdiri angkuh di hadapannya.

"Perhatikan jalanmu, Nona!" Ucapan dengan nada kasar keluar dari bibir si pria kerdil.

Heo buru-buru melangkah maju, menempatkan dirinya di sebelah gadis itu. Bisa gawat kalau membuat perempuan itu marah. Si pria kerdil bakal jadi patung es selama berabad-abad, mengingat baru saja dia membekukan sebatang pohon persik dalam perjalanan tadi.

"Beraninya kau mengganggu bangsawan! Kau harusnya sadar diri kurcaci!" Heo mendelik. Tangannya berkacak pinggang dengan dagu yang sedikit terangkat. Sementara gadis disebelahnya hanya memutar mata tidak tertarik.

Si pria kerdil sepertinya sudah sadar diri. Telinga runcingnya bergerak-gerak gelisah. Dia menatap Heo dari ujung kepala sampai ujung kaki lalu menunduk hormat. Dipakainya lagi sandal jerami yang sempat terlepas, kemudian pergi sambil menggerutu bahwa budak selalu diperlakukan tidak adil di negara ini.

Mereka melanjutkan perjalanan setelah gangguan kecil tadi. Gadis itu berhenti di sebuah toko permen. Heo mengamati dari kejauhan. Dia bagaikan seorang penjaga yang mengawal tuan Putri.

Heo mengalihkan tatapannya saat gadis itu menoleh ke arahnya. Akan sangat memalukan kalau dia terlihat tengah memperhatikan perempuan itu. Kini tatapannya mengarah pada seorang makhluk kerdil lain yang tengah sibuk menata kotak-kotak kayu berisi telur ayam.

Pemuda itu menyadari bahwa betapa banyak kaum kurcaci yang menjadi budak di negara ini. Dan kebayakan sudah memiliki hak milik. Biasanya para bangsawan yang mengklaim kaum kecil itu sebagai budak abadi dengan memberi tanda berupa tato lambang klan di leher mereka.

Dia menghela nafas lega. Setidaknya ibunya bukan kurcaci, sehingga rasa hinanya tidak terlalu menjadi-jadi. Heo memutar kepalanya untuk memeriksa gadis itu. Kosong. Tempat di mana seharusnya perempuan itu berdiri sudah digantikan oleh orang lain.

Mata pemuda itu terbuka lebar. Beraninya gadis itu meninggalkannya. Sementara Heo sibuk berputar-putar mencari orang yang sembarangan menghilang, Jiyu tertawa cekikikan di balik tirai bambu.

**

Rambut Jiyu melambai di terpa hembusan angin. Pertama-tama hanya angin semilir tetapi lama kelamaan menjadi kencang. Anak rambutnya mencuat ke sana ke mari.

"Berhentilah bermain angin! Harusnya kau berterima kasih karena aku membiarkanmu mengikutiku!" Jiyu meledak. Matanya melotot. Rambutnya tampak berantakan tak karuan.

"Tidak. Kau berniat meninggalkanku." Heo bagaikan anak kecil yang tidak dibelikan manisan oleh ibunya.

"Itu benar." Perkataan Jiyu langsung mendapat sambutan hembusan angin kencang yang kembali mengibarkan rambutnya.

"Dasar berengsek!" Sebuah tombak es muncul dari tangan kanannya. Namun, sebelum dia menggunakan benda itu untuk memberi pelajaran pada Heo, pemuda itu sudah berteriak lebih dulu.

"Oh!! Kita sudah sampai!"

Tombak es di tangan gadis itu pecah menjadi kepingan. Heo bernafas lega. Setidaknya nyawanya masih aman.

Mereka berdiri di depan sebuah rumah yang mengeluarkan aroma herbal. Beberapa akar jelai tampak menggantung di sebelah gerbang yang terbuka lebar. Seorang pria tua dengan ikat kepala warna cokelat tengah membalut luka pemuda jangkung.

GEMINI (TELAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang