Bab 14 - Pengejaran

56 5 0
                                    

Pipi Heo tergores dan luka pada bahu si pemuda jangkung klan Ra bernama Nayu semakin lebar. Sementara si pembuat onar sudah menghilang lebih dulu. Tabib Han bahkan tidak bergerak dari tempatnya. Sepertinya memang harus Heo yang membersihkan kekacauan ini. Mendadak dia menyesal telah mengikuti Jiyu.

"Maaf ya atas kekacauan ini. Aku juga baru tahu kalau dia punya kekuatan seperti klan Ju. Aku ikut ke sini karena penasaran saja. Maafkan kami." Heo membungkuk lalu berlari mengejar Jiyu.

Gadis pembuat masalah itu berjalan sambil menendang-nendang tanah. Rok biru panjangnya melambai seiring dengan gerakannya. Heo menyusul dan menyentak pundaknya. Gadis itu berbalik. Wajahnya berantakan dengan air mata membasahi pipi.

"Apa yang terjadi?" Heo terkejut dan tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Ini pertama kalinya dia melihat gadis itu menangis.

"Menurutmu aku siapa? Aku merasa bukan siapa-siapa." Air mata mengalir dari kedua mata heterokromnya. Heo merasa tersentuh. Anak itu sama sepertinya. Kelahirannya juga tidak diinginkan. Entah bagaimana dia merasa mereka saling terhubung dengan suatu ikatan tak kasat mata.

"Kau hanya belum menemukan jawabannya." Heo hanya dapat mengucapkan kata-kata penyemangat untuk sedikit menenangkannya. Bagaimana pun, dia lebih beruntung daripada gadis itu. Ibunya masih bertahan di tempat hina itu untuknya.

"Lalu aku harus bagaimana?" Mata heterokrom yang berair itu menatap manik hijau Heo. Mendadak wajah pemuda itu menjadi panas.

Jiyu terlihat lebih menarik kalau bertingkah seperti gadis biasa pada umumnya dan melupakan fakta bahwa dia pernah membunuh seseorang di penginapan milik klan Chae. "Aku akan bersamamu untuk mencari jawabannya."

Sejenak, Jiyu berhenti. Dia menatap Heo dengan kagum walaupun air mata masih terus mengalir di kedua sisi wajahnya. "Tapi … aku tidak mau bersamamu." Jiyu menyedot ingus sambil menghapus air matanya. Sontak angin kencang ditembakkan dari jarak dekat ke arah wajahnya. Mata gadis itu langsung terbuka selebar-lebarnya.

"Sialan!" Sebuah pedang es tiba-tiba tergenggam di tangannya dan langsung digunakan untuk menebas kepala Heo. Namun, pemuda itu sudah tahu. Dia menunduk. Alhasil pedang itu menebas sebuah pohon persik yang kurus di sebelah pemuda itu.

Heo cekikikan. "Sepertinya kita bisa jadi teman yang cocok."

"Mau mampus, ya?" Gadis itu mendadak menjadi jijik dengan perkataan Heo. Walaupun mereka pergi bersama, kenyataannya Jiyu masih belum memaafkan kesalahan pemuda itu.

***

Jinu mengendalikan kudanya dengan tidak berminat. Tatapan mata malu-malu dari seseorang di samping membuatnya jengah. Udara yang berhembus ringan tidak membuatnya bersemangat. Kuda pengawal Gong berjalan lambat di belakangnya. Pemuda itu menoleh dan dengan isyarat mata menyuruh pengawalnya maju.

"Putra mahkota, bukankah perjalanan kali ini untuk mengunjungi makam ibunda? Aku akan selalu di sampingmu kalau kau merasa sedih."

Jinu menoleh sekilas lalu mendengus, "Apa yang kau harapkan dari makam kosong!"

"Kau bilang apa barusan?" Nona muda itu melongokkan kepalanya keluar jendela kereta. Mata jingganya yang cerah tampak ingin tahu, sangat kontras dengan hidung tinggi dan wajah yang putih itu.

"Tidak ada," jawab Jinu dingin. Dia langsung mengalihkan tatapannya untuk menatap pengawalnya.

Semenjak dia mengetahui mayat ibunya yang tidak berada di tempat semestinya, harusnya dia mengajukan protes pada Yang Mulia Raja. Namun, sepertinya raja mengetahui niatnya. Orang tua itu jadi tidak bisa ditemui dengan sengaja. Bahkan, sampai mengatur acara perjodohan Jinu dengan anak perempuan penasihat Woo.

GEMINI (TELAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang